Part 13
Happy reading!!!
So loooong words awayyy~~~~
***
"Woy!" teriakan Ico kini sanggup membuyarkan pikiran Keanno. Yaiyalah, bagaimana tidak buyar. Orang teriaknya aja persis di telinga.
"Kok jadi lo yang bengong sih?" tanya Ico heran.
Keanno mengaruk pelipisnya sendiri, memutar otak agar bengongnya tadi tidak dicurigai. "Cafe yang bagus dimana ya? Si Franda soalnya ngajak ke Cafe hari ini."
Baru sebuah air kopi mengairi tenggorokannya, ucapan Keanno lantas membuat Ico tersedak. Kala meningat dirinya pernah berjuang setengah mati demi seorang Franda.
"Demi apa lo?"
Keanno terbahak kencang. "Nantangin gue sih lo."
"Lo lagi deket sama Franda, No?" tanya Nando penasaran, wajahnya diam seketika menuntut lawan bicaranya itu membalas ucapannya.
Keanno mengangguk yakin. "Emang lo doang yang bisa dapetin Tasya, gue juga bisa." ada jeda, "Lebih malah dari Tasya."
Nando justru mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Bagus deh, gue juga nggak tahu. Tasya tuh cantiknya beda, nggak kayak cewek kebanyakan."
"Tunggu deh tunggu." ada jeda, "Masa gue doang yang sih yang belom punya doi?" lanjut Nelvan.
"Gue disini kayak angin lalu," timpal Ico.
Nando lantas terkekeh. "Manusia kayak lo mah Co, cocoknya sendiri aja udah!"
Ico mencibir, "Tai!"
"Si Klarisa juga cantik." Nando, Keanno, Ico dan Nelvan lantas menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Revan.
Ico mengangguk antusias. "Emang, cantik parah, lo kapan sih putus? Pengen gue babat sekalian!"
Revan segera menoyor kepala Ico, "Bangsat lo! Yang jomblo aja masih banyak."
Nelvan bertanya, "Contohnya?"
"Niara," sahut Revan.
Niara Syafira, entah kenapa dulu banyak yang berbicara jika temannya Tasya itu menyukainya. Apalagi antara Nelvan dan Niara itu pernah satu SMP. Tapi sejauh ini, yang Nelvan rasakan belum begitu terbukti. Entah antara cowok dengam minim kepekaaan atau itu hanya karangan bibir dari pecinta-pecinta pengikut akun lambe turah.
Keanno sendiri kini lebih memilih asyik memainkan ponselnya, walau jauh darisana ada sebuah rasa ingin melihat Tasya.
Bermenit-menit setelah penggunaan ponselnya itu, Keanno beranjak dari tempat tongkrongan karena perasaan yang tak tertahan. Iya, perasaan seperti ingin menatap Tasya walau hanya beberapa detik saja.
"Lho mau kemana lo?" tanya Nando.
Ico menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo mau cabut ketemu Franda?"
Keanno lantas mendengus mendengar penuturan dari otak setengah milik Ico. "Iya, gue mau cabut daripada kelamaan sama manusia berotak setengah kaya si Rico!"
Lantas kakinya terus berjalan kearah kelasnya berada. Entah kegiatan apa yang akan ia lakukan di kelas setelah puas menatap Tasya. Tanpa terasa kakinya telah menginjaki lantai kelasannya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh yang berarti hingga jam ketiga kelasnya masih belum memunculkan sesosok guru. Setelah pantatnya terdarat sempurna di kursi, pelan-pelan mata Keanno melirik seseorang perempuan yang ia pikirkan tadi.
Perempuan itu kali ini mengizinkan rambut terurai menutupi leher jenjangnya, bibirnya seakan tak jenuh mengumbar senyuman kepada kedua temannya yang Keanno tahu bernama Klarisa dan Niara.
Entah berapa menit matanya seolah menatap blackholenya-Tasya. Namun sayang seseorang menatap aksinya, bukan. Bukan Tasya yang melihat, tapi Niara temannya.
Tersadar dengan lirikan mata curiga dari Niara, lantas Keanno menenggelamkan wajahnya diantara pergelangan tangan yang menjadi bantalannya saat ini.
Semoga saja, Niara tidak terlalu mencurigai pandangan Keanno yang sedari tadi menatap kearah Tasya. Dan semoga saja, Tasya tidak berbesar kepala karena dirinya merasa diperhatikan oleh Keanno.
Bermenit-menit kemudian, pandangan Keanno semakin menghitam. Iya, dia kini sudah berada di dunia bunga tidur.
***
Tasya sedari tadi melirik benda di pergelangan tangannya, satu jam telah berlalu. Sesekali ia mencuri pandangan kearah bangku kosong milik Keanno dan Nelvan.
Setiap kali teman kelasnya keluar-masuk melalui pintu kelasnya entah kenapa perempuan itu seperti menunggu dirinya memenangkan lotre. Namun bedanya, hadiah lotrenya itu Ke-
"Sya!" Tercerai-berai sudah semua hayalannya.
"Apa?"
"Lo kenapa sih?" ada jeda, "Kayak fokus banget tiap ada orang yang buka pintu kelas," tambah Niara.
Niara kini duduk di pinggir meja Tasya. Seperti biasa, Niara menarik bangkunya sendiri untuk didekatkan dengan meja Tasya dan Klarisa.
"Em gu-uu--e nunggu gu-ru," jawab Tasya terbata-bata. Bersamaan dengan ucapan Tasya, seseorang membuka pintu. Memunculkan seseorang yang sedari tadi Tasya cari.
Niara memicingkan matanya curiga, "Lo nunggu Keanno?"
"Hah? Apaan sih lo." Tasya mengibaskan tangannya.
"Kalian ngomongin apaansih?" Klarisa mencoba menyeimbangi obrolan kami setelah tadi ia asyik dengan ponselnya.
"Si Tasya mau minta tolong nih ke doi lo, supaya di deketin sama Keanno," goda Niara.
Tasya mendorong bahu Niara pelan. "Ih, kalo orangnya denger gimana?"
Ucapan Tasya sontak membuat kedua temannya ini terkekeh kencang. "Jadi bener lo suka sama dia?"
"Enggak, so tahu lo semua," alibi Tasya.
Menit kemudian Keanno lantas beranjak dari kelasnya, tampa sadar ternyata gerakan Keanno diikuti oleh ekor matanya.
Klarisa menyenggol bahu Tasya. "Tuh kan! Ketawan kegep lo sama kita."
"Kenapa sih kalian sekarang so cenayang banget?" dengus Tasya.
Niara lantas menggoda Tasya dengan mencolek dagunya. "Jangan bohong! Lo blushing tau."
"Ih bodo kesel ah sama lo berdua." Setelah ucapannya terlontarkan, Tasya memutuskan membuka sebuah applikasi bacaan berwarna kuning.
Matanya terus membaca serentetan kata demi kata, penulis cerita itu seakan membawa Tasya ke negri dongengnya. Sontak moodnya menjadi campur aduk, entah karena pemeran karakter cowok sungguh manis pada perempuannya. Atau konflik yang tak kunjung usai.
Bahkan chapter per chapter yang panjangnya melebihi tol cipali bukan menjadi sebuah halangan bagi Tasya. Entah sudah berapa jam, bola matanya menghabiskan waktu dengan layar ponselnya.
Kini ia menutup dan menggosok kelopak matanya panas. Lantas Tasya mengistirahatkan dirinya dengan menengggelamkan wajahnya diatas pergelangan tangannya.
"Iih bosennn, masa sampe setengah sepuluh nggak ada guru," tutur Niara sambil meregangkan ototnya. Setelah tadi ia sempat membiarkan kantuk mendera tubuhnya.
"Eh! Eh liat deh!" seru Klarisa tiba-tiba. Tasya lantas mengangkat pandangan dan matanya langsung menangkap sosok Keanno.
Tasya kali ini tidak mengizinkan ekor matanya membuntuti gerak-gerik Keanno. "Apaan?"
Klarisa menyodorkan ponselnya pada kedua temannya itu. "Ini liat deh postingan kakak gemay lo, Sya!"
Tasya melihatnya lekat-lekat, sebuah postingan yang berisi Kak Vino berfoto dengan background alam. Di locationnya tertera di gunung lawu.
Ah, lucu banget. Dengan jaket tebal yang menyelimuti badannya, dan senyumannya yang terukir kelewat manis.
"Puas banget nih mbanya?" goda Klarisa sontak membuat Tasya sedikit tersentak kaget.
"Ganteng ya Sya?" tanya Niara dan langsung diangguk antusias.
"Sumpah gue nggak tahu lagi emak sama bapaknya waktu bikin dia gimana. Bisa ngeluarin anak seganteng ini." Tanpa Tasya ketahui, Tasya berucap dengan sebuah senyum seulas.
"Sampe senyum-senyum gitu ya lo saking terkesimanya?" Bukannya malu, Tasya justru semakin memamerkan sederet giginya.
Tasya lantas memberikan ponsel Klarisa kembali. "Kalo gitu gantengan mana Kak Vino atau Keanno?"
Tasya melongo. "Hah! Ya jelas Kak Vino lah."
Bermenit kemudian, sebuah pukulan kecil menerpa pahanya. "Sya! Sya! Keanno ngeliat kearah sini mulu."
Ternyata efek dari perkataan Niara mampu memporakpondakan jantung Tasya. Walau ucapan itu benar atau tidak.
"Sakit ya lo?"
"Sumpah gue serius," ada jeda, "Lo coba liat deh cepet."
Dengan gugup, Tasya menoleh kearah Keanno. Tamparan seolah menghampiri dadanya, Memang. Seharusnya Tasya tahu jika dirinya saja yang merasakan baper.
"Beneran sakit nih anak, orang dianya aja lagi tidur."
Iya, Keanno sedang menenggelamkan wajahnya diatas bantalan pergelangan tangannya. Mana ada dia ngeliatin? Kayaknya Niara cuma mancing doang deh.
"Lo mancing gue ya?" Tasya menyipitkan matanya kearah Niara.
Klarisa terbahak sesaat. "Mancing! Lo pikir mancing mania kali ah."
"Ah gatau deh benci gue sama lo berdua hari ini!" Tasya berucap kesal sambil mengeluarkan headseatnya. Mungkin kali ini, musik yang jauh mengerti dirinya.
***
"Sya, lo masih marah ya sama kita?" ucap Klarisa bersamaan dengan anggukan dari Niara.
Tasya hanya diam. Sebenarnya, diamnya Tasya bukan karena ia menumpuk gunung amarahnya. Namun karena ucapan Niara tengah menari indah di indera pendengaran dan sialnya susah Tasya lenyapkan.
Niara mengibaskan tangannya di depan wajah Tasya dan kali ini lamunannya terpecahkan. "Nggak. Gue cuma pusing."
Niara lantas melebarkan senyumannya, hendak menggoda temannya lagi. "Pusing mikirin Keanno?" tanyanya sembari terkekeh.
Lagi dan lagi. Andai saja keduanya tahu tanpa Niara menduga saja, otaknya sudah didominasi oleh laki-laki itu.
Klarisa segera memukul pelan lengan Tasya sambil berbisik kecil. "Hus! Lo tuh ya, temen lagi bete juga."
Tasya menatap benda di pergelangan tangannya, sudah hampir satu jam sejak pulang sekolah ia masih bersarang di kantin dengan ransel di pundak.
Bersamaan dengan itu, suara seseorang kembali menyapa telinga ketiga perempuan itu. Siapa lagi kalau bukan Revan.
"Yuk pulang?" tawarnya pada Klarisa dan langsung dijawab anggukan oleh Klarisa.
"Eh gue balik dulu ya?" ada jeda, "Nggak papa kan?"
Spontan Tasya mengangguk dan gadis bernama Klarisa itu langsung beranjak dari singgasanannya tadi. Hingga tersisalah, Tasya dan Niara.
"Lo mau balik kapan?"
Tasya kemudian beranjak dan gerakan serupa diikuti oleh temannya, Niara. Lantas keduanya jalan bersisian hingga sampai di depan gerbang sekolahnya.
"Lo mau pesen grab kapan?" tanya Niara.
Tasya segera mengeluarkan ponsel di saku rok abu-abunya. "Sekarang deh."
Bermenit kemudian keduanya sama-sama asyik dengan ponselnya. Entah sibuk melihat drivernya dimana atau sibuk dengan applikasi lain.
"Sya," ujar Niara memulai percakapan.
Tasya bergumam tanpa menoleh kearah lawan bicaranya itu. "Hmm."
"Lo kalo ada apa-apa cerita ya Sya," ada jeda, "Lo tau 'kan gue emang suka bercanda, tapi gue juga bisa kok serius."
Tasya kemudian tersenyum lebar mendengar penuturan temannya yang sepertinya merasa tidak enak karena sifat diamnya itu. "Sumpah! Lo apaan sih, emang gue kenapa dah."
Tin.
"Mbak Tasya ya?" setelah klakson tadi membuat perhatiannya teralihkan, ternyata grab Tasya sudah sampai.
"Gue duluan gapapa?" Niara mengangguk. "Grab gue udah deket kok."
Segera Tasya menumpangi dan memasangkan helm berwarna hijau dam tak lama kemudian, motor grab yang ia tumpangi sudah bergabung dengan kendaraan jalan raya lainnya.
Langit sore ini ditutupi segumpalan awan, entah pertanda hanya mendung atau memang akan datangnya hujan. Karena konon katanya, mendung tak berarti hujan.
Semoga saja, hujan datang saat Tasya sudah sampai di rumah.
Namun sayang, hampir setengah perjalanan sampai ke rumahnya. Driver grab tersebut menepikan motornya, lantas membuat Tasya mengernyit kebingungan.
"Kenapa pak?"
Driver grab tersebut lantas mengecheck kearah ban motornya dan ketika itu pula Tasya tersadar bahwa ban motornya kempes.
"Sampe sini aja ya neng, maaf. Nggak usah bayar juga nggakpapa," sahut driver grabnya.
Tasya mendesah pasrah lantas mengeluarkan beberapa jumlah mata uang. Ya walaupun dirinya tidak diantar sampai rumah, tapi 'kan namanya peristiwa jelek mana ada yang tahu 'kan? Juga driver grab ini merupakan bapak-bapak, coba bayangkan beban yang ada dipundaknya. Biaya hidup sekarang mahal.
Driver grab itu merekahkan senyumnya tulus pada Tasya. "Ya ampun neng, makasih banyak ya. Semoga rezekinya lancar terus."
"Amin pak, amin." Setelahnya, ia kembali membuka ponselnya, kali ini Tasya tidak sendiri. Karena ia ditemani oleh rintik hujan yang mulai menderas.
Pandangannya menatap lurus sebuah cafe yang berada di sebrangnya. Mungkin cafe itu pilihan tepat untuk berteduh, lagian Tasya malas juga menumpangi grab dengan jas hujannya.
Beli dessert mungkin cukup untuk menunggu tetesan air hujan mereda. Jemarinya lantas membuka pintu berkaca bening. Setelahnya mendaratkan bokong persis berhadapan dengan pintu masuknya tadi.
Sodoran menu sudah ia terima karena kali ini ekor matanya sedang membaca dereten beberapa menu. Roti panggang nutella kayaknya tepat.
Sembari menunggu, ia membuka ponselnya. Melihat beberapa postingan foto yang ada di rumah instagramnya. Atau terkadang ia melihat beranda linenya, entah itu akun receh atau akun penuh dengan quotes.
Ia mendesah berat, saat merasakan hawa dingin menusuk tulangnya. Mungkin hembusan angin mampu menerobos tebalnya kaca bening kemudian membaur dengan dinginnya ac.
Mbak cafe itu menaruh pesanan Tasya. "Makasih mbak."
Ia meraih garpu dan sendok hendak memotong bagian roti panggang dengan topping nutella, lantas memakannya.
Matanya menatap lurus kearah jalan basah nan becek itu. Juga melihat beberapa orang yang meneduh di teras cafe itu. Sesaat kemudian seseorang memasuki cafe ini dan kali ini mata mereka seakan beradu.
"Mau dimana?" tanya seorang perempuan setelah matanya menyapu bersih seisi ruangan.
Detik terus bergerak cepat, layak mood Tasya. Aneh, kenapa menurutnya hujan selalu membawa efek sedih?
Sebuah godam seakan menimpa dadanya berkali-kali lantas tak mengizinkan Tasya bernapas bebas. Sial, kenapa harus ada Keanno dan perempuannya disini?
Dengan jemari yang sama-sama mengenggam, mereka lantas berjalan kearah sisi kanan cafe. Tasya berusaha mengabaikan apa yang sudah ia lihat tadi.
Namun hatinya berkata lain, memang benar kata banyak orang. Hati dan logika jarang berjalan beriringan. Seperti saat ini, hati Tasya malah seakan merasakan sayatan.
Selera akan roti panggang nuttelanya entah sudah meluap kemana. Kenapa hanya karena sesuatu tentang Keanno membawa dampak yang begitu menyesakkan bagi Tasya?
Pandangannya kali ini tak ia izinkan melihat kearah mereka, dan tanpa sadar memikirkan itu membuat bola matanya kian memanas.
Sial, kenapa Tasya bisa se-sedih ini.
Bahkan Keanno bukan siapa-siapanya Tasya.
Mungkin jika ada orang yang tahu, ia bisa menertawainya persis di telinga karena kelebayannya. Biarlah, karena ada masanya sebuah rasa tak bisa dijelaskan.
Hujan perlahan mulai mereda, mungkin semesta mencoba berkonspirasi dengan hatinya saat ini. Membiarkan reda dan membuat Tasya angkat kaki dari cafe ini.
Lantas ia menopang dagu menatap rintikan hujan yang membasahi bumi, Tasya pun seakan terhanyut pada rinaian hujan itu.
"Tasya?" bersamaan dengan itu, perhatiannya terpecah. Matanya sontak terbelalak melihat siapa yang duduk didepannya kini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top