4
Moreno berniat mengunjungi makam leluhurnya setelah memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Tidak ingin hal tersebut menjadi beban baginya kelak. Tubuh tinggi itu melewati jalan setapak menuju area perkampungan. Karena pemakaman terletak di ujung utara desa. Saat melewati sebuah rumah yang terlihat sederhana dan asri, seorang gadis kecil memanggil dengan suara lantang.
"Ayah!" Tubuh mungil dengan rambut berkepang dua itu berlari mengejar lalu segera masuk ke dalam pelukan Reno. Tawanya terdengar kencang saat tubuhnya melayang bagai terbang bersama tangan kekar sang ayah. Sebuah kegiatan yang selalu mereka lakukan saat bertemu. Keduanya lalu duduk di teras.
"Ayah mau ke mana?"
"Ke makam uyut dan ibu. Mikha mau ikut?"
Gadis kecil itu mengangguk cepat.
"Sudah pulang sekolah hari ini?"
"Sudah, tadi cuma sebentar."
"Pamit sama nini dulu."
Langkah kecil itu segera melesat ke dalam. Selesai berpamitan keduanya pergi. Kali ini Mikha duduk di atas bahu sang ayah hingga sampai ke area pemakaman. Mereka segera membersihkan makam.
"Kenapa ayah kemari?"
Reno mengembuskan nafas pelan.
"Besok ayah akan ke Jakarta."
"Jauh sekali? Apakah ada urusan pekerjaan?"
Pria itu tertawa sambil mengelus rambut putrinya.
"Ya, ayah harus bekerja. Nanti kalau kamu libur kita ke sana lagi."
"Aku mau kita ke Dufan lagi."
"Boleh, sekarang berdoa dulu."
Moreno memimpin doa yang segera diaminkan oleh Mikha. Sebelum beranjak pria itu berkata dalam hati.
"Ki, besok aku akan ke Jakarta. Bertemu dengan keluarga William Surya. Sebenarnya enggan ke sana karena tidak merasa menjadi bagian dari mereka. Tapi ada begitu banyak pertanyaan tentang masa lalu dan ada hal yang ingin kuperjuangkan. Aku tahu kalau masih ada, aki pasti marah dan tidak mengijinkan. Anggap saja ini adalah penyelesaian dari pihak kita. Semoga semua akan berjalan dengan lancar."
Reno kemudian bangkit berdiri lalu menggenggam jemari Mikha. Gadis kecil itu berhenti sejenak di makam ibunya.
"Ibu, Mikha dan ayah pulang dulu."
Pria itu mengelus kepala putrinya dengan lembut. Mikha sama dengannya, tidak pernah mendapatkan kasih sayang ibu sejak lahir. Meski begitu ia yakin, kalau putrinya mendapatkan dari orang-orang di sekitar. Sama seperti dirinya dulu.
***
Begitu berhenti bekerja, Moreno kembali ke desa tempat kelahirannya. Pergi ke ladang atau hutan bersama Aki setiap pagi. Tubuh sang kakek semakin lemah, gerakannya tidak lagi segesit dulu. Kini mereka kerap berjalan santai atau berhenti ditanjakan beberapa saat. Keduanya memeriksa dengan teliti batas hutan milik mereka dan perusahaan kayu lapis yang bersebelahan. Karena orang-orang perusahaan kerap melewati batas untuk mencuri satu dua kayu besar yang terletak paling tepi. Bila ketahuan Reno tak segan mengusir mereka. Ini selalu menjadi masalah, namun tidak ada yang berani melawannya.
Setiap sore saat pulang, kembali pemuda itu melewati rumah Embun yang sudah remaja. Wajah putih itu tertunduk malu dan berwarna merah jambu setiap kali mata keduanya bertemu. Hingga suatu sore ia memberanikan diri untuk mampir. Keduanya duduk di teras rumah yang penuh dengan bunga. Di sana lah untuk pertama kali, Moreno mengutarakan niat untuk menikahinya. Tanpa suara embunnya mengangguk. Ia takkan pernah melupakan sore itu.
Sayang pernikahan harus ditunda, seiring dengan disetujuinya beasiswa yang diajukan Moreno di Toronto University. Embun mengantarnya sampai kecamatan untuk berangkat ke Kanada. Mata indah itu berkaca, membuat sang kekasih merasa bersalah dan berjanji dalam hati untuk cepat pulang, meski berlum berangkat. Karena menimba ilmu di luar negeri adalah mimpinya. Hubungan jarak jauh ternyata bisa dilalui meski kadang tak kuat menahan rindu. Waktu berlalu, sepulang dari sana barulah mereka menikah. Embun sangat cantik pada hari itu dan Moreno takkan pernah melupakannya. Mereka melalui hari-hari penuh bahagia. Tak butuh waktu lama Embun hamil. Meski begitu, sang istri masih sempat merawat Aki yang terbaring sakit. Bahkan ketika sedang hamil besar. Sayang, luka itu kembali terulang. Embunnya meninggal saat melahirkan.
Putri kecilnya yang cantik diberi nama Mihika Moreno. Sebuah nama yang memiliki arti yang kurang lebih sama dengan ibunya, Embun pagi dalam bahasa Hindi. Moreno tidak sanggup mengurusnya sendirian akibat patah hati. Karena itu sampai saat ini, Mikha masih tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibunya. Namun hampir setiap hari mereka bertemu. Sang ayah akan mengajari matematika dan bahasa inggris. Ia ingin putrinya kelak menjadi seorang perempuan yang mampu mengepakkan sayapnya lebih tinggi.
***
Moreno mengendarai mobil menuju alamat yang diberikan oleh pengacara. Sebuah hunian yang sangat privat khusus kalangan atas. Ia tak pernah melewati tempat ini. Setelah memperkenalkan diri pada petugas keamanan, pintu segera dibukakan. Seseorang memimpin kendaraannya menuju rumah besar dengan pintu berbahan kayu Merbau. Pria dengan tinggi 180 senti itu segera turun. Pintu terbuka! Ia segera menegakkan bahu, siap untuk bertemu dari orang masa lalunya.
Seorang pelayan mempersilahkan masuk. Diikutinya langkah itu dari belakang menuju ruang tengah. Di sana ada seorang pria paruh baya yang terlihat tampan bersama pria tua yang duduk di atas kursi roda dengan mata kosong.
"Kamu sudah datang?" pria paruh baya itu menatapnya lembut.
"Ya,"
"Saya Darius Surya, papamu." Ujarnya sambil mengulurkan tangan.
"Saya Moreno."
Ia sengaja tidak menambahkan embel-embel apapun saat membalas ucapan tersebut, karena masih belum bisa menerima masa lalu mereka. Moreno menyambut uluran tangan dengan sopan sesuai ajaran Aki. Ini pertama kali mereka bertemu setelah ia dewasa.
"Ini papi, ayah saya, kakekmu."
Kali ini sang anak tidak melakukan apa-apa. Karena yakin pria yang bernama William itu tidak akan merespon apapun yang terjadi di sekitar.
"Papi seperti ini sejak peristiwa pesawat jatuh. Silahkan duduk." Darius kembali berbicara dengan nada sedih.
"Terima kasih."
"Kamu tahu apa yang sudah terjadi pada keluarga ini. Saya sendiri baru pulang dari Amerika setelah sekian lama menetap di sana."
"Bisakah kita bicara tentang inti dari pertemuan ini?" Moreno tidak ingin lagi melanjutkan basa basi yang tidak jelas di mana ujungnya.
Darius seolah menahan nafas. "Hanya tinggal kita ahli warisnya. Saya, kamu dan dua anak laki-laki saya yang tinggal di New York."
Kembali pria paruh baya itu diam sambil menunggu reaksi Moreno. Namun sang anak tidak mengatakan apa-apa.
"Ini menyangkut seluruh bisnis keluarga Surya. Saya juga sangat baru sebenarnya. Selama ini semua diurus papi dan kakak laki-laki saya. Tapi kamu tahu mereka dan seluruh keluarga yang lain sudah tidak ada. Saya berpikir untuk menyerahkan bagian kamu."
"Saya tidak meminta apa-apa. Cukup kembalikan saja tanah milik kakek saya yang kalian ambil dengan paksa. Sebelum meninggal beliau kerap bercerita tentang apa yang sudah kalian curi darinya."
Darius menatap tak percaya. "Saya menawarkan hal lain yang nilainya jauh diatas itu."
"Saya tidak peduli tentang angka. Yang saya inginkan hanya hutan milik kakek."
"Hutan itu adalah satu-satunya penopang hidup industri kayu lapis yang kita miliki. Hutan yang lain sudah dialihkan menjadi kelapa sawit. Kamu bisa memiliki sebagian dari itu."
"Saya tidak peduli dengan yang lain karena memang tidak menginginkannya. Kalian akan lebih terkejut jika lahan sawit berada ditangan saya. Karena pasti dikembalikan menjadi hutan dalam arti sebenarnya. Kalau anda mau memberi, saya tidak akan meminta yang lain. Kalau tidak, saya juga tidak akan menerima yang lain."
"Itu tidak sesuai dengan wasiat papi."
"Saya pribadi tidak mengenal dia jadi tidak ada urusan dengan wasiat. Saya hanya ingin mengetuk nurani anda, untuk mengembalikan tanah yang sudah dicuri puluhan tahun yang lalu. Kalian pasti sudah puas dengan hasilnya. Kalau anda berubah pikiran, silahkan hubungi saya."
"Saya tetap papamu."
"Papa yang pergi ke Amerika setelah meninggalkan ibu saya saat tengah hamil dua bulan? Laki-laki yang berhasil mencuri uang ayahnya untuk memulai hidup? Atau papa yang suatu hari datang, melihat saya pulang dari sekolah dan tidak pernah datang lagi setelah diusir kakek?"
"Kamu tidak tahu apa-apa." Laki-laki itu terlihat mulai emosi.
"Dan anda sudah terlambat untuk memberi tahu, karena saya sudah memutuskan untuk tidak mau tahu."
"Jaga ucapan kamu! Saya bisa saja tidak memberikan apa-apa padamu."
"Dan seperti sebelumnya, saya tidak keberatan. Jika anda mau meruntuhkan gunung pun, itu bukan urusan saya. Tapi kalau anda masih memiliki nurani, kembalikan hak saya."
Darius terdiam. Ia menatap sang ayah, William yang tidak bisa lagi melakukan apa-apa. Moreno segera bangkit dari tempat duduknya.
"Jika anda berubah pikiran, carilah saya. Jika tidak, jangan pernah menghubungi kembali. Karena saya tidak punya pilihan lain untuk diberikan."
Langkah panjang itu bergegas meninggalkan ruangan tanpa menoleh sekalipun. Mengingatkan Darius saat kepergiannya puluhan tahun lalu. Dia pernah melakukan hal yang sama.
***
Sebelum pulang, Moreno mampir di sebuah gerai donat ternama kesukaan putrinya. Mikha sangat suka pada toping warna warni yang terlihat menggoda. Pria itu juga memesan dua buah croissant dan segelas kopi untuk menemani perjalanan yang akan memakan waktu sekitar enam jam lebih. Tergantung kemacetan jalan yang akan dilewati.
Tak langsung pulang pria itu duduk di sebuah kursi. Menikmati kemacetan khas kota Jakarta dari balik kaca. Ia tidak pernah ingin tinggal di sini. Tapi hari ini sekadar berganti suasana. Hutannya jauh lebih menarik. Udara bersih, air yang jernih dan juga kicau burung hutan yang terdengar bersahutan. Meneguk kopi adalah keharusan bagi Moreno pada siang hari. Ia adalah pecandu minuman tersebut. Entah sejak kapan, tapi kopi bisa memperbaiki mood-nya.
Pertemuan dengan Darius tadi membuatnya sedikit terganggu. Setelah seluruh keluarga habis, barulah mereka mengingatnya. Selama ini ke mana saja? Dia bukan menginginkan warisan. Karena memang bukan pebisnis dibidang itu. Dia tidak akan tega melukai masyarakat, hewan serta merusak lingkungan akibat demi kelangsungan sebuah usaha. Lebih senang berada di hutannya sendiri. Meski godaan dimanapun juga sama besarnya.
Merasa sudah cukup baik, Moreno kembali mengendarai jeepnya menembus jalanan ibukota. Beruntung tak perlu lama berada di sini. Kembali pria itu menikmati perjaanan menembus keramaian. Perlahan mobil bergerak ke arah luar kota. Di mana bangunan beton mulai tergantikan dengan pemandangan sawah dan ladang. Malam hari begitu tiba di desa kecilnya. Pria itu mampir sebentar memberikan oleh-oleh pada Mikha. Gadis kecilnya bersorak girang saat mengetahui dibawakan donat. Merasa letih, segera ia pamit pulang. Kali ini menginap di rumah Aki. Rindu pada suasana sepi sendirian.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
11422
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top