3
Saya jawab di sini beberapa pertanyaan yang sering kali diajukan, ya.
1. Kalau saya sudah meluncurkan cerita baru artinya ada yang sudah akan selesai. Tidak ada maksud menunda, tapi saya butuh feel untuk menyelesaikan ending cerita tersebut. Dari pada saya diam, lebih baik mengisi waktu untuk lebih produktif sambil tetap melanjutkan yang lama.
2. Ini buat pembaca baru, saya sarankan untuk membaca caption disamping judul setiap cerita. Biasanya saya sudah memberi keterangan, Apakah sudah dijual di PlayBook. Atau saya tarik dengan alasan takut plagiat dan revisi. Terutama untuk tulisan lama. Jadi saya nggak pernah hiatus atau berhenti ditengah jalan.
3. Saya selalu menyelesaikan cerita di Wattpad. Tapi akan memberikan extra part yang jauh lebih lengkap pada edisi ebook dan novel. Untuk menghargai mereka yang sudah membeli. Hanya satu yang lebih banyak edisi Wattpad yaitu ANDHARA. Ketika itu karena terkendala jumlah halaman terpaksa saya cut sebagian. Dan hanya satu juga yang jalan ceritanya saya ubah, yakni Andante, sekitar tiga puluh persen. Bukan diubah total ya. Karena tidak puas dengan versi Wattpad yang menurut saya terlalu drama. Jadi jangan pernah mengatakan,
"Mending jangan beli buku Mbak Masda, karena di Wattpad SELALU lebih lengkap daripada di playbook atau di novel."
"Novel Mbak Masda sering berbeda dengan yang di Wattpad. Nanti kamu kecewa kalau beli."
Jika kalian tidak tahu, lebih baik tidak usah menyebarkan berita yang tidak benar pada orang lain.
Terima kasih.
***
Tubuh Ahmad bergetar hebat menahan emosi. Ia terkejut, saat tadi malam bidan desa mengabarkan Embun ada di rumah sakit kecamatan dalam keadaan hamil tua dan akan segera melahirkan. Banyak pertanyaan dalam benak tua itu, ke mana suaminya? Ke mana keluarga William? Apakah mereka mengembalikan putrinya setelah semua rencana mereka berhasil tanpa mengatakan apapun?
Ahmad memang marah pada Embun, sebelumnya bahkan tidak berniat memaafkan Tapi kini, rasa cinta yang begitu besar membuatnya tidak bisa membiarkan sang putri sendirian menghadapi kenyataan pahit. Anak tetaplah akan menjadi seorang anak. Mereka tidak punya siapa-siapa lagi setelah istrinya meninggal tiga bulan yang lalu. Netra tua itu tidak tega melihat sang anak menderita sendirian. Beban embun pasti lebih besar daripada yang dirasakannya.
"Embun minta maaf karena sudah menyakiti dan membohongi Abah. Selama ini banyak salah dan sudah mengecewakan. Embun tidak pantas menjadi anak Abah."
"Jangan bicara begitu, kamu tetap anak abah."
Putri satu-satunya itu kembali menangis. Laki-laki mana yang tega saat melihat anak yang mereka besarkan menangis? Demikian juga Ahmad. Pria itu masih marah, tapi tak lagi bisa membenci.
"Maukah abah merawat bayi ini nanti? Walaupun mereka sudah sangat mengecewakan abah?"
"Abah berjanji akan merawatnya."
Embun sedikit tersenyum. Ada semburat cahaya dalam matanya. Setelah sekian lama tersiksa dengan kenyataan. Ditinggalkan tanpa suaminya tahu bahwa ia tengah mengandung dua bulan.
"Maukah abah menamainya Moreno Surya?"
Kini Ahmad menatap putrinya tak percaya. Kenapa Embun masih memikirkan nama keluarga penipu itu? Tapi mata di depannya terlihat begitu berharap.
"Nama itu terlalu kota. Tidak baik bagi kami yang tinggal di kampung. Lagi pula kita belum tahu apakah dia perempuan atau laki-laki. Tapi dia putramu, kamu yang berhak memberinya nama."
"Terima kasih abah. Sekali lagi Embun minta maaf."
Baginya, permintaan maaf itu tidak lagi penting. Melihat mata putrinya terluka jauh lebih menyayat hati. Apalagi pulang dari kota dalam waktu hampir tengah malam hanya diantar supir. Sungguh biadab William dan keluarganya. Pria itu berusaha menahan tangis.
"Abah sudah memaafkan Embun." bisiknya di telinga sang anak.
Keduanya berpelukan. Ahmad tahu kalau putrinya tidak bahagia. Mereka semua sudah mensia-siakannya. Sopir yang mengantar Embun menunggu hingga ia datang lalu menceritakan semua. Sepertinya mereka memang sengaja memperalat putrinya. Itu adalah pembicaraan terakhir sebelum Embun masuk ke ruang bersalin dengan pipi basah penuh air mata. Ia menunggu di luar dengan cemas dan tak pernah tahu kalau itu adalah pertemuan terakhir mereka. Karena beberapa jam kemudian mendapat kabar, jika Embun sudah meninggal karena kekurangan darah.
Ahmad menatap kejauhan. Di mana area perbukitan nampak kebiruan. Masih tak percaya, kala menggendong bayi laki-laki mungil bertubuh kurus dan berambut tebal itu. Tidurnya nyenyak, tanpa tahu apa yang terjadi. Pemakaman Embun sedang dilaksanakan. Ahmad bersumpah, sejak saat ini, ia takkan pernah mau berurusan lagi dengan keluarga William! Anak laki-laki ini miliknya, pengganti Embun yang pergi untuk selamanya. Dan akan menjadi cucu satu-satunya.
Kembali ditatapnya wajah bayi yang terlelap dalam dekapannya. Cucunya mengalami kesedihan dihari pertama menghirup udara. Tak pernah mengenal dan menikmati pelukan ibunya. Apalagi menyusu dengan manja. Ahmad kini tahu, ia harus bisa bertahan hidup untuk Moreno. Meski semua terasa berat karena ia sudah tua.
***
Moreno tumbuh menjadi anak laki-laki sehat dan kuat. Setiap hari ia ikut sang kakek memasuki hutan. Mengelilingi tempat laksana surga yang menyediakan banyak makanan dan tempat bermain. Tubuh kecil itu selalu berusaha mengikuti langkah lebar kakeknya. Ini adalah kegiatan mereka sehari-hari. Selesai sarapan keduanya akan ke sana. Sekadar melihat keadaan dan mengambil sayur. Hutan sangat menyenangkan bagi anak kecil itu. Tempat di mana ia bisa berlari bebas mengejar kelinci. Atau menikmati jambu air merah yang berbuah lebat. Kakeknya akan dengan senang hati memanjat. Meski kadang buahnya sedikit asam, tapi bisa menghilangkan rasa haus.
Telinga kecil itu juga sudah terbiasa membedakan bunyi gemerisik rumput. Apakah itu musang, babi hutan, atau malah ular. Reno kecil tahu di mana sarangnya juga cara menghindari mereka. Kakeknya memberi tahu tentang banyak hal. Ia bahagia di sini. Meski tak memiliki banyak teman, tapi bisa bermain sepuasnya. Kakeknya mengajari cara memanjat pohon, memilih jamur, mengambil bumbu dapur dan banyak lagi.
Saat malam, ia akan mendengarkan cerita dari mulut sang kakek. Tentang bagaimana dulu berhadapan dengan Belanda saat jaman penjajahan. Anak kecil itu senang mendengar kisah perjuangan. Merasa bagian dari kejadian heroik tersebut. Berharap kelak bisa menjadi pejuang juga. Selesai bercerita mereka akan tidur bersama, setelah abah memantikan lampu teplok di dinding. Moreno tidak takut, karena ada sinar bulan yang menemani.
***
Reno yang sudah berusia tujuh tahun terlihat lebih istimewa dibandingkan dengan teman-temannya. Tubuhnya jauh lebih tinggi dengan mata coklat dan rambut tebal berombak. Kulitnya putih bersih, yang bagi Kakeknya mirip dengan Embun. Namun semua warga desa seolah memutuskan tutup mulut mengenai asal usulnya. Tidak ada yang menceritakan karena tidak tega melihat kesedihan diwajah Abah Ahmad.
Kini Reno mulai bersekolah. Berlokasi di desa lain yang cukup jauh. Entah kenapa ia suka sekali belajar. Sering, saat akan berangkat hujan turun dengan deras. Ia dan teman-temannya menggunakan daun pisang atau keladi sebagai payung. Tempat sejauh tiga kilometer itu terasa dekat. Sepanjang jalan mereka akan bernyanyi, bermain kejar-kejaran. Kadang kalau letih berhenti sejenak di kebun milik orang lain. Mengambil buah jambu. Memakan sebagai pengganjal perut.
Kadang, mereka berhenti sejenak dibawah sebuah pohon besar di tepi jalan saat matahari memancarkan sinar terik. Sambil bercerita tentang sandiwara radio, ataupun berita di televisi. Reno selalu tertarik untuk mendengarkan cerita tentang luar negeri. Berharap kelak bisa menginjakkan kaki di sana. Berbahasa inggris seperti tokoh di film. Meski untuk menyaksikan hal tersebut harus menumpang menonton di rumah Pak Kades.
Reno tidak pernah mendapatkan uang jajan. Kebanyakan temannya juga seperti dirinya. Sesampai di rumah barulah makan. Menikmati ikan atau udang hasil tangkapan di sungai. Kadang gulai ayam peliharaan kakek. Disaat hari raya, barulah mereka memakan daging. Tapi sebenarnya sepanjang yang Reno lihat, jarang sekali kakeknya mengkonsumsi itu. Sang kakek lebih suka makan sayur.
Kehidupan seperti itu selalu terjadi setiap hari. Hingga kemudian ada hari yang berbeda. Ketika pulang sekolah, saat memasuki jalan setapak kampung yang baru-baru ini diperlebar. Ada banyak teman seusianya berlarian menuju arah rumahnya. Tempat kediaman kakeknya berada. Di sana ada sebuah mobil yang sangat bagus. Berwarna putih dan terlihat mengkilap. Ia tak pernah melihat kendaraan sebagus itu. Biasanya cuma angkot tua yang akan memasuki desa pada pagi atau siang hari.
Langkah mungilnya berhenti di depan rumah. Ada kakeknya sedang menatap tajam seorang pria muda berambut hitam seperti dirinya. Tengah tertunduk seolah merasa bersalah. Sementara kakeknya berdiri kaku dengan rahang terkatup. Reno mengira orang tersebut pasti sudah mencuri di hutan karena itu Aki marah. Menyadari kehadirannya sang kakek berkata dengan suara lembut seperti biasa.
"Kamu masuklah, makan dulu. Habis itu kita jalan-jalan ke hutan."
Reno mengangguk. Tak biasanya seperti ini. Aki adalah orang yang sangat mengutamakan sopan santun. Dan kewajibanyalah menyalami setiap tamu yang datang. Tapi sepertinya ini adalah pengecualian. Kembali menoleh pada teman-temannya yang merubungi mobil. Ia juga ingin menyentuh, sayang mata tajam aki menghentikan keinginannya. Hanya terdengar sekilas kalimat.
"Kamu sudah melihatnya, pulanglah sekarang. Dia milik saya. Dan jangan pernah mencoba melakukan penipuan apapun lagi. Karena kali ini saya tak akan diam."
Aki kemudian meninggalkan pria itu di teras lalu memasuki rumah. Lama sampai terdengar mobil itu pergi. Selanjutnya kehidupan Reno berjalan seperti biasa. Ke sekolah, pergi ke hutan, mandi di sungai. Tapi ia tak pernah bosan.
***
Memasuki masa SMP sekolah semakin jauh. Reno kini harus pergi lebih pagi ke kecamatan. Rasa sepi mulai menggelayut. Banyak teman-temannya yang tak lagi bersekolah. Selain alasan kesulitan ekonomi, juga karena bagi sebagian besar warga desa bukanlah keharusan untuk berpendidikan tinggi. Mereka lebih suka hidup bebas sambil membantu orang tua di kebun atau sawah. Itu membuatnya kadang merasa sedih. Aki mengharuskannya sekolah karena tidak ingin ia menjadi orang bodoh.
Teman-teman di SMP jauh berbeda dengan saat masa SD. Di sana ia mulai mengenal kelompok pertemanan. Yang orang kaya akan berteman dengan orang kaya. Karena merasa bukan siapa-siapa, maka Reno kembali berteman dengan orang sedesanya. Ia tidak punya banyak teman. Tapi bertekad untuk lebih tekun belajar. Beruntung kakeknya adalah mantan seorang veteran. Sehingga masih menerima uang pensiun. Yang bisa digunakan untuk ikut kursus bahasa inggris. Selain itu mereka memiliki sejumlah kebun dan sawah yang disewa oleh penduduk lain.
Menjelang akhir SMU, tidak ada yang berbeda. Namun seperti remaja yang lain. Ia mulai jatuh cinta pada seorang gadis kecil di kampung. Meski belum berani untuk berterus terang. Bernama sama dengan ibunya. Embun! Perempuan menjelang remaja yang cantik dan lembut. Memiliki senyum tulus serta bola mata yang indah. Selalu tersenyum malu saat mereka bertemu. Meski saat itu Embun baru memasuki usia sebelas tahun.
Melewati rumah Embun adalah kesukaan Reno kala itu. Bila berpapasan saat sang gadis baru pulang dari sungai. Wajah putih Embun akan memerah dan meliriknya sambil tertunduk. Ia membuat Reno rajin ke kebun juga ke sawah sepulang sekolah. Tidak peduli kalau kulitnya bertambah legam akibat pada terik maupun hujan. Asalkan bisa menatap wajah orang yang disukainya meski hanya sekilas. Sayang cinta itu akhirnya harus ditinggal. Saat meneruskan kuliah di Bogor.
Masa-masa kuliah juga dilalui selayaknya mahasiswa lain. Ikut kegiatan pencinta alam. Mendaki bersama teman-teman saat libur atau akhir pekan bahkan sampai ke luar Pulau Jawa. Beruntung bisa selesai tepat waktu. Reno pernah bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Sumatra setelah menjadi sarjana namun tak lama. Jiwanya tidak berada di sana.
Ia menjadi saksi bagaimana perusahaan akan melakukan segala upaya untuk menguasai tanah warga. Tak ada air jernih di sana. Tak ada kicau burung dan suara binatang hutan pada malam hari. Ia merindukan hal itu. Karenanya, memutuskan untuk resign. Lalu berencana untuk menggapai mimpi yang lain. Mengambil program S2 dibidang kehutanan di luar negeri. Sebuah mimpi yang masih dipeliharanya.
Selama itu pula ia tak pernah bertemu dengan keluarga ayahnya. Bahkan tahu bahwa pria yang dulu datang bermobil bagus adalah ayah kandungnya. Saat tak sengaja berbincang dengan seorang tetangga yang menceritakan bagaimana mereka menipu aki melalui ibunya. Sesuatu yang sangat disesali dan membuatnya marah. Karena itu ia tak pernah mencari mereka. Pun ketika kesusahan di negeri orang dan harus bekerja keras untuk mendapat penghasilan tambahan.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
8422
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top