11


Menemani kamu yang lagi masak ketupat atau opor ayam. Bisa juga nemenin yang lagi mellow kayak saya, teringat pada keluarga yang sudah tiada. Ketika waktu terasa begitu cepat. Dan tak ada pilihan kita harus tetap bergerak.

Selamat menjelang lebaran. Semoga kalian dan keluarga sehat semua.

I love you.. all

***

"Kenapa Mas?"

"Nggak apa-apa. Cara berpikir kamu berbeda dengan orang kebanyakan."

"Cuma mengkhayal saja. Nggak mungkin lah saya punya lahan seluas ini. Cicilan mobil saja baru lunas. Mikha itu anak Mas?"

"Iya, kenapa?"

"Lucu banget anaknya. Saya suka rambutnya, panjang banget. Hitam tebal lagi."

"Dia mirip ibu."

"Kalau boleh tahu meninggal kenapa?"

"Waktu melahirkan Mihika. Hari ulang tahunnya sama dengan kematian ibunya. Karena itu kami tidak pernah merayakan. Saya merasa bersalah tidak bisa menyelamatkannya." Mata pria itu menerawang seolah tengah melihat sesuatu yang menyedihkan di atas langit.

"Maaf," Renata segera merasa bersalah.

"Tidak apa-apa. Semua sudah berlalu."

"Patah hati ditinggal mati pasti menyakitkan ya, Mas?"

"Sangat, apalagi saat menyadari kalau dia tidak bisa lagi bersama kita. Kata orang lebih baik diselingkuhi atau ditinggal pergi."

"Nggak juga sih, Mas. Semua punya rasa sakit masing-masing. Saya sudah merasakannya. Nggak kuat melihat dia bersama perempuan lain. Malah mau mati aja rasanya."

Keduanya tertawa kecil.

"Setiap mengingat hal buruk yang pernah terjadi dalam hidup. Ketika kisah sudah berlalu, orang bisa menarik hikmah dan menganggap hal tersebut sebagai lelucon getir yang pantas ditertawakan. Karena itu kamu kemari?"

Renata mengangguk kali ini senyumnya lebih lebar. Keduanya kini tersenyum. "Mau ke sungai?"

"Boleh Mas. Apa nanti kita akan menjemput Mikha lagi?"

"Ya, dia senang tinggal bersama saya. Meski sebenarnya saya cukup galak menjadi ayah. Karena pekerjaan, dia harus tetap bersama kakek dan neneknya. Meski sekarang terpikir untuk mengambilnya. Semua butuh pertimbangan yang matang. Saya harus menyiapkan rumah dan orang yang bisa menjaganya setiap saat. Belum lagi kalau nanti dia sudah sekolah formal."

"Iya sih, tapi sepertinya dia anak yang baik."

"Dia mirip saya."

"Kalau ibunya?"

"Embun pemalu sekaligus pendiam. Tidak suka bertanya, semua dipendam sendiri. Mungkin karena itu kami cocok karena saya tipe sebaliknya. Kalau saya memiliki pasangan yang banyak menuntut, bisa jadi tidak akan bertahan lama. Sayangnya, malah dia yang pergi duluan."

"Mas pasti sangat mencintainya."

"Ya, sejak dia masih SD. Saat itu saya sudah SMU. Dia sangat rajin di rumah. Bagi saya yang selalu hidup di desa, perempuan idaman ya, seperti dia."

"Kalau sekarang?"

"Tidak pernah berpikir tentang pasangan. Kepergiannya membuat saya patah hati berkepanjangan. Kenapa saya jadi malah cerita ke kamu?"

"Mungkin karena kita tidak saling kenal dan sama-sama pernah patah hati. Kadang lebih mudah berbincang dengan orang luar dari pada lingkaran pertemanan atau keluarga. Kita tidak butuh solusi Mas, cuma butuh cerita. Dan malas juga kalau akhirnya orang bercerita tentang kita di belakang sana."

"Ya, kamu benar. Bagaimana, sudah lega?"

"Sedikit, besok-besok semoga saya tidak bertemu mereka lagi. Kalau sampai bertemu, hancur lagi saya." Renata memberikan senyum miris.

"Janganlah, kamu pasti seorang perempuan yang kuat." Moreno kembali menatap ke arah matahari. "Sudah mau tengah hari, kita ke sungai sekarang."

"Ayo."

***

Renata baru saja menyelesaikan night routine-nya. Sepulang dari hutan ia mandi dan langsung makan malam. Tidak terlalu takut gemuk karena selama berada di sini ia akan banyak berolahraga. Terdengar suara ketukan di pintu. Seorang gadis kecil dengan boneka beruang sangat besar di tangan menatapnya. Didampingi oleh sang ayah keduanya berdiri.

"Hai Mikha?"

"Hai Tante."

"Maaf kami mengganggumu malam-malam."

"Enggak, kok. Ayo masuk."

"Tante lagi ngapain?"

"Baru selesai merawat wajah. Kenapa?"

"Tante cantik sekali."

Renata tertawa lalu meraih Mikha agar duduk di pangkuannya. Setiap bertemu kalimat tersebut tidak pernah lupa terucap dari bibir mungilnya.

"Kamu menginap di sini?"

"Iya, tapi di pondok sebelah sana. Kata Ayah ini hanya untuk tamu."

"Kenapa nggak menginap di sini saja? Bareng tante?"

"Mikha tidak boleh mengganggu tamu."

"Kita, kan berteman,"

Moreno tertawa kecil melihat bagaimana Renata berinteraksi dengan putrinya.

"Tapi, Tante tetap tamu Ayah. Dan orang kota butuh istirahat kalau kemari."

"Begitu ya, Mikha tidur sama siapa?"

"Nanti ditemani Ayah. Aku mau tidur sekarang Tante. Kemari cuma mau bilang selamat tidur."

Renata segera merentangkan kedua tangannya lantas membawa Mikha masuk ke dalam pelukannya. "Terima kasih banyak. Selamat tidur juga. Sampai bertemu besok pagi." balas gadis itu sambil mencium kedua pipi Mikha.

"Sama-sama Tante."

"Kami pamit dulu. Maaf mengganggu kamu. Tadi dia yang meminta ketemu."

"Nggak apa-apa Mas, saya senang Mikha datang. Besok ke sini lagi ya, Tante punya coklat, kita bisa makan bareng."

"Tapi tunggu Mikha pulang sekolah ya, Tante."

"Pasti." Gadis itu beranjak menuju pintu untuk melepas Mikha.

***

"Ayah, Tante Renata itu cantik sekali, ya. Rambutnya bagus, kulitnya putih. Apa Mikha nanti bisa seperti dia?" tanya gadis kecil itu saat berbaring di pangkuan ayahnya sambil menatap bintang. Keduanya tak jadi tidur di pondok, melainkan berkemah di lapangan besar tempat area perkemahan biasanya berlangsung.

'Kenapa? Putri ayah jauh lebih cantik."

Mikha menatap ayahnya sambil tersenyum lebar. "Tante Renata juga baik. Apa ibu dulu seperti Tante?"

Pria itu menatap langit di kejauhan. Embunnya jelas berbeda dengan Renata. Istrinya lebih lembut dan cantik menurutnya. Perempuan desa yang memahami bagaimana mimpi dan keinginannya. Teringat akan pelukan dan elusan di punggungnya setiap malam. Juga wajah yang memerah saat ia membisikkan kata cinta setelah mereka selesai bercinta. Embun sulit untuk digantikan oleh siapapun.

"Ayah?" suara Mikha menyentak lamunannya.

"Mereka berbeda, setiap orang tidak ada yang sama. Dan jangan bicara tentang meminta ibu pada Tante Renata. Itu tidak sopan."

Mikha mengangguk sambil menguap. Kembali Moreno mengusap rambutnya. Entah sampai kapan bisa seperti ini. Gadis kecilnya akan tumbuh besar. Kelak menjadi milik orang lain. Dan Rasanya Moreno belum siap untuk itu. Setiap menatap wajah Mikha ia merasa tengah menatap Embun. Tak lama gadis kecilnya sudah tidur. Pelan diangkatnya memasuki tenda lalu membaringkan serta membenahi selimutnya. Besok mereka akan mandi di sungai.

Jujur ia ingin memberikan pendidikan terbaik untuk Mikha kelak. Tapi berarti mereka harus berpisah karena sekolah terbaik hanya ada di kota besar. Kembali pria itu ke luar dan membenahi api. Terdengar suara gemeretak kayu yang terbakar. Di kejauhan suara binatang malam bersahut-sahutan bagai musik yang mengalun merdu. Moreno merebahkan tubuh memasuki kantong tidur. Bibirnya tersenyum saat mencium aroma rumput, tanah dan kayu di sekitar.

***

Renata bangun jam delapan pagi. Masih bermalas-malasan di tempat tidur sambil menikmati udara pagi yang cukup dingin. Di luar sana terdengar kicauan burung dan langkah beberapa kali. Selebihnya cuma hening. Perlahan gadis itu bangkit dan memasuki kamar mandi. Kembali melanjutkan morning routine, membersihkan wajah lalu mandi. Mengenakan sunblock dan bedak tipis serta lipstick hingga akhirnya siap ke luar.

Beberapa tamu yang menginap menatap kagum hingga ada seorang perempuan yang mengenal menegur.

"Mbak Renata ya, yang model itu, kan?"

"Iya mbak."

"Foto dong mbak, boleh?"

"Boleh." jawab Renata sambil tersenyum lebar.

Yang lain segera menyerbu. Gadis itu melayani dengan ramah. Moreno menatap dari pintu dapur. Ia kebetulan baru sarapan. Selesai semua barulah perempuan cantik itu menghampiri sang empunya penginapan.

"Saya baru bangun Mas. Mikha mana?"

"Sarapan dulu. Mikha sedang sekolah. Nanti jam sebelas sudah pulang. Kamu mau ke mana hari ini?"

"Belum tahu, rasanya berbaring seharian juga menarik sih, karena nggak harus kerja."

"Mau ikut saya ke hutan sebelah? Saya mau meninjau sebentar."

"Boleh, tapi saya sarapan dulu ya,"

Moreno mengangguk. Begitu selesai keduanya segera menuju Jeep milik pria itu. Beberapa orang menatap tak percaya.

"Itu Kang Reno pacaran sama model?"

"Iya meureun, si akang pan nggak pernah sama perempuan."

"Si teteh yang hilang kemarin?"

"Iya,"

"Pantesan, mungkin supaya nggak hilang lagi." Yang lain ikut tertawa.

Sementara keduanya kini menyusuri jalanan hutan.

"Yang menginap di sini naik apa ke hutan Mas?"

"Biasanya mereka cuma jungle track. Kalau yang bulan madu paling jauh ke sungai."

Renata tertawa mendengar kalimat tersebut.

"Sudah hapal ya, Mas."

"Sangat. Yang penting mereka pasangan yang sudah halal. Ini adalah hutan di mana kesuciannya juga harus dijaga."

Renata tidak memberi tanggapan memilih fokus menatap jalanan yang sebagian penuh lumpur. Moreno sedikit mengurangi kecepatan di sebuah tikungan. Dan di depan sana tampak seorang bapak menggembalakan banyak sapi. Pria itu menyapa sejenak sebelum akhirnya kembali menjalankan kendaraan. Hingga kemudian mereka tiba di sebuah jalanan yang jauh lebih lebar. Di pintu berpagar kawat ada sebuah pondok kecil.

"Saya turun sebentar, mau minta ijin masuk."

Renata hanya mengangguk. Setelah diberi ijin pintu dibuka. Kali ini jalanan sudah sangat rata dan lebar. Meski masih belum diaspal tapi terlihat bahwa tanah sangat padat. Mungkin karena sering dilalui kendaraan berat.

"Kita ke mana Mas?"

"Saya ada janji sebentar."

Cukup lama hingga mereka seperti berada di sebuah perkampungan. Rumah panggung berjejer suasana tetap sepi. Mobil berhenti di sebuah rumah yang terlihat terbuka.

"Kamu tunggu saya di sini sebentar."

Renata hanya mengangguk. Langkah panjang Moreno menaiki rumah panggung. Seseorang segera menyambut.

"Selamat siang Kang."

"Siang, sudah mendapat surat dari Jakarta?"

"Sudah Kang, mengenai kepemilikan lahan dan pabrik?"

"Berapa karyawan di sini?"

Pria itu segera menyerahkan print out data. Cukup banyak ternyata pikir Moreno. "Boleh saya bawa ini?"

"Silahkan kang."

"Kalau begitu saya permisi."

Pria yang ditemui mengantar sampai ke mobil memberi senyum hormat pada Renata. Pria itu segera meletakkan map di kursi belakang.

"Mau saya ajak ke air terjun?"

"Boleh Mas."

"Kamu keberatan kalau saya jemput Mikha dulu?"

"Enggak masalah sih, tapi saya ada janji makan coklat siang ini. dan saya tidak bawa sekarang."

"Nanti sore saja makan coklatnya."

Mobil kembali bergerak. Bagi Renata, Moreno adalah pria yang sopan dan ramah. Setiap berpapasan dengan orang atau mobil ia akan menegur duluan. Jauh berbeda dengan Bram yang selalu harus disapa lebih dulu. Gadis itu memejamkan mata, kenapa jadi membandingkan mereka?

***

Happy reading

Maaf untuk typo

1522

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top