1
Saya selalu tertarik pada orang yang care terhadap konservasi alam dan aktivitas sosial di masyarakat. jadi jangan bosan ya, kalau membaca cerita yang bersinggungan dengan dua hal tersebut.
Kali ini kita akan bertemu dengan Moreno dan Renata. Dua orang yang sama-sama memiliki passion kuat terhadap kehidupan pekerjaan masing-masing. Keduanya bagai langit dan bumi. Tidak ada hal yang bisa menyatukan mereka kecuali hati.
Ini adalah novel dewasa, tapi bukan berarti banyak adegan ah..uh. Tapi mungkin ada keputusan-keputusan tokohnya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut banyak orang.
Selamat membaca, semoga suka.
***
"Kang, beneran nggak mau ikutan ke pasar malam?"
Terdengar suara Asep yang berteriak dari depan. Sementara aku masih sibuk menyiangi ikan hasil menjaring di sungai sore tadi.
"Kalian saja. Saya tunggu di base camp." jawabku. Hari ini memang pasar malam mulai dibuka. Sejak sore terdengar suara dentuman musik di kejauhan. Lagu-lagu dangdut dan campur sari yang menyentak silih berganti. Membuat siapapun yang mendengar ingin bergoyang. Demikian juga staf yang tinggal di sini.
Sebagai orang pelosok yang haus akan hiburan. Pasar malam yang buka setahun sekali seolah menghidupkan suasana yang selama ini sepi. Tidak ada hiburan di desa yag terletak di tepi hutan. Meski begitu, aku sama sekali tidak tertarik untuk ke sana. Selain tidak suka keramaian juga enggan jika harus bertemu dan saling menyapa dengan banyak orang. Meski lahir dan besar di sini, pergaulanku sangat terbatas sejak dulu.
Kembali kubersihkan sisik ikan. Ikan sungai memang tidak seperti ikan laut. Selain sisik, duri mereka juga sedikit lebih keras. Tapi percayalah rasa manisnya tidak jauh berbeda. Masih banyak di ember dan butuh waktu untuk menyelesaikan semua. Hari ini tangkapan melimpah. Cukuplah untuk lauk kami selama beberapa hari ke depan.
Tak lama terdengar beberapa langkah memasuki area dapur. Kembali terdengar suara Asep. "Kang, kami berangkat dulu."
"He'eh. Hati-hati di jalan. Jangan pulang terlalu malam."
"Tenang atuh, Kang. Pokoknya mah, pantang pulang sebelum ketemu Euis."
Aku hanya tertawa sambil mengangguk. Membiarkan langkah mereka menjauh setelah mengucapkan kata pamit yang sama. Kini tinggal aku sendirian. Kunyalakan ranting lalu mulai menanak nasi sambil meraih bilah bambu. Tidak ada kulkas di sini. Maka cara terbaik untuk mengawetkan adalah dengan melakukan pengasapan. Beruntung kami memasak menggunakan ranting yang banyak terdapat dalam hutan.
Suara jangkrik terdengar mengalun di luar sana. Berpadu dengan suara musik yang semakin berdentum. Jujur aku tidak suka suasana seperti ini. Mengingatkan masa lalu yang pahit tentang sebuah kota. Tapi semua orang butuh hiburan, kecuali aku mungkin. Karena itu banyak yang menganggapku aneh. Seorang sarjana kehutanan dan mengambil S2 di Kanada memilih berada di tengah hutan. Tapi itulah pilihan hidup, tidak semua orang harus sama, bukan?
Tak terasa waktu bergulir. Ikan-ikan telah berjajar rapi terselip di atap dapur tak lama nasi matang. Segera kupanggang sebagian ikan lalu meraih cobek untuk membuat sambal. Memetik cabe rawit dan tomat di samping dapur. Mengupas bawang, mengiris tomat dan diberi sedikit garam dan gula. Memberikan sedikit kencur lalu meng-uleg. Saat sambal sudah selesai tinggal disiram dengan minyak panas. Bagiku ini tidak pernah membosankan. Selalu bisa membangkitkan nafsu makan. Selesai semua, kuletakkan perkakas kotor dalam sebuah ember. Besok pagi sambil mandi di sungai stafku akan mencuci piring.
Sendirian adalah hal yang paling menyenangkan. Selesai makan, aku melangkah ke depan sambil merokok di bale. Semacam dipan yang terbuat dari anyaman bambu. Sambil menatap bintang melalui celah pepohonan tinggi. Cuaca hari ini cukup bagus. Tak sengaja terlihat white board yang terpasang di dinding. Besok akan ada sekumpulan rombongan corporate yang akan datang berkunjung. Mereka mengadakan wisata body rafting. Tempat ini ada karena banyak orang yang rindu untuk kembali ke alam.
Terdengar gemerisik pohon bambu. Mungkin hewan malam sudah ke luar dari persembunyian untuk mencari mangsa. Tidak tahu apa yang harus dilakukan malam ini. Kuputuskan untuk meraih ponsel. Sinyal di base camp kurang bagus. Karena itu, harus naik ke atas bukit. Sudah cukup lama tidak menggunakan benda itu. Mungkin seminggu ia terbengkalai. Karena memang anak buahkulah yang mengurus pendaftaran bagi orang-orang yang ingin menikmati wisata alam. Sementara, aku lebih sering menghabiskan waktu di dalam hutan dan juga sungai untuk mengawasi kegiatan mereka.
Tempat ini resmi dibuka sekitar empat tahun yang lalu. Saat kakekku yang memiliki lahan meninggal. Dan aku sebagai cucu satu-satunya ditunjuk sebagai ahli waris. Bertahun-tahun ia menjaga hutan ini sendirian. Beliau adalah orang yang sangat concern dengan pelestarian lingkungan. Tidak ada satu jengkal dari tanah miliknya yang ia tidak tahu. Orang yang mati-matian menentang penggalian pasir di sungai. Juga paling marah saat warga menebang pohon sembarangan yang akhirnya merusak pohon lain disekitarnya. Kakekku paham betul, buah jambu yang sudah bisa dipetik. Juga kelompok burung yang sudah tidak lama mampir.
Aku memilih menjadikan hutan sebagai lahan bisnis. Selain untuk menyambung hidup, juga membuka lapangan pekerjaan bagi para pemuda di sekitar kampung sini. Kenyataan bahwa orang kota rindu berada di desa adalah sebuah bisnis baru yang menarik. Aku tidak perlu menanam atau membuat taman. Semua sudah tersedia di sini. Tinggal mengolah, mencari spot terbaik lalu membuka website. Mengirim brosur ke beberapa instansi.
Bisnis ini bukan tanpa resiko. Saat banyak orang yang tidak menyadari bagaimana cara menjaga lingkungan. Seenaknya membuang sampah dan puntung rokok. Padahal dimusim kemarau, hal terakhir bisa menyebabkan kebakaran hutan. Karena itu disetiap titik selalu dipasang papan peringatan. Tempat ini juga memiliki kebun sendiri. Kami jarang membeli sayur. Kangkung, bayam, kacang panjang. sawi dan timun adalah sebagian tanaman yang ada di kebun. Kadang dibeli juga oleh para tamu. Dan itu menambah pemasukan.
Aku juga memelihara ikan Nila, emas dan lele di kolam. Selain untuk makanan sendiri juga untuk para tamu. Tidak ada pakan buatan pabrik di sini. Semua menggunakan pakan alami yakni dari hasil budi daya maggot. Termasuk membuat pupuk kendang dan kompos sendiri. Untuk ikan kami tidak pernah menjual, meski banyak yang ingin membeli. Kami juga memelihara ayam dan bebek, untuk diambil daging dan juga telurnya. Kalau berlebih biasanya dijual ke pasar. Lumayan untuk membeli gula, garam dan kebutuhan lainnya.
Buah-buahan yang selalu ada hanya pisang dan pepaya. Selebihnya adalah buah musiman. Seperti belimbing, jambu air dan juga rambutan. Kalau durian biasanya sudah habis dimakan oleh anak-anak yang bekerja di sini. Hal tersebut membuatku betah, selain karena mencintai hutan juga menjadi lahan bisnis yang takkan pernah habis. Dapat uang sekaligus sehat. Kuncinya cuma satu, jangan malas!
Kunaiki bukit melalui jalan setapak sambil merapatkan jaket. Udara pada bulan-bulan seperti ini biasanya lebih dingin. Angin bertiup dengan kencang. Tiba di atas bukit segera membuat perapian. Untuk mengusir nyamuk juga hawa dingin sekaligus. Selalu ada ranting kering di sini. Selesai semua barulah kubuka ponsel yang sejak tadi berada disaku sambil berbaring.
Beberapa pesan segera masuk. Kebanyakan dari orang yang pernah berkunjung kemari. Menautkan nama tempat ini untuk di-review. Kali ini cukup bersyukur karena penilaiannya sangat positif. Tidak semua orang puas dengan pelayanan kami. Pernah juga ada yang marah-marah lalu menumpahkan kekesalan melalui media sosial. Namun kejadian tersebut sangat jarang. Aku cukup profesional menjalankan bisnis ini. Belajar langsung dari teman-teman di Kanada dan juga Brazil.
Jarang yang tahu kalau aku sangat menikmati pemandangan orang kota yang tidak bisa ke luar dari kebiasaan mereka. Misal, saat ingin menyewa pondok. Banyak yang masih bertanya tentang view, breakfast bahkan toilet. Meski sebenarnya hanya menginap semalam. Tapi begitulah manusia, akan terus menginginkan kenyamanan dimanapun mereka berada. Maka tidak heran jika ada yang menginap sambil membawa koper besar. Padahal hanya untuk semalam. Para stafku lah yang kelimpungan memanggul koper bertuliskan Rimowa itu.
Selesai membaca semua, aku tertarik dengan berita sebuah pesawat yang jatuh di laut. Sebenarnya tidak terlalu suka dengan berita seperti ini. Karena biasanya media lebih sering mengumbar kesedihan daripada mengemukakan fakta tentang sebab kecelakaan. Begitulah mereka, kata-kata bisa mengubah rasa penasaran akan latar belakang kejadian menjadi simpati terhadap keluarga korban.
Jemariku tengah men-skip berita tersebut saat tiba-tiba sebuah nama yang kukenal dengan sangat baik tertera di sana.
Pesawat yang ditumpangi oleh keluarga besar William Surya tersebut diperkirakan jatuh di perairan Natuna.
Kalimat itu seketika membuat bahuku luruh. Sebuah nama keluarga yang telah lama kutinggalkan. Apakah berarti mereka semua? Lalu kembali hanya aku yang tersisa? Kuraih rokok kedua, kepalaku mendadak sakit. Bukan karena berita ataupun duka akibat kecelakaan. Ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan. Kuputuskan berbaring di gubuk. Semakin terpuruk dan tidak ingin bertemu siapapun.
***
Keesokan harinya aku turun ke base camp. Beberapa orang staf sedang membersihkan aula. Mereka juga menyiapkan air minum dalam jumlah besar. Beberapa perempuan dari kampung sudah datang untuk memasak di dapur. Menurut kabar jam sembilan pagi para tamu sudah tiba di sini.
"Mail, tolong kamu letakkan tempat sampah di setiap sudut." Perintahku. Karena sangat tidak suka pada orang yang membuang sampah terutama bahan plastik secara sembarangan. Tapi itulah kebiasaan banyak orang. Setiap kali ada acara, maka akan ada banyak kantong sampah yang terkumpulkan. Kadang kelihatannya saja orang tersebut berpendidikan. Namun hal kecil seperti kebersihan saja susahnya minta ampun saat diatur.
Kuikat rambut menjadi satu. Lalu mengenakan celana cargo dan kaos berlengan panjang. Mengisi dengan banyak keperluan dibeberapa kantong. Sebuah teriakan kembali terdengar
"Kang, ada orang kota yang datang."
"Apa grup lain yang sudah ada janji hari ini?"
"Bukan, katanya dari Simanungkalit law firm."
Aku menegakkan tubuh, tahu siapa mereka. Bagian dari orang-orang kakek. Kulangkahkan kaki ke luar, beberapa orang pria berpakaian rapi duduk di pendopo. Jelas mereka bukan berniat untuk hiking apalagi mengikuti jungle track. Dari sepatunya saja aku tahu, bahwa tempat ini bukan untuk tujuan tersebut.
"Apakah anda Moreno Surya?"
"Ya, saya sendiri."
"Kakek anda, William Surya meminta kami untuk datang kemari. Beliau ingin bertemu dengan anda secara pribadi."
Aku tersenyum sinis. Tidak tahu harus mengatakan apa. Akhirnya hari ini datang juga. Setelah sekian lama menunggu.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
2422
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top