Vollux Academy

Vollux Academy, sebuah sekolah yang berada di tengah hutan. Sekolah yang sengaja dirahasiakan dari dunia luar. Sekolah di mana para vampir muda belajar untuk mengembangkan kekuatan dan mengendalikan hasrat terhadap rasa ingin memburu manusia.

Luna Dominique, remaja 15 tahun dari Klan Dominic. Salah satu klan keluarga vampir yang cukup dipandang dan terhormat. Luna memiliki kekuatan untuk dapat membaca pikiran orang lain. Menurut Luna, kekuatannya tersebut tidak baik untuk privasi seseorang sehingga Luna ingin melatih untuk dapat mengontrolnya.

Hari pertama masuk sekolah, Luna mendapat teman sebangku laki-laki. Rambut perak dan mata birunya membuat Luna terkesima sejenak.

"Hai. Aku boleh duduk di sini?" tanya lelaki itu.

"Oh, tentu." Luna langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum mempersilakan lelaki tampan itu untuk duduk di sampingnya.

Luna memberanikan diri untuk mengulurkan tangannya, ingin mengajak lelaki itu berkenalan. "Uhm, ingin berkenalan? Namaku Luna Dominique dari Klan Dominic. Kalau kau?"

"Namaku Eric Mitchell dari Klan Mitchell. Mari menjadi teman yang baik, Luna," balas Eric.

"Tentu!" Luna tersenyum riang.

*****

Sudah satu bulan Luna dan Eric menjadi teman sebangku sekaligus teman belajar. Eric memiliki kekuatan untuk dapat melihat masa lalu dan masa depan seseorang. Luna pernah meminta Eric untuk melihat masa depannya, tetapi Eric menolak.

"Iya, tidak perlu. Aku hanya bercanda kok," ujar Luna.

"Menurutmu, di saat seperti apa aku boleh menggunakan kekuatanku?" Eric balas bertanya.

Luna mengernyit, terlihat berpikir keras. "Hm ... di saat seseorang meminta bantuan kamu buat melihatnya? Atau di saat seseorang sedang terkena masalah, kamu coba lihat masa lalunya seperti apa agar kamu tahu harus membantu dia dengan cara apa."

"Kalau soal melihat masa depan?" Eric kembali bertanya.

Eric adalah pribadi yang cukup tertutup. Ia tidak terlalu suka untuk duduk lama sembari berbincang dengan siapapun, termasuk orangtuanya sendiri. Tetapi, cara pandang dan pemikiran Luna membuat Eric ingin melakukan hal yang tidak suka ia lakukan tersebut.

"Ketika seseorang sedang dalam masalah, selain kau bisa membantu dari melihat masa lalunya, kau juga bisa membantu dari melihat masa depannya. Jika masa depannya baik, kau bisa memberikan semangat jika dirinya pantas untuk bertahan lebih lama. Begitu juga dengan masa depannya yang ternyata buruk, kau bisa mencegahnya untuk melakukan hal-hal yang akan memicu masa depan yang buruk itu terjadi."

"Kau benar," Eric mengangguk. "Lalu menurutmu, apa kita dapat hidup berdampingan dengan manusia?"

Luna lantas menoleh menatap Eric, "Bagaimana kalau kau dulu yang memberikan pandanganmu?"

"Menurutku bisa, maka dari itu kita melatih rasa haus kita di sekolah ini, 'kan?" Eric tersenyum saat matanya beradu dengan mata Luna.

Kali ini giliran Luna yang mengangguk, "Kau benar. Apabila kita bisa menjadi vampir yang baik, aku yakin para manusia dapat menerima kehadiran kita di kehidupan mereka."

Bel masuk telah berbunyi, pertanda istirahat telah selesai. Eric dan Luna bangkit dari bangku taman sekolah dan bersiap untuk kembali ke kelas. Begitu mereka berdiri dan memusatkan pandangan ke depan, banyak teman-teman mereka yang ternyata tengah memerhatikan mereka.

Eric dan Luna terkejut, begitu pun dengan teman-temannya itu. Mereka cepat-cepat pergi dari sana, meninggalkan Eric dan Luna yang kini tengah saling tatap dengan tatapan bingung yang sama.

"Ada apa dengan mereka?" Eric bertanya.

Luna menggeleng, lantas menoleh ke belakang. "Aku juga tidak tahu. Di belakang kita tidak ada hal aneh. Apa mungkin hal anehnya ada pada diri kita?"

Secara refleks, Eric menatapi Luna dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kurasa bukan. Tidak ada hal yang aneh dari dirimu. Bagaimana dengan aku?"

"Tidak ada juga," ujar Luna. "Ya sudah, kita langsung kembali ke kelas saja."

Ternyata, sepanjang perjalanan kembali ke kelas pun mereka masih menjadi pusat perhatian untuk beberapa anak lainnya. Eric yang terlalu bingung sekaligus penasaran, lantas berhenti dan bertanya pada salah satu anak.

"Mengapa kalian melihat kami dengan tatapan seperti itu terus? Apa ada yang salah dari kami?" Eric bertanya seraya melirik penampilannya sendiri.

Anak itu—Damian menggeleng, "Tidak ada yang aneh dengan penampilan kalian, hanya saja ... kalian sedang menjadi perbincangan karena terlihat seperti pasangan yang menggemaskan ketika sedang berduaan."

Eric mengerjap tak percaya dengan jawaban Damian, sementara Luna menegang di tempat. Rasanya ada gelenyar aneh di perutnya setelah mendengar Damian yang mengatakan jika dirinya dan Eric terlihat seperti pasangan.

"Ey ... wajah Luna memerah," ujar Orion—teman Damian.

Luna tersadar dari lamunannya dan kelabakan begitu Eric menoleh untuk dapat menatapnya. Gadis itu refleks menutup pipinya dengan kedua tangan.

"Ah, mungkin karena aku habis dari taman. Hari ini cuacanya sedikit panas bukan?" Luna tercengir kepada tiga lelaki di depannya itu. "Kalau begitu, aku ke kelas duluan, ya."

Setelahnya, Luna langsung pergi meninggalkan Eric bersama Damian dan Orion yang tengah cekikkan melihat tingkah Luna yang sangat menunjukkan bahwa gadis itu tengah salah tingkah.

"Apa kalian pikir aku cocok dengannya?" Eric kembali bertanya. Kali ini dengan nada suara yang lebih pelan, nyaris berbisik.

Damian mengangguk, "Kalian sangat cocok. Apalagi kita aku tidak salah, Klan Mitchell dan Dominic itu termasuk klan atas bukan? Kalian akan jadi pasangan yang luar biasa jika bersama."

"Jangan dulu membahas hal seperti itu," ujar Eric. "Kita ini, 'kan, masih sekolah. Belum saatnya memikirkan hal mengenai percintaan."

"Ey, tidak apa. Jika kau menyukai, katakan saja padanya. Dari yang kulihat, sepertinya Luna menyukaimu," sahut Orion. Anak itu menepuk pundak Eric dua kali seraya mengedipkan sebelah matanya.

*****

Satu bulan kembali berlalu. Hari ini ada mata pelajaran Kekuatan dan Penggunaannya. Untuk pertemuan kali ini diadakan praktik bertarung satu lawan satu. Saat ini, di tengah lapangan, Luna sedang bertarung melawan salah satu anak dari kelas lain.

Teknik bertarung Luna terbilang tidak lebih baik dari lawannya. Beberapa anak sudah mulai membuat prediksi mengenai siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

Luna kalah. Ia jatuh terduduk karena tenaganya terkuras cukup banyak dan membuatnya merasa lemas. Isabelle—lawannya Luna itu mengulurkan tangan untuk dapat membantu Luna kembali berdiri.

"Kau hebat, Isabelle. Aku lelah sekali menghadapimu," ujar Luna seraya terkekeh.

Isabelle tersenyum, "Terima kasih. Kau juga hebat kok, hanya saja sepertinya staminamu sedikit kurang, ya. Kau mau kuantar ke ruang kesehatan?"

"Tidak usah, Isabelle. Aku bisa pergi ke sana sendiri. Lihat. Teman-temanmu menunggu untuk merayakan kemenanganmu barusan." Luna mengarahkan telunjuknya ke arah jam dua di mana teman-teman Isabelle berdiri di sana.

"Baiklah," balas Isabelle.

Akhirnya Luna pergi ke ruang kesehatan sendiri. Tiba di sana, ternyata ada Eric. Lelaki itu tersenyum seraya mempersilakan Luna untuk duduk di salah satu ranjang.

"Mengapa kau ada di sini? Kau tidak bersiap untuk bertarung, Eric?" Luna jelas saja bertanya.

Eric menggeleng, "Aku sudah melihat jadwal tadi. Pertarungannya masih cukup lama. Aku ke sini karena ingin mengobatimu. Ini, minum dulu."

Luna menerima gelas cawan dari Eric yang berisi cairan merah pekat—makanan bagi para vampir, darah. Gadis itu menyesapnya secara perlahan.

"Sudah," ujar Luna. Ia mengembalikan gelas yang isinya sudah tandas kepada Eric.

"Cepat sekali. Kau lapar, ya?" Eric terkekeh, "Ke mari. Berikan tanganmu."

"Untuk apa?" Meski bertanya, Luna tetap menjulurkan tangan kanannya dan membiarkan Eric untuk menggenggamnya.

Setelahnya, muncul cahaya biru yang berpendar dari telapak tangan Eric dan kini menyelimuti tangan Luna. Bola mata biru milik lelaki itu tersembunyi karena pemiliknya tengah menutup mata. Tak lama kemudian cahaya itu hilang dan Eric kembali membuka matanya.

"Kau habis berbuat apa?" Luna kembali bertanya.

"Menyembuhkanmu," jawab Eric. "Ternyata aku memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka, hanya saja karena sedari kecil aku lebih dilatih untuk mengendalikan kekuatan membaca pikiranku, jadi aku baru tahu mengenai kekuatan ini. Aku baru belajar untuk mengusainya kurang lebih dua minggu lalu."

Luna mengangguk, lantas tersenyum, "Kau hebat. Semakin banyak kau menguasai berbagai kekuatan, kau akan lebih mudah untuk melindungi dirimu dari berbagai ancaman bahaya."

"Luna ... waktu itu kau pernah memintaku untuk melihat masa depanmu bukan? Apakah kau masih ingin mengetahuinya sekarang?" tanya Eric.

"Apakah boleh?" Luna terbelalak. Tidak menyangka jika Eric akan menawarkan hal itu.

Eric mengangguk, "Boleh. Makanya kutawarkan. Mau?"

"Mau! Jadi seperti apa masa depanku?" Luna terlihat begitu antusias.

"Di masa depan nanti, kau akan menjadi vampir yang hebat. Kau juga menjadi gadis muda yang bahagia dengan kehidupanmu. Kau akan punya seseorang yang menemanimu dalam mendapatkan kebahagiaan itu. Dan orang itu adalah aku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top