Goodbye, My Best Friend

"Hari ini kau membawa berapa botol?" Heather bertanya kepadaku saat kami sedang berjalan menuju kelas.

"Aku meminta lima pada Ibu karena hari ini pelajaran Olahraga dan di luar terlihat panas," jawabku pelan.

Sesekali kami menoleh ke kanan-kiri, memastikan tidak ada orang di sekitar. Lapangan yang kami lalui terlihat luas. Ada beberapa orang yang lewat di sekitar, tetapi memang agak jauh, mereka tidak akan mendengar suara kami.

"Jadi, kau akan ikut pelajaran Olahraga hari ini?"

Perlahan kami melipir ke dekat bangunan agar tidak terkena matahari yang perlahan muncul.

"Memangnya alasan apa lagi yang akan aku gunakan?" tanyaku retoris.

Aku adalah vampir.

Tidak ada yang tahu hal itu di sekolah ini kecuali Heather, sahabatku sendiri, yang merupakan vampir setengah manusia. Ayah Heather adalah manusia, sedangkan ibunya adalah vampir.

Kami melalui hampir satu tahun sekolah di akademi umum tanpa ada yang curiga.

Sekolah tidak menentukan seragam apa untuk hari apa, jadi aku selalu memakai seragam panjang dan topi ketika ke sekolah. Meskipun sesekali memakai seragam pendek, aku berusaha untuk tidak bersentuhan langsung dengan sinar matahari.

Tidak lupa, aku selalu membawa minuman sendiri ke sekolah. Darah babi yang diambil langsung oleh orang tuaku. Mereka memasukkan darah tersebut ke dalam botol kotak bergambar tomat, sehingga tidak ada yang curiga itu adalah darah. Setiap istirahat, aku selalu minum di bawah pohon rindang di pinggir halaman sekolah ditemani Heather. Selanjutnya, aku akan berkumur di toilet agar tidak ada yang mencium aroma amis.

"Baik, sampai di sini saja pelajaran kita hari ini. Kalian boleh istirahat!"

Guru mata pelajaran Olahraga pergi dari sana setelah memberi aba-aba. Aku langsung berlari ke dalam kelas sementara semua orang masih mengeluh capek di lapangan.

Beruntungnya hari ini matahari tidak begitu menampakan diri, hanya mendung dan cuaca yang lembab. Tidak salah aku mengikuti pelajaran Olahraga di luar kelas hari ini. Biasanya, saat jam pelajaran Olahraga di luar kelas, aku akan selalu izin kepada guru untuk tidak mengikuti. Kali ini, aku berusaha untuk berbaur dengan mereka agar tidak dicurigai.

Situasi Heather lebih menguntungkan karena ia tidak perlu menghindari sinar matahari dan minum darah hanya sesekali.

Di kelas, aku segera mengambil dua botol dari dalam tas. Lalu, kembali berlari menuju toilet.

Kulitku memang terasa seperti terbakar, tetapi tidak begitu sakit setelah aku menyeruput darah babi kali ini.

Sruuutttt!

"Ah, segar sekali," gumamku. Aku menikmati setiap sruputan darah segar yang baru diambil oleh Ayah subuh tadi. Rasanya seluruh tubuhku kembali bertenaga.

"Finnly! Kau sudah beli jajan saja!"

Salah seorang teman kelas memasuki toilet. Ia membasuh tangan di wastafel yang aku punggungi saat ini.

Sontak aku panik dan meraih satu botol di atas pinggiran wastafel yang belum kubuka, lalu menyembunyikannya di balik tubuh.

"Segar banget kelihatannya. Mau satu, dong!" Gadis itu merebut botol yang kupunggungi secara tiba-tiba. Tanpa banyak bicara lagi, ia memutar tutup botolnya.

"Jangan!" teriakku panik. Aku langsung meraih kembali botol itu dengan cepat sehingga beberapa isinya muncrat ke baju gadis itu.

Bagaimana ini? Beberapa gadis lain juga memasuki area toilet. Mereka memandang kami bergantian dengan tatapan penasaran.

Aku bingung harus berbuat apa, keringat dingin mengucur pelan di dahi. Setelahnya, aku segera keluar dari sana. Lari secepat mungkin agar orang-orang tidak melihatku.

***

"Heather," panggilku kepada gadis yang duduk di bangku depanku.

Ia menoleh, memiringkan kepalanya ke samping. "Kenapa?"

"Bantu aku. Aku takut," ucapku sembari tersenyum tipis. Tubuhku berkeringat dingin dan takut. Harap-harap cemas menunggu teman kelasku tadi masuk kelas.

Hingga akhirnya, tiga gadis yang tadi berada di toilet bersamaku, datang memasuki kelas. Aku langsung menunduk, menghindari kontak mata. Namun, lima menit berlalu, sampai mereka sudah duduk di bangku masing-masing, tidak ada tindakan apa pun. Aku sedikit menghela napas lega.

"Kau bicara sembarangan! Apa buktinya?!"

Tiba-tiba seorang gadis yang duduk di bangku paling belakang berteriak. Sontak mengundang perhatian seluruh siswa di kelas. Gadis itu sampai berdiri dengan ekspresi wajah kesal.

Amandla, gadis yang tadi terkena cipratan darah dari botol, berjalan menghampiriku. Ia menarik tasku begitu saja, lalu menumpahkan isinya ke lantai. Seluruh buku dan tiga botol minuman bergambar tomat terjatuh menggelinding di lantai.

"Ini, kan, jus tomat biasa," ucap salah seorang yang mengambil botol itu. Kemudian, tangannya hedak membuka tutup botol tersebut.

Aku langsung sigap menghampirinya, lalu meraih botol itu agar tidak jadi terbuka. "I-iya, ini jus tomat biasa, kok," ucapku dengan panik.

"Tidak usah mengelak! Kau ini vampir! Mengaku saja!" teriak Amandla menggema ke seluruh kelas.

Semua orang tercengang, menatapku ketakutan. Beberapa yang berada di dekatku menyingkir serempak.

"Pergi kau, Vampir!"

"Bisa-bisanya kau hidup bersama manusia biasa!"

"Pergi!"

"Enyah saja kau!"

"Makhluk terkutuk!"

Seruan bersahutan itu diiringi lemparan kertas-kertas dan botol-botol kosong.

"Kenapa makhluk sepertimu harus hidup? Meresahkan saja!"

"Mati saja kau! Jangan kembali!"

"AKU BUKAN VAMPIR!" teriakku menghentikan seruan kata-kata jahat mereka.

Semua orang berhenti berbicara, fokus menatapku. Heather pun. Ia menatapku sekilas, lalu memalingkan wajah ketika kutatap balik.

Amandla merebut botol dari tanganku, lalu membukanya dengan cepat. "Ini apa?! Ini darah siapa?!"

Byur!

Klontang!

Gadis itu mengguyurkan darah dari dalam botol ke atas kepalaku, lalu membanting botolnya ke lantai. Tubuhnya mundur dengan wajah merasa jijik.

Semua orang berteriak ketakutan sembari menahan muntah mencium aroma amis menguar.

"Heather," panggilku dengan gemetar.

Heather menoleh sejenak, lalu kembali menghadap depan. Tatapannya juga sama ketakutan, tetapi ia tidak peduli. Bahkan, ia berdiri, lalu pergi dari sana, ikut bersama teman-teman yang lain.

"Pergi kau! Dasar menjijikkan!"

"Kau tidak layak hidup bersama manusia!"

"Mati saja! Enyah saja kau, sampah!"

Jahat. Kata-kata mereka jahat sekali. Aku pun tidak ingin hidup seperti ini. Namun, bagaimana lagi, nasibku dan nasib mereka tidak sama.

Sekali lagi aku melihat semua orang yang menatapku dengan tatapan jijik dan rendah. Lalu, perlahan kepada Heather yang hanya memalingkan wajah.

***

Hari-hari setelahnya, aku lalui dengan cara yang sama. Mereka tidak menghindariku, tetapi mengusirku secara terang-terangan. Bukan lagi hanya sampah-sampah dan botol bekas, mereka juga melempariku batu-batu kecil saat aku berjalan memasuki area sekolah. Sehingga tampilanku pada pagi hari sudah acak-acakan, baju kotor sana-sini, dan bau yang tidak sedap.

"Heather!" panggilku saat melihat sahabatku itu sudah berada di dalam kelas pagi ini.

Namun, Amandla lebih dahulu mengajak Heather pergi dari hadapanku. "Heather, jangan dekat-dekat dia! Nanti kau dimakan sama dia! Hiy!"

"Heather! Kita sahabat, 'kan?! Kenapa kau berubah?!" seruku.

Gadis itu berhenti di ambang pintu, menoleh sebentar.

"Kau bersahabat dengan vampir itu, Heather?" tanya Amandla. Ia melepas pegangan tangannya dari tangan Heather, sedikit menjauh.

"Tidak. Kita tidak pernah bersahabat," jawab Heather pelan.

Aku tidak percaya bahwa gadis itu akan berkhianat. Kita selalu bersama sejak kecil. Orang tua kami pun bersahabat baik. Tidak jarang orang tuaku membantu keluarga Heather ketika sedang kesusahan. Bahkan, kami tidak pernah membedakan meskipun ayahnya adalah seorang manusia. Namun, sekarang ....

Kepalaku terasa mendidih, tidak bisa menerima ucapan Heather barusan. Hingga akhirnya, pertahananku habis ketika gadis itu mengucapkan kalimat selanjutnya dengan nada dingin dan lebih menusuk.

"Enyah saja kau, Vampir."

Mataku memerah, gigi taring yang selama ini berusaha aku sembunyikan, kini muncul bersamaan. Dalam sekejap, aku menangkap Amandla, lalu menancapkan taringku ke leher gadis itu. Aku hisap darahnya sampai habis. Tidak aku pedulikan teriakan kesakitan darinya.

"AAAAA! TOLONGGGG!"

Tubuhku langsung bertenaga, memiliki kekuatan lebih lagi karena selama ini hanya minum darah hewan.

Ternyata, darah manusia itu lebih segar dan mengenyangkan.

Tidak berhenti di situ, aku menerkam satu per satu siswa di dalam kelas dan menghisap seluruh darahnya sampai pucat tidak tersisa setitik darah pun di tubuh mereka. Heather menyaksikan itu semua dengan tidak percaya. Aku bisa menghabisi semua orang dalam waktu hanya lima menit.

Siswa-siswi yang bukan dari kelas ini, mereka panik meminta bantuan. Bahkan, guru-guru pun tidak ada yang berani mendekat. Mereka saat ini harus menyelamatkan diri sendiri.

Tenagaku semakin menggila. Hingga akhirnya, ketika semuanya berhasil aku habisi, kini tinggal Heather yang berdiri lemas di ambang pintu. Aku menariknya dengan cepat, lalu memojokkannya ke tembok.

"Finnly, sadar, Finn. Kau sudah menghabisi semua teman-teman kita," ujar Heather gemetar.

"Teman? Tidak ada teman yang mengkhianati temannya sendiri," tekanku.

"Aku minta maaf, Finn."

Aku mendengkus keras mendengar permintaan maaf dengan nada takut itu. "Kenapa baru sekarang? Takut dimakan olehku?"

"Aku menyesal. Aku tidak akan mengkhianatimu lagi. Maafkan aku, Finn." Gadis itu menangis terisak. Wajahnya ketakutan melihat mata merah dan napas buasku.

"Ya, terima kasih sudah tidak menganggap persahabatan kita selama ini. Setelah ini, kau tidak perlu berpura-pura menjadi sahabatku lagi."

Aku tancapkan gigi taringku ke leher Heather, lalu menikmati darah vampir setengah manusia miliknya. Darah milik sahabatku sendiri.

"AAAAAAAA!"

Selamat tinggal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top