Crush
Aku sungguh menyukainya.
Parasnya yang selalu mencuri perhatian, tinggi badannya yang menjulang di antara teman-temannya, dan prestasinya yang selalu menjadi bincangan. Sudah hampir tiga bulan semenjak aku menjadi murid baru di sekolah ini dan juga menyukai lelaki yang satu tahun lebih tua dariku.
"Er, ayo pergi ke kantin!" ajak sahabatku, Dina.
Bel sekolah menandakan jam istirahat makan siang. Sebenarnya aku membawa bekal dari rumah, tetapi Dina selalu memakai alasan mengajakku ke kantin untuk bisa menggodaku ketika mendapati crush ku di sana.
"Gak dulu deh," tolakku.
Dina merangkul lenganku sembari memohon. "Ayo lah, janji deh aku gak bakal ngomong apa-apa kalau ada kak Damian."
Aku hanya bisa menatap Dina dengan malas. Meskipun ia berjanji tidak akan menggodaku, tetapi tetap saja ia membawa nama crush ku, Damian agar mau menemaninya..
"Kenapa harus bawa-bawa kak Damian, sih?" tanyaku.
"Soalnya kamu gampang diajak kemana-mana kalau bawa-bawa kak Damian." Dina tersenyum. Tangannya menarik lenganku hingga membuatku terpaksa bangun dari kursi.
"Aku belum bilang iya, loh."
Gadis berkuncir itu terkekeh. "Tapi kamu gak mungkin nolak kan?"
Suasana kantin sekolah ramai seperti biasanya. Bangku-bangku kantin pun sudah mulai penuh, tetapi kedua aku dan Dina tidak berniat untuk bergabung dengan siswa lainnya.
"Er, boleh minta tolong beliin minum gak?"
"Mau apa?"
"Air putih aja."
Aku mengangguk, meninggalkan Dina yang masih mengantri nasi goreng favorite semua orang. Dina memberikanku beberapa lembar uang yang dilipat begitu saja serta beberapa koin. Aku mengembus napas pelan, uang ini harus ku buka satu persatu untuk memudahkan pembayaran.
"Ah, maaf," ucapku saat tidak sengaja menabrak seseorang.
"Tidak masalah." Orang itu berjongkok, mengambil koin yang terjatuh. "Ini punyamu kan?"
Aku meneguk pelan salivaku. Orang itu adalah kak Damian. Paras tampannya dengan kulit yang sedikit pucat, dan aroma vanilla yang tercium sedikit membuatku gegalapan.
"I-iya. Terima kasih." Aku mengambil koin dari tangan Damian. Setelah memberikan senyuman singkat, aku langsung pergi meninggalkannya.
Jantungku berdetak begitu cepat. Ini bahaya. Mukaku sudah semerah tomat. Aku bergegas membeli pesanan Dina dan langsung menarik gadis itu keluar dari kantin.
"Erlina, kenapa buru-buru banget, sih?" tanya Dina yang sedikit kesulitan menyamakan langkah kakiku.
"Aku tidak sengaja menabrak kak Damian tadi," bisikku.
"HAH?!"
Aku mengacungkan jari telunjuk di depan mulutku. "Jangan keras-keras."
"Maaf, maaf." Dina memelankan suaranya. "Kok bisa?"
"Mataku terlalu fokus membetulkan uang yang kau berikan dan tidak sengaja menabraknya." Tanganku menarik lengan Dina, membuat kepalanya sedikit dekat denganku. "Kak Damian juga mengambilkan koin yang jatuh.
"Lalu, lalu?"
"Aku pergi."
"Secepat itu? Kau tidak menanyakan nomor teleponnya atau apa?"
Aku memicingkan mata. "Untuk apa aku menanyakan itu? Lagi pula aku pergi untuk menyelamatkan diri aku yang hampir meledak karena melihat wajahnya yang tampan tau!"
Dina hanya membalas omelanku dengan tertawa, membuatku mendengus pelan.
***
"Erlina!"
Aku menolehkan kepalaku ke arah pintu kelas. Tanganku yang semula sibuk memasukan barang-barang ke dalam tas pun berhenti sejenak.
"Ada yang mencarimu," lanjut ketua kelas.
"Siapa?" tanya Dina yang bingung.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Aneh. Tidak biasanya ada yang mencariku setelah sekolah berakhir karena diriku bukanlah termasuk siswa yang bisa dibilang terkenal.
"Hai," sapa seorang lelaki yang berdiri tak jauh dari pintu kelas.
Aku hampir saja berteriak kegirangan karena orang yang mencariku adalah crush-ku, Damian.
"H-hai, kak," jawabku kikuk.
"Erlina, ya?"
Aku mengedipkan mataku, tidak percaya. "Eh?"
"Namamu Erlina kan? Terlihat dari nametag mu." Damian menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman. "Aku Damian."
Aku sudah tau kok!!! gumanku.
"E-erlina," ucapku sembari membalas salamannya.
Damian terkekeh. Entah karena melihatku yang begitu gugup atau mengucapkan namaku padahal dia sudah melihatnya dari nametag.
"Kalau ada waktu, boleh kita pulang bareng?"
"Hah?"
Aku melirik ke arah jendela kelas yang tidak terlalu tinggi, menangkap siluet Diina yang juga terlihat kaget dengan ajakan tidak terduga.
Jantungku yang sedari tadi berdetak begitu cepat digantikan dengan suara berisik di otakku. Ini terlalu cepat. Bahkan aku tidak pernah ingin berjalan di dekat Damian kecuali insiden tadi siang. Apakah selama ini dia memperhatikanku?
"Eum, aku tidak begitu yakin," ucapku.
"Aku tahu ini terlalu di luar dugaan." Damian tersenyum. "Pikirkan dulu sejenak, aku akan menunggumu di parkiran."
Damian langsung berjalan pergi, meninggalkanku yang masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Kau mau pulang bareng dengannya?" tanya Dina saat aku melanjutkan merapihkan barang-barangku.
"Tidak tahu." Aku mendengus pelan. "Haruskah?"
"Erlina." Suara tegas milik Dina membuatku menatap iris coklatnya. "Suatu saat nanti kau akan berterima kasih denganku."
"Kau yakin?"
"100%!"
Dina langsung mengajakku pergi ke luar kelas menuju parkiran motor. Sepanjang perjalanan, ia tidak berhenti mencoba merapihkan rambutku yang tergerai. Tak lupa memberikan dukungan agar aku tidak merusak momen karena kegugupanku.
"Hai," ucapku saat berhenti tepat di depan Damian yang tengah bersandar di motornya.
"Hai." Dia memberikanku jaket merah miliknya. "Tutupi rokmu dengan itu."
Aku tersipu. Aroma vanilla kembali memasuki indra penciumanku. Sembari menunggunya menyiapkan motornya, aku sibuk mengikat lengan jaketnya di pinggangku.
Suara gemericik motor membuatku mengangkat kepalaku, Ninja Kawasaki 250cc membuatku meneguk saliva kasar. Bagaimana aku bisa menaiki motor raksasa itu?
Damian menyodorkan tangannya lagi. "Ayo naik, pelan-pelan."
Helm full face yang sudah dipakai membuat suaranya sedikit tidak bisa terdengar. Aku meraih tangannya dan mulai menaiki motor yang tidak penumpang friendly ini. Damian menoleh ke arahku, meskipun hampir seluruh wajahnya tertutup oleh helm, aku bisa melihatnya tersenyum. Siapa sangka, tanganku yang masih menggenggamnya langsung ditaruh di pinggangnya.
"Peluk aja gapapa," ucapnya.
"Eh?" Kedua tanganku perlahan memeluk pinggangnya. "Kayak gini?"
"Iya. Peluk yang erat ya."
Sebelum aku bisa membalas ucapannya, kedua tanganku reflek memeluk pinggangnya erat ketika motor mendadak bergerak.
"Mau pergi ke taman dulu gak?" tanyanya dengan suara yang sedikit dikeraskan.
"Boleh," jawabku keras.
Angin yang berhembus membuatku harus mengeraskan suara agar Damian bisa mendengarnya, begitu juga sebaliknya. Sepanjang perjalanan, obrolan kami diselimuti canda dan tawa. Aku tidak tahu kalau dia memiliki selera humor yang sama denganku.
Taman kota tidak begitu jauh dari sekolah. Berhubung orang tuaku tidak begitu suka melarangku untuk bermain sepulang sekolah, menghabiskan sisa hari dengan Damian adalah hal yang tidak boleh disia-siakan bukan?
Tidak ada banyak orang yang menghabiskan sorenya di taman kota ketika hari kerja. Hanya beberapa pasangan lansia yang sedang berjalan sehat atau pasangan suami istri yang mengajak balitanya untuk bersenang-senang. Damian menggenggam tanganku setelah membantuku untuk turun hingga menuntunku untuk mencari tempat yang enak untuk disinggahi.
"Gapapa kan duduk di rumput?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Gak masalah."
Sebelum duduk, aku melepas jaket milik Damian dan menjadikannya penutup pahaku.
"Kak Damian."
"Hm?"
"Kenapa kakak tiba-tiba mengajakku untuk pulang bareng?"
"Eum, mungkin karena aku tertarik?"
"T-tertarik?" Aku menoleh cepat ke arahnya. "Aku gak salah denger, kak?"
Dia tertawa pelan melihat reaksiku. Tidak ku sangka aku bisa mendengar tawanya begitu dekat dan tanpa harus bersembunyi di balik Dina. Aku ikut terkekeh, jari telunjukku menggaruk pelan pipiku yang tidak gatal.
"Gak salah denger kok." Damian tersenyum. Kali ini pandangannya menatap langit biru dengan awan yang mulai ke-oren-nan. "Saat tubuh ku tidak sengaja menabrakmu, disitu aku tahu kaulah orangnya."
Angin berhembus dengan kencang secara tiba-tiba, membuatku harus menutup mataku. Aku mengerjap mataku pelan, suasana yang begitu romantis sebelumnya mendadak hilang.
"Kau tahu Erlina?" Damian menopang badannya dengan kedua tangannya sembari mendekatiku. "Aroma darahmu lah yang membuatku tertarik."
Aku berusaha memundurkan badanku perlahan. Apa yang terjadi di sini? Apa yang dimaksud dengan aroma darah? Aku bahkan tidak terluka sedikit pun!
"A-aroma darah?" Aku meneguk saliva kasar.
Tanganku mencengkram rumput begitu Damian mendekatkan wajahnya ke leherku. Hembusan nafasnya yang mendarat tepat di atas kulit membuat bulu kudukku berdiri.
"Kau tahu bukan makhluk yang menyukai darah?" tanyanya sembari menjauhkan wajahnya.
Aku mengangguk. Tidak ada yang tidak mengetahui mahkluk mitos yang terkenal dengan mengisap darah selain. "Vampir."
Jantungku berdegup dengan cepat. Kali ini bukan karena rasa gugup karena berinteraksi dengan crush ku, tetapi karena rasa takut karena jawabanku benar..
"Aku tidak pernah menginginkan darah manusia sebelumnya, sampai aku bertemu denganmu."
Aku bangkit dari duduk, ini adalah waktuku untuk kabur. Damian sudah memperhitungkan kalau aku akan berlari meninggalkannya, tanpa ku sadari dengan cepat ia langsung berdiri tepat di depanku.
"B-bagaimana?" Aku menoleh ke belakang, menatap hamparan rumput yang kosong.
"Aku dapat berlari cukup kencang." Damian berjalan mendekatiku perlahan. "Sejauh apapun kau berlari, aku pasti akan selalu mengejarmu."
"Tolong jangan lakukan itu," ucapku sembari menggelengkan kepala.
Untuk kedua kalinya tanpa ku sadari ia langsung mencekik leherku dengan cepat. Tanganku langsung menggenggam tangannya, berusaha untuk melonggarkan cekikan.
"Maafkan aku, Erlina," ucap Damian sebelum menggigit tengkuk leherku.
Tanpa ku sadari air mata mulai menetes disaat benda asing mulai terasa di kulitku. Aku tidak mempunyai kemampuan untuk berteriak, meskipun aku berteriak pun sangat mustahil orang mendengarnya dari kejauhan.
Mungkin saja kalau aku tidak sengaja menabraknya, ini semua tidak akan terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top