Vampir yang Terjebak dan Dilema Manusia Desa Kikan
Perutku sangat sakit, dan tubuhku sudah tidak memiliki lebih banyak tenaga lagi untuk dapat terbang. Aku mencium bau darah yang menggitu menggelora nafsu makanku dari arah sebuah pasar si pertengahan lingkungan yang kumuh dan dipenuhi dengan kerumunan yang melakukan perdagangan. Namun, sengatan matahari sedari tadi telah menjagaku untuk mengambil darah dari sana.
Aku adalah satu-satunya vampir yang berhasil menemukan cara untuk menembus sampai ke dunia manusia, dan sekarang, aku tidak tahu caranya kembali. Sudah terhitung sembilan puluh matahari aku berada di dunia ini, dan sama sekali tidak ada pertanda untukku pulang. Aku tidur di kolong-kolong jembatan ketika siang, dan bangun mencari makanan di malam hari.
Setelah menunggu beberapa lama, matahari pun menurun sepenuhnya. Digantikan oleh keremangan malam yang sangat indah, aku mulai berjalan ke pasar. Ke sisa-sisa darah yang ada di tanah, seketika menjilati darah-darah yang ada.
Sampai ketika aku mendengar sebuah langkah kaki tidak jauh dari belakangku. Aku mengusap mulutku dengan kain yang telah aku siapkan dengan sangat cepat, kemudian berbalik, melihat Pak Salman–seorang pedagang yang sudah sering mengobrol kepadaku ketika aku pulang dari pasar.
"Ngapain kamu, Lif?" tanya Pak Salman, Alif adalah nama samaranku.
"E–ekhem. Cuma lihat-lihat dan bersihin sampah yang berserakan, Pak," ucapku, "Pak Salman tumben pulangnya lama, biasanya Bu Sina udah nungguin banget sampe nelpon berkali-kali, hahaha!"
"Ah kamu ini, ada-ada saja." Dia mendekat ke arahku dan memicingkan matanya. "Serius Bapak ini, kamu ngapain?"
Seluruh tubuhku bergetar, tetapi aku mencoba mengela napas dengan tenang. "Gak ada Pak, beneran." Aku berusaha mengeluarkan senyum yang sepertinya terlihat dipaksakan.
Seketika setelah itu, Pak Salman menatapku dengan tatapan yang lain. Tatapan seperti seseorang yang sedang melihat sampah-sampah yang busuk, jijik dengan apa yang mereka lihat. Dia melihatku, lalu melihat darah yang sudah mengering di lantai.
Kemudian dia berlari seperti sedang dikejar oleh setan. Naik ke kendaraannya dan pergi sampai bunyi motornya begitu besar di telingaku.
Sebuah rasa ketakutan muncul di dalam diriku. Aku yang tadinya sangat lapar, mendadak merasa mual.
***
Setelah itu aku membersihkan kain berbekas darahku di sebuah toilet masjid yang berada di dekat pasar tadi. Pikiranku masih dipenuhi oleh Pak Salman, apa yang dia pikirkan?
Apa yang akan dia lakukan?
Lamunanku akhirnya terpecah oleh suara motor Pak Salman yang sangat khas terdengar di telingaku yang tajam, tetapi suara motornya tidak sendirian. Ada kendaraan lain yang mengikutinya. Ketika suara knalpot itu mendekat, keributan terdengar. Suara-suara pria semakin jelas seperti sedang berlari hendak menyusuri masjid, terdengar jelas Pak Salman berkata, "Tadi aku liat dia masuk ke sini." Aku tidak tahu apa yang dikatakan Pak Salman kepada warga-warga, tetapi dia adalah orang yang sangat baik dan terpecaya, orang-orang tidak akan mempertanyakan kejujurannya.
Dengan sigap aku mengendap-endap dari toilet pria, melihat tiga orang yang sedang berada di teras, melihat ke dalam masjid. Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki yang sangat samar dari belakangku, aku membalikkan badan dan melihat seorang pria muda yang sedang mendekatiku secara perlahan–hendak menangkapku. Aku langsung memukulnya dengan sangat cepat, dan dia langsung terjatuh pingsan. Aku berlari dan keberadaanku diketahui oleh para warga. Samar-samar aku mendengar salah satu dari mereka membaca mantra-mantra yang sering mereka sebut di dalam masjid.
DOR!
Sesuatu menembus masuk ke dalam kakiku. Rasanya seperti ditusuk oleh pedang yang begitu tajam, dan aku langsung terjatuh ke bawah nah dengan kepalaku tertanam di tanah, menjerit kesakitan.
Para warga yang tadi mengejarku langsung menyusul. Seseorang memakai topi memegang sebuah alat yang terbuat dari besi, kini menatapku sambil tersenyum.
"Siluman!" ucap mereka secara berganti-gantian. Aku tidak tahu apa yang mereka maksud, yang kutahu, Pak Salman yang tadinya sangat ramah kini memandangku seperti aku adalah sesuatu yang sangat kotor, dan beberapa dari mereka melihatku dengan tatapan takut, seolah aku adalah ancaman bagi mereka semua, sisanya masih membaca mantra-mantra yang diucapkan dengan berbisik.
Apakah manusia tahu tentang vampir? batinku.
***
Kini aku diikat dengan rantai sebuah rumah kosong yang terabaikan, kakiku telah sembuh sepenuhnya dari luka tusuk semalam. Kini hari telah pagi, saat ini para warga sepertinya sedang berada di luar ruangan.
Pintu ruangan dibuka, dan beberapa orang datang–termasuk Pak Salman mengangkatku dan menyuruhku untuk berdiri.
"Kita ke rumah Pak Ali dulu,"
"Jangan! Jangan!" Aku memberontak, "Aku mau di sini saja."
Mereka terus menarikku dengan paksa, tetapi aku jauh lebih kuat dari mereka. Andai saja aku tidak terikat dan bisa bergerak dengan bebas, aku bisa saja menjatuhkan mereka dengan mudah.
Hingga seseorang kembali menodongku dengan besi yang kulihat semalam, mengarahkannya kepadaku.
Air mataku mulai turun.
"Maafkan aku, aku tidak seharusnya pergi ke dunia ini."
Mereka melihat ke arah satu sama lain, berusaha mencerna apa yang baru saja kukatakan.
"Aku tidak bisa kena sinar matahari. Tolong, di sini saja."
"Setan! Dia beneran setan yang berwujud!"
"Bukan! Aku adalah makhluk sejarah yang telah hilang dari dunia ini. Aku adalah vampir, tolong, aku tidak berniat menyakiti kalian, lepaskan aku, dan kalian gak akan pernah melihat aku lagi." Tubuhku bergetar, dan hatiku sangat sakit. Aku rindu rumahku, aku ingin pulang ....
Mereka terdiam sejenak, lalu salah seorang dari mereka–yang usianya lebih mudah dari yang lain yang seumuran dengan Pak Salman–memanggil orang-orang yang ada di luar ruangan. Mereka pun masuk.
Aku pun menceritakan ulang tentang kebenaran identitasku setelah disuruh oleh mereka.
Syukurnya, pemuda itu mempercayaiku. Dia berbicara tentang bagaimana dia sangat yakin kalau vampir itu adalah sesuatu yang nyata selama ini, dan yang mengejutkan, dia seperti senang bertemu denganku, walau aku masih dapat melihat ketakutan di matanya.
"Jangan mau diperdaya oleh tipuan iblis, Bapak-Bapak." Seseorang berkata dengan mantap. "Kita bawa saja dia ke bawah sinar matahari untuk diruqyah."
"Tapi, Pak Ichsan, roh manusia yang ada di tubuh itu bakal kesakitan juga. Bisa-bisa dia meninggal." Seseorang menyela.
Percakapan itu berjalan panjang, dan terbagi menjadi tiga: ada yang percaya dengan keberadaan vampir, ada yang ingin langsung membawaku ke bawah matahari, dan satunya masih ragu-ragu dan ingin mencari solusi lain.
Sampai akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing, karena hasil dari diskusi itu adalah, aku akan ditahan sampai besok. Selagi para petinggi mencari solusi.
***
Hari sudah sangat terik. Aku merangkak menjauh dari jendela, dan merasakan keberadaan yang sangat tipis dan hati-hati dari luar rumah, mengintip dari jauh dan melihat ke dalam. Memperhatikanku. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi lama kelamaan, tatapan itu seperti sangat tajam kurasakan. Semakin kuat, dan semakin dekat.
Sampai sebuah batu menembus ke dalam ruangan, dan kaca itu terbuka lebar. Seseorang pria bertubuh kekar masuk dan mulai memegangiku, dan hendak menarikku ke luar jendela.
Panas matahari dari jendela membakar kulitku dan aku menjerit kesakitan, secara insting aku mendorong pria itu hingga terjatuh. Darahku seperti mendidih dan jantungku meledak-ledak, aku merangkak menjauh dari matahari.
Dengan amarah yang meluap aku merangkak mendekati pria kekar yang masih di tanah, dia mencoba berdiri dan memukulku. Namun, tanganku masih sanggup untuk menangkisnya. Kemudian aku membalas dengan memukulnya menggunakan tangan tergabung oleh rantai, tubuhku tidak seimbang dan matahari kembali membakarku. Amarah menguasaiku dan aku merangkak mendekati pria yang sudah pingsan itu, memukulnya berkali-kali dengan tanganku sampai darah keluar dari bibirnya, dan napasnya hilang.
Darah keluar dari bibirnya.
Nafsu makanku bergejolak, dan seketika aku menjilat darah yang mengalir di lantai. Semalam aku tidak makan banyak karena kejadian Pak Salman.
Hingga aku mendengar langkah banyak orang mendatangiku. Mereka melihatku yang sedang tengkurap dengan gigi penuh darah. Mereka menatapku dengan ngeri, beberapa langsung mendatangi tubuh yang sudah tergeletak mati dan kaku.
Yang lainnya dengan paksa dan kasar mereka beramai-ramai menarikku, aku mencoba memberontak. Sembari menangis, bahkan aku tidak tahu kenapa air mataku turun. Menarikku ke tengah matahari.
Aku menggeliat kepanasan, menjerit, kulitku mulai melepuh. Aku mulai memohon ampun dan menangis.
"TOLONG! TOLONG! AMPUN, AMPUNI AKU!" Tetapi tidak ada yang menggubrisku. Beberapa hanya menutup mata, beberapa pergi tidak sanggup melihatku.
Sampai kesadaranku perlahan hilang, sampai suaraku semakin mengecil.
Aku sepertinya akan mati.
Selamat tinggal, dunia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top