The Threat

"Udah jam tujuh, Git, cepetan!"

Aku ikut melihat ke jam dinding lantaran mendengarkan ocehan Andina yang terdengar panik. Meskipun begitu, tanganku tetap mengetik keyboard. Sebentar lagi kelar, re-check, print, jilid, setor ke meja Bos!

Tepukan di bahu mengalihkanku kepada Gita. "Alice, kita duluan ya."

"Nggak bisa tungguin aku sebentar?"

"Jadwal bus udah mepet banget. Kamu mah enak, pulang naik mobil." Kali ini Andina yang menjawab.

"Aku anterin kalian balik, deh," bujukku.

Gita langsung menolak, "Rumah kita beda kota, nanti kamu makin kemalaman pulangnya."

"Git, buruan, entar kita ketinggalan bus. Dadah, Alice! Hati-hati!" Andina menarik pergelangan Gita, melambaikan tangan dengan heboh.

"Hati-hati, Alice." pesan Gita lagi.

Setelah kepergian Gita dan Andina, suasana ruangan divisiku kini hanya dipenuhi oleh suara keyboard yang sengaja kutekan keras untuk mengurangi keheningan.

Jika aku berhenti mengetik, maka hanya ada suara dentingan jam dan suara klakson dari kejauhan. Aku tidak suka.

Cukup lama fokus, notifikasi whatsapp dari monitor membuat perhatianku teralihkan. Ada chat masuk dari Andina yang membuatku terkejut.

Korban Penyerangan 'Vampir', K, Meninggal Dunia. [link]

Kalau udah di mobil, kabarin ya.

Hati-hati :(

Jantungku berdebar kencang. Jemari yang sedaritadi menari di atas keyboard berhenti sejenak. Kucoba tidak menggubris chat dari Andina dan fokus untuk menyelesaikan pekerjaanku secepat mungkin. Namun, aku tetap saja terngiang-ngiang dengan berita panas saat ini.

Kemarin pagi, seorang pria berumur 42 tahun ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah gang sempit dalam keadaan kemeja bersimbah darah. Penyerangan diperkirakan dilakukan tengah malam, karena ada satu CCTV aktif yang menyorot pria mabuk itu masuk seorang diri ke dalam gang. Sebelum artikel kematiannya terbit, korban dalam keadaan koma.

Aku tidak akan membahas tentang betapa dekatnya TKP dengan kantor ini—hanya selisih dua blok—tapi ditemukan dua titik luka akibat tusukan berdiameter sekian milimeter di leher dan kedalaman sekian centimeter. Tidak ada berita yang menyebutkan angka pastinya, karena belum ada klarifikasi resmi.

Masyarakat mulai mengaitkan penyerangan dengan kebangkitan vampir, tapi pihak berwajib menduganya sebagai penyerangan ular beracun. Sayangnya, teori itu harus terpatahkan karena tidak ditemukan kandungan bisa dalam tubuhnya.

Spekulasi tentang vampir muncul karena kota ini dulunya diyakini merupakan markas bagi Bangsa vampir. Bahkan, kota ini adalah tempat lahirnya organisasi besar yang mempercayai vampir. Semuanya terkubur dan menghilang bersamaan dengan berubahnya zaman. Kini, karena kejadian itu, semuanya kembali mempertanyakan kebenarannya.

Sempat melamun sebentar, suara dentingan jam menyadarkanku kembali. Hari sudah semakin malam dan tentu keadaan juga akan semakin berbahaya. Kalau bukan karena rapat tentang menjaga diri dalam situasi berbahaya itu, laporanku pasti sudah selesai sejak tadi. Jemariku kembali mengetik, kali ini dengan kecepatan penuh.

Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Laporanku sudah selesai.

Tombol CTRL dan S kutekan bersamaan hampir lima kali, tapi usahaku untuk mencetak laporan tidak kunjung berhasil. Printer offline. Kunyalakan printer dan menunggu status berubah menjadi online kembali.

Kulirik kaca jendela yang kini memperlihatkan lampu-lampu kota dari kejauhan. Bulan sabit hanya mengintip sebentar, sebelum akhirnya tertutup kembali oleh awan gelap.

Sekarang sudah pukul delapan lewat. Aku agak bersyukur karena Gita dan Andina tidak perlu menungguku selama ini karena dikejar waktu..

Sebenarnya, biasanya mereka berdua hanya ikut bus sesekali. Jika bisa pulang pukul lima, mereka lebih suka naik ojek online sehingga tidak perlu berlama-lama terjebak dalam kemacetan. Namun, karena keadaannya seperti ini, keduanya lebih memilih naik bus yang ramai oleh orang-orang.

Lampu indikator di printer menjadi jingga, padahal aku baru saja mengganti tintanya semalam. Printer masih dalam keadaan offline. Kuhela napasku pelan-pelan dan berusaha untuk tidak mencak-mencak, karena suaraku pasti akan bergema.

Di saat-saat buntu seperti itu, Andina menelepon.

"Halo..."

"Halo, Alice? Kok belum kasih kabar?"

"Orang akunya belum pulang. Printer nggak bisa nge-print," balasku.

"Oh iya! Aku lupa! Jaringan printer error habis update tadi siang, jadi kamu harus nyambung user-mu ke printer cadangan."

"Hah? Gimana?" Aku memijit keningku. "Aku nggak ngerti."

"Minta tolong Alden, deh."

"Alden siapa?" tanyaku terheran.

"Kan kita sering ngomongin. Itu lho, IT dari cabang perusahaan kita."

Betul juga. Gita dan Andina memang pernah membicarakan tentang IT bayangan itu. Mereka memang menyebutnya begitu, karena sejatinya dia memang direkrut untuk anak perusahaan lain, tetapi sering merangkap sebagai back up (dasarnya kantor ini menerapkan budgeting akut). Selain itu, dia juga dipanggil begitu karena dia hanya kebagian shift malam.

Oh, satu lagi, mereka sering bilang kalau IT bayangan itu ganteng.

"Aku nggak punya nomornya," ucapku.

"Ya udah, gapapa, aku bantu teleponin. Lumayan, ada topik pembicaraan. Kamu jangan modus, ya." Terdengar kekehan dari seberang telepon, sebelum akhirnya telepon ditutup.

Entah siapa yang modus di antara kami.

Beberapa waktu setelah Andina menelepon, aku melihat kedatangan seseorang dari lift. Pria berseragam lengkap dengan badge nama. Kurasa aku harus mengakui pernyataan Andina. Memangnya boleh ya, gantengnya tidak manusiawi seperti itu?

"Mas Alden?" Aku basa-basi meskipun sudah melihat namanya dari badge.

Alden malah mengabaikanku dan langsung melangkah menuju satu-satunya komputer yang menyala. Awalnya, aku tersinggung karena dia mengabaikanku, tapi semuanya berubah ketika aku mencium aroma anyir darinya.

Ia tampak mengotak-atik komputer selama beberapa saat, aku masih diam mematung. Kucoba untuk membuang jauh-jauh pikiran burukku, lalu mendekat hanya agar rasa gugupku tidak begitu kentara.

"Coba print lagi," pintanya.

Ternyata suaranya ganteng.

"Cepat juga. Sudah sering, ya?" tanyaku.

Alden mengangguk. Barangkali bukan hanya tampangnya, tapi kemisteriusnya juga menjadi daya tarik.

Senyumanku mengembang ketika mendengarkan suara printer berbunyi dari kejauhan. Akhirnya, aku sudah bisa pulang sebentar lagi.

"Terima kasih, Mas," ucapku.

Kupikir, Alden akan langsung pergi ke lift dan kembali ke lantai bawah, tetapi dia malah diam, seperti menungguku selesai. Aku tidak ingin kepedean, tapi sebenarnya aku juga sedikit tidak nyaman, terlebih lagi setelah mencium aroma anyir yang semakin kental.

Aku yakin itu aroma darah.

"Mas Alden nggak balik?"

"Nanti barengan aja turunnya, Mbak," katanya.

Jantungku berdebar. Agak campur aduk karena senang dan juga takut.

Kusegerakan menaruh laporan di atas meja Bos, lalu kembali ke meja untuk membuka laci dan mengambil gelang perak pemberian ibuku tadi pagi.

Astaga, apa lagi yang harus kupersiapkan untuk jaga-jaga?

Aku tidak tahu apakah napasku masih beraroma bawang putih karena makan siang tadi.

Kutekan tombol basement.

"Basement?" tanya Alden.

Aku mengangguk.

Kami saling diam agak lama saat berada di lift. Perasaan gugupku sudah agak mereda saat kulihat refleksi Alden menatapku balik dari pintu cermin elevator. Refleksi Vampir yang asli tidak akan muncul di cermin, semua orang tahu tentang itu.

Kalau ini jam sibuk kantor, lift pasti penuh. Ternyata berada di lift yang ramai dan menyesakkan lebih mending dibandingkan hanya berdua dengan seseorang yang mencurigakan.

Pintu lift terbuka setelah kami sampai di basement. Meskipun bukti sudah terpampang di depan mata, tetap saja aku masih merasa gugup. Cepat-cepat, aku keluar dari lift, tetapi aku tidak menyangka Alden keluar dari lift.

"Kenapa?!" Aku bertanya dengan keras. Tidak ada seorangpun di sekitar parkiran. Situasi ini berbahaya sekali.

"Maaf membuat kesalahpahaman, tapi saya bukan Vampir," katanya.

Aku hampir beradu mulut dengannya, tetapi Alden memilih langsung klarifikasi.

"Saya bekerja shift malam karena saya membantu orangtua yang merupakan pedagang ikan waktu siang. Tadi selesainya agak sore, jadi tidak sempat mandi," jelasnya panjang lebar.

Mendengar penjelasannya, aku merasa agak lega.

"Saya menjelaskan, karena semalam ada yang mencurigai saya sebagai vampir."

"Maaf, sudah salah paham," ujarku dengan nada menyesal.

"Gapapa, Mbak. Tadi awalnya saya juga curiga kalau Mbak ini vampir."

Aku melotot ngeri dan mengoceh, "Kok bisa? Saya kerja dari pagi, pasti kena sinar matahari. Tadi siang saya makan ayam bawang putih yang banyak karena katanya vampir nggak suka. Terus, saya juga pakai gelang perak karena vampir tidak bisa pegang perak, tapi tadi dilepasin karena mengganggu banget waktu ngetik. Tadi juga, Mas Alden lihat bayangan saya kan waktu di cermin?"

"Iya, Mbak, saya baru nyadar. Maaf, ya," katanya dengan tulus.

"Gapapa, Mas. Sekarang memang lagi bahaya, Mas juga minimal pakai perak atau makan bawang deh, buat jaga-jaga," saranku.

"Iya, Mbak, makasih sarannya. Hati-hati, ya."

Aku berjalan menuju mobil, mengunci pintu dengan cepat karena sebenarnya masih agak parno. Begitu menyalakan meskin, kulihat Alden sudah naik lift setelah aku masuk ke dalam mobil.

Setelah itu, aku mengabarkan Andina. Kusempatkan sejenak membaca artikel tadi dan mendapati bahwa penyebab kematian korban adalah karena kehilangan banyak darah. Selanjutnya, aku menelepon ibuku sembari menunggu mesin mobilku panas.

"Halo, Ma. Ada yang mencurigaiku."

"Tuh! Makanya, bawa alkitab dan taruh di mejamu."

"Iya," jawabku malas.

Setelah menunggu mesin agak panas, kukendarai mobil keluar dari basement yang pengap.

Aku adalah vampir.

Vampir kini telah berevolusi dan beradaptasi dengan lingkungan. Kini kami bisa menikmati bawang putih dan menikmati makanan manusia. Kami juga sudah mampu menyentuh perak karena kulit kami tidak lagi serapuh dulu.

Dahulu, nenek moyang kami memang tidak kebal dengan sinar matahari, karena itulah mereka memerlukan vitamin D dari darah manusia. Namun seperti yang sudah kujelaskan tadi, keadaan sudah berubah jauh dan kami tidak lagi membutuhkan darah manusia.

Sebagai gantinya, umur kami tidak lagi sepanjang dulu. Kami juga mengalami penuaan, tetapi berdasarkan catatan, itu jauh lebih baik daripada harus memenggal kepala sendiri—itu satu-satunya cara agar vampir bisa mati ketika evolusi dimulai.. Tangguh sekali, mereka.

Intinya, di saat kami sudah hidup berdampingan dengan baik, ada oknum tidak bertanggung jawab yang membuat kecurigaan terhadap vampir bangkit kembali.

Kuharap, semuanya kembali normal dan kami bisa hidup damai, lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top