The Good in Bye

Joshua sudah membulatkan tekadnya malam tadi. Sebelum ia dan seluruh keluarganya kembali melakukan perjalanan lima tahunan sekali, ia harus kembali ke kampung halaman favoritnya. Hari ini ia bangun pagi buta sekali. Ia tidak tahu apakah ada orang yang menyadari kepergiannya pagi buta tadi, atau saat ia memanaskan mesin mobilnya. Joshua hanya tahu setelah melihat delapan notifikasi panggilan tidak terjawab di ponselnya, hari ini ia sudah menjadi buronan orang di rumahnya. Setidaknya, satu anggota keluarga favoritnya. Ponsel Joshua kembali berdering. Kali ini ia sudah memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran keluarga yang berlokasi di pinggiran kota negara bagian tetangga, tidak jauh dari rumah masa kecilnya.

"Halo," sapa Joshua pada sang penelpon yang kontaknya tersimpan dengan nama Arabela. Ia bersandar santai di kursi kemudi sembari mengamati suasana restoran keluarga yang ia kunjungi dari balik kaca mobil.

"Ya ampun, akhirnya diangkat juga," gerutu orang di seberang, yang langsung memberondong pertanyaan pada Joshua, "kau itu pergi kemana sih? Tidak ingat ya malam ini kita ada pertemuan tahunan? Sengaja mau menghindar? Ha?"

Joshua tertawa kecil sebelum menjawab, "Pasti menyedihkan ya, bangun pagi tapi tidak melihatku lalu-lalang di rumah?"

"Astaga, Josh!"

Joshua refleks menajuhkan ponsel dari telinganya. Ia tahu kalau suara adik perempuannya bisa begitu melengking saat berteriak. Namun ternyata setelah sekian lama hidup bersama, gendang telinganya masih belum bisa beradaptasi dengan suara nyaring adiknya itu.

Sadar kalau dirinya tak sengaja menaikkan nada suaranya, Arabela langsung memelankan suaranya, kali ini hampir setengah berbisik. "Kau tahu Papa Mama memang tidak akan mencarimu. Tapi, kalau sampai nanti malam kau tidak hadir ke acara tahunan, kau bisa habis di tangan Mama Papa," desisnya.

"Bela, tenang sedikit⸺"

"Tenang sedikit bagaimana? Kalau keluarga Morgan tahu malam ini kau mangkir di acara tahunan dan tidak menemui Nona Morgan⸺"

"Bagus, kan? Bukannya kau juga aslinya tidak setuju kalau aku dipaksa menikah dengan anak keluarga Morgan? Papa Mama, atau mungkin kali ini harus aku sendiri yang harus mencari calon dari keluarga lain dan membuat pernikahanku kembali tertunda. Waktu kembali terulur, praktis kau punya tambahan waktu untuk memutar otak kan? Siapa tahu kau dapat wangsit supaya bisa kembali bersama pacar manusiamu yang tampan itu, kan?"

"Jangan sembrono, ya, Josh," sahut Arabela dingin.

"Eh, sudah, ya? Aku ada pekerjaan penting yang harus kuselesaikan sebelum petang ini. Kalau tidak, aku bisa terlambat ke acara tahunan. Dah!"

Joshua mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Arabela. Ia kemudian mematikan ponselnya sebelum Arabela kembali menelpon dirinya dan membuat jadwal yang ia susun hari ini menjadi terganggu. Setelah mengantongi ponselnya, ia bergegas keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki restoran.

Pemilik restoran itu memasang lonceng ukuran sedang di atas pintu masuk. Sehingga, setiap kali ada pengunjung yang datang, sang pemilik akan langsung mengetahuinya dari suara lonceng yang berdenting. Begitu Joshua menapakkan kaki di dalam restoran, tiga orang di meja kasir langsung sibuk. Seorang pria paruh baya, seorang wanita paruh baya, dan seorang anak gadis yang Joshua perkirakan masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Albert Ryder, dan Sofia Ryder. Pasangan paruh baya pemilik restoran. Kemudian untuk anak gadis mereka, Isabel Ryder, padahal Joshua pikir baru kemarin ia mengetahui anak itu lahir. Ternyata waktu cepat sekali berlalu. Bahkan, Joshua masih tidak menyangka kalau Sofia akan menikah dengan Albert. Dulu, ia selalu menebak bahwa Sofia akan menikah dengan Henry. Ah, ia jadi ingat kalau harus membeli karangan bunga sebelum mengunjungi Henry.

Joshua memilih kursi di sisi kanan bangunan, satu meja kecil dengan dua kursi saling berhadapan. Siang itu ada beberapa pengunjung di restoran yang sudah menikmati santapan siang mereka. Mungkin saja, salah satu diantara mereka adalah tetangganya dulu, pikir Joshua.

"Selamat siang, Tuan," sapa si anak gadis, Isabel, dengan ramah. Ia kemudian menyerahkan lembaran menu pada Joshua dan menanyakan menu apa yang ingin dipesan untuk makan siang.

Menu restoran milik keluarga Ryder mengingatkan Joshua pada masakan yang dulu sering ia santap saat bermain bersama ketiga sahabatnya, Albert, Sofia, dan Henry. Setiap kali mereka bermain di rumah Albert yang memiliki pekarangan sangat luas itu, mereka pantang pulang sebelum diminta orang tua Albert untuk menyantap makan siang buatan ibu Albert. Tentu saja, sejak dulu Joshua selalu berkelakar kalau seharusnya keluarga Ryder membuka sebuah restoran saking enaknya hidangan buatan keluarga itu. Nyonya Ryder, ibu Alber, selalu tertawa tersipu setiap kali Joshua menyinggung hal itu. Namun, meskipun terdengar sebagai angan panjang, Joshua benar-benar serius dengan perkataannya. Berpuluh tahun kemudian, ternyata Albert benar mengamini perkataan Joshua.

"Sekolah sedang libur, ya?" tanya Joshua di sela waktunya memilih-milih menu. Terakhir kali ia berkunjung ke restoran milik Albert dan Sofia, ia tidak bertemu dengan Isabel.

"Ya?" gumam Isabel. Tidak menyangka kalau tamu di depannya akan mengajak dirinya untuk berbasa-basi. "Oh, betul, Tuan. Libur musim panas," ujarnya.

"Ah, betul sekali, libur panjang musim panas, ya?" gumam Joshua.

Benar juga, pikir Joshua. Pertemuan tahunan klan selalu diadakan di musim panas. Sejak terjadi insiden beberapa tahun lalu, para tetua klan berinisiatif mengubah waktu pelaksanaan pertemuan tahunan. Awalnya pertemuan tahunan diadakan di akhir tahun, ketika musim dingin. Namun karena satu dan lain hal, pertemuan tahunan itu digeser pelaksanaannya di musim panas.

Kalau diingat-ingat, hari itu tepat satu hari sebelum malam tahun baru, Joshua dan seluruh keluarganya pergi meninggalkan kota tempat ia menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja awalnya. Hari itu sebetulnya ia dan keluarganya diundang oleh keluarga Ryder untuk bisa menikmati makan malam bersama dengan keluarga lain. Namun kedua orang tuanya beralasan ia harus pergi menemui nenek dan kakeknya di negara bagian sebelah. Kemudian, sejak malam itu keluarganya tidak pernah lagi menampakkan batang hidung mereka di kota kecil nan hangat itu. Terakhir kali, ia tahu kalau rumah masa kecilnya sudah menjadi bangunan kosong yang tidak terawat. Mungkin, kapan waktu ia akan menyuruh seseorang untuk bisa mengurus rumah itu untuk disewakan.

Setelah memilih menu yang Joshua inginkan, Isabel permisi pamit untuk menyiapkan pesanan Joshua. Ia membawa catatan pesanan kepada kedua orang tuanya. Albert yang bertugas memasak. Sedangkan Sofia menjadi asisten langsung Albert. Joshua bisa melihat proses pembuatan masakan dari tempatnya duduk. Ia memang sudah berniat dari rumah untuk bisa menikmati momen terakhir pertemuan mereka sebelum ia pergi dari wilayah itu menuju negara bagian yang bahkan lebih jauh lagi.

Joshua menatap lekat dua sosok sahabat lamanya yang usianya sudah separuh baya, sementara ia sendiri berhenti menua sejak belasan tahun yang lalu. Ia membuat catatan mental bagaimana rupa kedua sahabat beserta anak gadis mereka yang mewarisi fitur wajah yang ajaibnya merupakan gabungan dari Albert dan Sofia. Andai saja ia masih berkesempatan melihat Henry sebelum ia harus berpindah, batinnya.

Andai saja, Joshua bisa menyampaikan pesan pamit pada ketiga kawan lamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top