Demi Esok yang Lebih Baik
"Reina mau kuliah di Hungaria. Boleh?"
Sebenarnya, aku sudah menyiapkan mental karena sudah tahu dengan tanggapan yang akan kuterima, tapi tetap saja pelototan seluruh orang di meja makan membuatku terintimidasi. Maaf, aku hiperbola. Di meja makan hanya ada dua orang: aku dan Ayah. Sekarang, beliau melemparkan tatapan setajam serigala. "Apa? Coba ulangi sekali lagi?"
Kuteguk ludah. Seram, tapi sudah kepalang terlontar, jadi lebih baik sekalian basah. "Reina mau kuliah di Hungaria. Sudah survey kampusnya, bisa pakai beasiswa jalur diaspora vampir. Ayah tinggal terima jadi. Aman."
Dentingan sendok menusuk telinga. Ayah bersedekap. "Bukankah kemarin Ayah bilang masuk kedinasan saja?"
Kedinasan yang Ayah maksud adalah sekolah untuk menjadi akuntan negara. Mentang-mentang beliau menjadi pejabat di Kementerian Keuangan—bonus menghisap darah orang-orang yang tidak bayar pajak—aku jadi disuruh mengikuti jejak beliau. Membayangkan angka-angka berderet dalam tabel saja aku muak! Lagipula, aku punya alasan yang kuat untuk ini. "Reina mau belajar teknik pengolahan darah langsung dari sumbernya, Ayah. Ayah tahu, 'kan, kalau darah manusia di Eropa lebih layak hisap daripada di sini?"
Kalimatku terdengar biasa saja, 'kan? Aku sudah berusaha memilih kosakata yang paling persuasif dan tidak menyakiti hati Ayah. Tetap saja, lelaki paruh baya itu marah. Lihat, Ayah sudah bangkit dari tempat duduknya dengan emosi berapi-api. "Kenapa kamu selalu membantah kata-kata Ayah? Prospek kerja teknik pengolahan darah di Indonesia itu kecil!"
Alasan itu lagi. Selalu alasan itu. Sebenarnya aku sudah menduga hasilnya akan seperti ini, jadi aku sudah menyiapkan amunisi lain demi mensukseskan rencana ini. Kulambaikan kartu hitam keramat milik Ayah. "Reina sudah diterima dan mengurus visa. Malam ini Reina mau pesan tiket pesawat."
Saat kecil, aku suka sekali menonton trik-trik sulap. Kadang aku bertanya-tanya, untuk apa aku belajar hal-hal seperti itu? Ternyata, kemampuan itu menemukan tujuannya hari ini. Ayah terkesiap. Tentu saja Ayah hanya kaget sebentar. Beliau langsung berusaha merebut kartu dari tanganku, tapi aku langsung menyelipkan benda itu di antara lengan baju. Aman.
"Setelah jadi pembangkang, kamu juga mau jadi pencuri?" Ayah memelototiku.
"Mana ada ceritanya anak mencuri dari ayahnya?" Senyum tersungging amat lebar di wajahku. "Jangan diblokir, ya, Ayah. Ayah tahu konsekuensinya, 'kan? Nanti Ayah juga yang susah."
Dapat kulihat, rahang beliau menegang. Walaupun hitam dan sekilas tampak seperti kartu kredit pada umumnya, kartu yang kupegang ini bukan black card biasa. Seharusnya ini pengetahuan umum, tapi aku beritahu saja: vampir di Indonesia itu minoritas, terkucil pula. Kami tidak bisa seleluasa itu bertransaksi segala macam, tak peduli kami punya status ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata masyarakat. Kartu ini keajaiban.
Ini kartu peninggalan Ibu yang seorang manusia biasa.
"Ibumu di surga pasti kecewa punya anak sepertimu." Ayah mendengkus. "Bebal, kurang ajar, seenaknya sendiri."
Nah, kartu as beliau sudah keluar. Pamungkasnya senantiasa membawa nama Ibu. Ayah pikir, aku akan luluh dengan kata-kata semacam itu?
"Ibu di surga juga pasti kecewa punya suami seperti Ayah," balasku. "Bebal. Tidak mau mengerti anak sendiri. Selalu memaksakan kehendak. Bukankah kita sama, Yah?"
Tanpa menunggu balasan Ayah, aku langsung pergi ke kamar. Kalau Ayah berpikir kalimatnya barusan akan membuatku sakit hati ... sejujurnya, iya. Namun, membuatku urung kuliah di luar negeri? Tidak akan!
Aku baru sadar. Cerita ini langsung kuawali dengan konfrontasiku pada Ayah. Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa aku benar-benar memaksa untuk kuliah ke Hungaria? Toh, tadi aku sempat menyinggung pekerjaan Ayah yang bisa menghisap darah manusia sungguhan. Itu mimpi hampir semua kaum vampir yang kutahu di negara ini. Darah manusia yang tak bisa menjaga dirinya sendiri dari kejahatan memang agak tengik, tapi kapan lagi kamu bisa mendapat darah segar tanpa takut dipersekusi?
Ini penyebabnya: karena kaum vampir di sini minoritas.
Bukan berarti aku bisa menemui vampir di setiap sudut jalan kalau aku pergi ke Hungaria. Bukan berarti juga aku menyangkal kalau vampir memang sedikit populasinya. Sesungguhnya, hidup di Indonesia itu sudah yang paling nyaman untuk jenis vampir tropis sepertiku.
Vampir tropis? Memangnya ada?
Kami ini bukti hidupnya. Entah bagaimana, leluhur kami bisa hidup dan beradaptasi di negeri dengan sinar mentari yang terik ini. Asalkan berlapis tabir surya, kami masih kuat bertahan di bawah terjangan panas matahari. Bawang pun tidak masalah untuk kami—justru aku suka bawang. Memang masih bisa pingsan kalau sedang kemarau parah-parahnya, tapi kami para vampir sudah sadar diri dan senantiasa mengenakan baju panjang untuk proteksi.
Kalau kalian melihat definisi vampir yang sering dideskripsikan sebagai perwujudan setan ... sebetulnya, tidak sepenuhnya benar. Kami hanya manusia yang butuh darah untuk bertahan hidup. Bedanya, kalau manusia biasa hanya butuh darah mengalir dalam tubuhnya, kami butuh darah untuk dikonsumsi. Lalu, kami butuh darah segar untuk gizi yang lebih baik, karena pengolahan darah kemasan di sini masih buruk sekali. Tidak harus darah manusia, kok. Kami lebih sering mengambil darah dari hewan-hewan ternak yang memang dibudidayakan oleh sesama kaum vampir. Walau darah manusia jelas lebih sedap—itu sebabnya Ayah sangat menikmati pekerjaannya—tapi kami sadar diri.
Secara penampilan, kami pun sama saja seperti manusia lain. Tidak terlalu pucat juga, karena sudah kubilang, 'kan? Kami ini vampir tropis. Intinya, keberadaan kami tidak merugikan.
Masalahnya, masyarakat Indonesia anti sekali dengan semua yang berbau vampir. Kami disamakan dengan dukun. Dianggap setan yang harus enyah. Kalau bukan karena Ayah menikah dengan Ibu—anak petinggi negara yang terkemuka—dan bekerja untuk mengeksekusi orang jahat, pasti beliau juga sudah diburu!
Aku tidak tahan melihat teman-temanku yang tidak seberuntung keluargaku. Mereka harus nomaden seumur hidup karena tetangga tidak mau menerima. Sebenarnya ada kompleks khusus vampir. Kami tinggal di sini. Namun, biaya tanahnya selangit dan sekarang juga sudah tidak aman lagi. Jendela kamarku saja belum sempat kuperbaiki setelah dilempari batu kemarin lusa.
Mana betah aku tinggal di sini? Setidaknya, Hungaria memang sarangnya vampir seluruh dunia. Di sana, kami bukan minoritas yang diserang bertubi-tubi. Malahan, sepanjang pengetahuanku, negeri itu sangat ramah vampir. Anak-anak muda yang ingin mati lebih cepat pun seringkali menyerahkan diri untuk dihisap darahnya. Itu artinya darah segar terbaik.
Terdengar seperti prospek hidup yang sangat menjanjikan, bukan?
Entah sudah berapa kali aku membujuk Ayah. Sebenarnya, aku inginnya kami bersama-sama pindah ke sana. Ayah sangat mampu, gajinya sebagai pejabat pajak tinggi sekali. Lebih baik migrasi, demi kehidupan yang lebih baik untuk kami berdua. Akan tetapi, Ayah berkeras menolak. Makam Ibu ada di sini, kata beliau. Ayah tetap ingin bertahan saja dan menjalani pekerjaan impian masyarakat vampir Indonesia. Padahal, Ayah bisa lebih dari itu. Lagipula, menghisap darah manusia memang nikmat, tapi kalau terus-terusan mengkonsumsi darah tengik koruptor ....
Aku tidak mau berpasrah seperti Ayah. Aku mau menjemput masa depanku yang berbeda, yang lebih cerah.
Pintu kamar diketok. Ayah masuk. Masih ada sisa murka di wajahnya, tapi beliau lebih tampak seperti lelah.
"Reina. Lihat Ayah."
Helaan napas lolos dari bibirku. Ayah masih mau membujuk, setelah sekian episode pertengkaran kami mengenai perkuliahan ini? Aku sudah terlalu lelah untuk bertikai, jadi aku hanya melengos.
"Reina. Kalau kamu memang seingin itu untuk pergi, pergilah."
Tunggu. Ini bukan sesuatu yang akan diucapkan Ayah. Aku berbalik badan demi menatap wajah beliau. Ada gumpalan emosi di manik mata yang sudah mulai berkabut itu.
"Nah, Reina. Kamu sudah pegang kartu Ayah, jadi silakan urus semua keperluanmu sendiri. Ayah hanya punya satu permintaan terakhir."
"Apa, Ayah?" Aku memandangi lekat-lekat guratan umur di permukaan kulit yang sudah mengendur itu. Ayah memang sudah paruh baya, tapi aku baru sadar kalau beliau memang setua itu. Asam garam kehidupan seakan menempel di sana dan menimbulkan bercak-bercak tak beraturan di wajah. Mendadak, perasaanku tidak enak.
"Ayah tidak bisa hidup tanpa orang yang Ayah sayangi." Wajahnya datar, tapi aku bisa mengintip badai perasaan di baliknya. "Ibu sudah meninggal. Sebentar lagi, kamu yang akan meninggalkan Ayah."
Aku berkacak pinggang. "Ayah mau bikin Reina merasa bersalah agar tidak jadi pergi?"
Ayah menggeleng. "Sebelum kamu berangkat, Ayah hanya ingin membekalimu dengan hal berharga terakhir yang Ayah punya."
Jeda sejenak.
"Tolong hisap darah Ayah, Reina. Ayah tidak bisa hidup sendirian kalau kamu ke luar negeri, tapi Ayah juga tidak mau hidup jauh dari Ibu. Maka, biarlah jasad Ayah menemani Ibu di tanah, dan tolong bawa Ayah dalam darah yang mengalir di tubuhmu agar bisa membersamaimu selamanya."
Dari semua prediksiku, aku sama sekali tidak terpikir kalau ini yang keluar dari mulut Ayah. Tentu saja aku marah! "Maksud Ayah, Reina harus bunuh Ayah?"
"Bukan membunuh, Reina." Ayah masih dengan wajahnya yang datar. "Lebih baik kamu membawa darah Ayah ke sana, daripada Ayah perlahan mati jiwanya saat menunggu jasad ini mencapai satu abad. Kamu juga pasti tidak akan kembali lagi ke Indonesia, 'kan? Ayah tahu, Reina."
"Ada opsi pulang kampung. Reina bisa cari uang agar Reina bisa menjenguk Ayah di sini nantinya." Suaraku bergetar. "Reina tidak mau makan darah ayah sendiri. Kenapa Ayah bilang begitu?"
Ayah menggeleng. "Pulang kampung pun tidak bisa sering. Lagipula, bukankah kamu ingin pergi dari Indonesia karena sudah muak dengan negeri ini? Untuk apa jauh-jauh ke Hungaria kalau ujungnya sering kembali?"
Hening. Bibirku membisu.
Tangan keriput Ayah menyentuh punggung tanganku. "Ayah ikhlas melepas Reina pergi. Ayah hanya tak bisa hidup sendiri. Bukankah itu adil untuk kita berdua?"
"Ayah—"
"Reina berangkat kapan?" Ayah mendekatkan diri dan menyodorkan tengkuknya padaku. "Atau Reina mau menghisap darah Ayah sekarang, agar Reina bisa lebih cepat bersiap?"
Tidak. Bukan ini pilihan yang kumau. Kenapa jadi begini?
Aku harus bagaimana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top