Tolevonsiren titanium [REDACTED]
"Kau yang menaruh racun di minuman De—Tuan Demian, benar?"
Aku terbelalak, tangan sedingin es. Mulutku menelan ludah diam-diam, tetapi suaranya keras sekali di dalam telinga, beradu dengan dentuman jantung. Refleksku masih memijati jemari tangan, menekan sendi-sendi jari tengah dan telunjuk dengan kuku.
"Duh," pikirku.
Sekarang pria berkacamata di depan sana menunjuk dengan tatapan tajam ke arahku, jari telunjuknya seperti akan menyentuh ujung hidungku saking dekatnya dan entah sudah seperti apa raut wajahku di mata dia. Aku hanya terdiam kaku menanggapi ucapan tersebut dengan jari tertancap, tidak bisa berkata apa-apa lagi seperti ada yang membuat papila di lidahku menatap mata Medusa dan seketika menjadi batu.
Wanita yang terlihat beberapa tahun lebih muda di samping sang pria sedang memegangi sapu tangan di depan hidung, tetapi tidak menyembunyikan bibir merah yang tertarik dari ujung ke ujung penuh emosi layaknya anjing marah. Air mata sang wanita terus meluncur dari matanya yang mengilap kemerahan di bawah kandelir, membuat jalur lebih gelap di kedua pipi. Aku yang masih melotot tidak bisa memalingkan pandangan dari wajahnya.
Ini semua salahku. Tidak seharusnya aku mengusik si bajingan Demian itu. Bodoh, merencanakan percobaan pembunuhan segala, aku 'kan tidak tahu kalau dia akan benar-benar mati.
Ah, kalau dipikir-pikir, tidak sepenuhnya salahku sih, dia mati. Lagian, mereka juga benci Demian, 'kan? Aku hanya mempercepat kematiannya dengan racun.
Akan tetapi, tetap saja aku tidak akan bisa lepas dari amukan wanita gila itu! Bisa-bisa aku mati untuk kedua kalinya.
***
"Hari ini ngapain, ya?" Aku membaringkan diri di kusen batu jendela besar kastil sembari memperhatikan langit biru yang ditutupi oleh kain penghalau sinar UV. Kaki kiriku yang bergelayutan menendangi dinding batu sisi luar kastil dengan tumit sepatu. Hari-hari berlalu datar, tidak pernah menyenangkan atau menyedihkan sejak tujuh belas tahun lalu, sejak aku mati lalu pindah ke tempat ini. Kalau saja ayah dan ibu hidup kembali setelah mati sepertiku, mungkin hidupku tidak akan terkekang di sini, sayang sekali aku dapat gen dominan mereka.
Kastil ini ditempati oleh keluarga "pengisap darah"—begitu kata manusia—garis keturunan bangsawan vampir generasi muda. Sebenarnya, aku tidak murni bangsawan atau apalah itu karena garis keturunan kami sudah bercampur dengan ras lainnya.
"Hai, sedang apa?"
Aku tertegun mendengar suara lain yang datang dari titik buta. Namun, belum sempat menengok dan menjawab, aku merasakan sentuhan kuat di belakang lengan kananku lalu aku terdorong ke bawah.
"HA—"
BRAK!
Tubuhku menabrak lantai batu dengan keras, rasanya jiwaku tergeser beberapa detik dari raga.
"Hah!? Siapa—" Pandanganku menangkap siluet hitam bersama warna biru yang melambai-lambai dari jendela tadi sebelum menggelap. Aku mengedipkan mata berkali-kali berusaha mengembalikan pengelihatanku. Namun, setelah semuanya kembali fokus, sosok di atas sana sudah hilang dan aku didatangi rasa sakit yang begitu menusuk.
Akan tetapi, aku sangat kenal dengan warna itu. Warna pemilik kamar mewah di sayap tengah kastil, biru ultraviolet yang menyakitkan mata. Tidak salah lagi, Demian em Luxineregn dan syal birunya, si bangsawan vampir berdarah murni!
"Argh ...." Jatuh dari ketinggian masih menyakitkan bahkan bagi seorang vampir. Sepertinya beberapa tulangku patah karena aku merasakan kerangka tubuhku bergerak di dalam berusaha bersatu kembali. Dengingan yang mengaum di kedua telingaku menambah intensitas nyeri yang berdenyut hebat di kepala, membuatku menyipitkan mata demi mengurangi nyeri—walaupun nihil—sembari berusaha menggerakkan tubuh.
"Demian sialan! Bocah itu lagi!" pekikku dalam hati. Entah sudah berapa kali dia membuatku naik pitam dan sekarang kesabaranku sudah habis. Dia harus mati.
Selagi tubuhku melakukan regenerasi, aku hanya bisa merangkak dan mengerang kesakitan mendekati pagar panjang di pinggir kemudian meraih salah satu besinya yang menjulang tinggi. Rasanya dingin dan licin, berlumut ... menjijikkan. Beberapa kali genggamanku tergelincir dari besi.
Seluruh energiku diserap sebagai bayaran regenerasi vampir. Sebagai gantinya, aku butuh minum.
Pandanganku berkunang-kunang.
Aku butuh darah.
Aku butuh ....
Ciit, ciit, cit.
CIIT!
Begitu rasa logam kental beraroma menyengat nan memuakkan memenuhi rongga mulut, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyedotnya sampai tak bersisa. Cairan merah gelap mendekati hitam itu menggodaku layaknya iblis.
"Ugh ... Hmhg—!" Tikusnya kotor, bulu-bulunya yang basah menyapu hidungku, rasanya mau muntah, tetapi aku masih haus. Binatang itu menggeliat liar di dalam cengkeramanku sampai pada akhirnya melemas.
Setelah tubuhku terasa lumayan baik, aku bangkit, sempoyongan. Kedua kakiku bergemetar berusaha menahan beban. Untung saja tidak mati untuk kedua kalinya. Aku memindai sekitar dan menemukan tempatku jatuh tadi, darahku tampak terciprat ke mana-mana. Mewarnai lantai batu, kaki patung, pot tanaman, dan semak-semak belukar.
"Ini kan ...." Sekali lagi kukedipkan mata. Ini taman sepupuku yang suka sekali dengan bunga, tidak ada yang boleh masuk ke sini. Hidungku membaui aroma manis dari dalam taman. Aroma bunga siren yang mematikan.
Tidak tahu mengapa, tetapi kakiku memilih untuk melangkah ke dalam taman mengikuti semerbak bunga.
Srak, srak, srak.
Suara sepatu menginjak rerumputan panjang memecahkan sunyi. Mulutku hampir tertawa melihat banyaknya bunga siren milik Cynthya. Adrenalin vampirku yang aktif karena jatuh menjadi meledak-ledak. Tanganku meraih bunga terbesar yang merayap seperti benalu pada semak. Katanya, serbuk sari bunga ini mematikan.
Haruskah aku mencoba membunuh Demian dengan ini?
Dia kuat, tidak mungkin juga akan mati. Kalaupun mati, dia masih bisa hidup lagi.
Aku memetik bunga tersebut selagi otakku berpacu merancang skenario. Kali ini giliranku menjahili dia.
***
"Maaf, bukan kau." Tangan Rosve terangkat sedikit. "Cynthya, jawab!"
Aku menengok ke belakang secepat kilat.
"Hah? Loh, bukan aku!?" batinku. "Kan aku yang meracuni Demian!"
Air muka gadis berbusana lolita gelap itu seketika menegas. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Dokter menemukan—"
Sreek!
"Mereka menemukan bunga favoritmu di minuman Demmie!" Tunangan Demian memotong ucapan Rosve, jari-jari merahnya mencakar lengan gaun Cynthya sampai robek. "Tolesir apalah itu, KAU MERACUNI TEH DEMMIE!"
Cynthya menarik lengannya sekuat tenaga, menyebabkan robekan semakin besar. Gadis itu mengelurkan protes. "Lepaskan! Buat apa aku meracuni Demmie kesayanganmu itu? Aku bahkan tidak sudi bunga siren-ku dihidangkan kepadanya!"
"JAUHKAN NAMANYA DARI MULUT KOTORMU! Aku tahu hanya kau yang bisa meracuninya, memangnya aku tidak tahu kau sangat protektif dengan bunga-bunga jelek itu? Kau tidak memperbolehkan siapa pun menyentuhnya! Siapa lagi kalau bukan kau yang meracuni Demmie?"
"Bu-bunga jelek!?" Cynthya mengeluarkan taring, mata hitamnya mulai menyala merah.
Dengan cepat darah mereka mengotori lantai marmer kastil. Aku mundur perlahan, menjauhi arena duel antara dua vampir bergaya sangat bertolak belakang di sana. Tidak mungkin, tidak mungkin ini terjadi. Ingatanku sangat bagus, kemarin aku yang pergi ke dapur untuk memasukkan serbuk sari bunga siren ke teh Demian tanpa ketahuan pelayannya, aku yang mencuri bunga Cynthya, aku yang merencanakan percobaan pembunuhan Demian! Siapa lagi kalau bukan aku!?
"Hai." Sebuah sentuhan lembut menyapa kedua pundakku dari belakang.
"A—" Refleks kedua tanganku yang dibasahi keringat dingin membekap mulut rapat-rapat. Kepalaku menengok, mendapati seorang pemuda berambut pirang. Dia tersenyum sembari menempatkan telunjuk di depan mulutnya.
"Shush. Tenang saja," ucapnya. Aku mengangguk pelan dalam diam.
"Tenang saja, kami tahu apa yang kau lakukan kemarin malam," lanjut sang pemuda.
Oh?
Oh.
Oh, mati aku.
"Pfft—" Sepertinya dia senang melihatku ketakutan karena sekarang senyumnya melebar lebih sinis dan ... apa tadi? Barusan dia tertawa?
Satu gerakan lembut, dengan mudah dia memutar badanku sehingga aku menghadap dirinya. Dia menatapku lekat-lekat melalui mata hitamnya kemudian secara tiba-tiba mulutnya mengucapkan sesuatu. "Kau harus lihat wajahmu saat Rosve menunjukmu, hahaha!"
Lagi-lagi aku menelan ludah.
"Seperti kelelawar bodoh."
Di tengah kerusuhan Cynthya dan Ellenoire, di saat Rosve dan yang lain berusaha melerai keduanya, aku dan pemuda itu berdiri di pinggiran gelap di mana cahaya kandelir tidak sampai. Jujur saja aku tidak pernah terkena masalah seperti ini. Membunuh? Aku hanya pernah membunuh hewan.
Seharusnya kutahan saja rasa kesalku terhadap Demian.
Aku menurunkan tangan, berusaha buka suara. "Nigell, a—"
"Kau mau dibakar, dipasak, atau didiamkan di bawah matahari?" Dia memotong ucapanku. "Kalau aku jadi kau, aku memilih dipenggal."
Kuku sang pemuda menyayat pipiku. Jantungku rasanya jatuh dari tubuh.
"Nigell, berhenti menakut-takuti dia." Sebuah suara terdengar dari kiri. Seorang wanita tinggi muncul dari kegelapan bayangan, melirikku lalu menyentuh pipiku yang berdarah.
"Sayangku, kami akan menangani semuanya," bisik sang wanita. "Nanti berterimakasihlah kepada Cynthya."
"Apa?" Kata-kata wanita itu terdengar tidak nyata di telingaku.
Nigell mengeluarkan tawa mengejek. "Siapa sih yang tidak benci Demian? Kami semua menginginkannya mati, dan pembunuhan ini kesempatan bagus untuk mengusir si jalang merah bodoh dari sini."
Sebuah jotosan mendarat di kepala Nigell. "Perhatikan ucapanmu."
"Memangnya aku salah? Dia bodoh, masa bisa-bisanya percaya dengan semua ucapan kita. Percaya ketika kita bilang Cynthya pembunuh Demian."
"Maksudku bagian jalangnya." Sekali lagi sang wanita memukul kepala Nigell.
Aku menengok begitu mendengar jeritan melengking Ellenoire. Dia sudah terduduk sembari melihat jantungnya yang dipegang Cynthya. Aku tidak bisa mendengar ucapan Cynthya, tetapi Ellenoire terlihat sangat ketakutan sambil membungkuk dengan tangan ditangkupkan seperti meminta ampun. Namun, Cynthya tampaknya tidak peduli dan malah mencengkeram jantung Ellenoire. Darah pun membanjiri lantai dan sang wanita jatuh tertelungkup.
Aku berbisik, "Na-nanti saat Demian hidup lagi, apa dia tidak marah?"
"Jangan khawatir, ini kematian Demian yang ketiga. Dia tidak akan bisa hidup lagi."
Sebenarnya sudah seberapa lama mereka membenci Demian?
Lenganku merinding ketika seisi kastil tertawa di atas kematian Demian dan Ellenoire.
Aku melihat Nigell melangkah keluar dari kegelapan. "Haha! Kerja bagus semuanya! Pelayan, bersihkan ini sekarang juga."
Sang pemuda menengok ke arahku tanpa membalikkan tubuh. Tersenyum lebar dia berucap, "Terima kasih."
Aku takut, sekarang Cynthya menatapku tanpa ekspresi. "Kau mencuri bungaku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top