The Twin
Tetanggaku tewas.
Ia ditemukan dalam keadaan kaku, terkapar di depan pagar rumahnya. Terbuka sekali, bukan? Seolah, memang sengaja ditampakkan di sana. Kondisinya yang kering pucat tanpa darah ditambah dua lubang kecil di lehernya menjadi peringatan; kami ada, dan kami adalah ancaman bagi kalian.
Si Pengisap Darah. Vampir, katanya.
Jam malam diberlakukan. Organisasi pemburu dibentuk. Dan aku, sebagai tetangga sebelah rumah korban, mengurung diri di rumah, meski telah diminta untuk mengungsi.
"Tidak bisa, adikku belum pulang," kilahku.
Malam lalu, ketika Ofie–tetanggaku–masih hidup, kami teleponan dengan adikku, Deuva. Ofie tinggal sendiri, aku dan adikku berdua, dan umur kami semua tak terpaut jauh. Itulah yang membuat kami akrab. Deuva berkata belum bisa pulang karena terjadi "hal buruk" di sekitarnya, lantas menyuruh kami berhati-hati dan jangan keluar saat malam. Ofie mengeluh karena malam itu, ia akan kedatangan tamu, meski ia tak menjelaskan lebih lanjut.
Tamu itu! Petugas sudah menginterogasiku, tetapi aku tak tahu apa-apa. Malam sebelum Ofie ditemukan tewas, aku baru pulang pukul sepuluh malam, dan malah dikejutkan Ofie yang masih menunggu tamu di luar rumah. Kusuruh ia masuk, tak digubris. Aku kelelahan dan dengan cepat tertidur, sama sekali tak menyangka itu menjadi terakhir kalinya ....
Dan kini, Deuva tak bisa kukontak. Ia belum berkabar, aku tak mau pergi.
Kriiiing.
Aku menyemburkan napas lega. Itu Deuva!
"Deiva!" seruannya terdengar panik. "Kamu di rumah?"
"Iya ...."
"Pergilah, mumpung masih siang!"
"Deuva, kamu di mana?"
"Jangan pedulikan aku. Pergilah ke zona aman!"
Telepon terputus. Aku menimbang-nimbang sebelum pergi ke gudang dan mengambil golok. Tampak karat di sana, akibat jarang digunakan. Sengaja kuambil sebagai alat pertahanan diri. Lantas, aku memakai hoodie, keluar ... dan terpaku.
Garis polisi melintang di rumah Ofie, itu aku sudah tahu. Namun, ada coretan merah melintang di pintu depan rumahku, ditambah keberadaan kawat berduri di tiap rumah kecuali rumahku. Sejak kapan? Aku tak tahu. Perasaanku tidak enak. Aku kini berlari, dan lagi-lagi tertegun.
Pintu masuk komplek terbarikade dengan pagar kawat. Tidak bisa dilompati, tidak bisa dipanjat. Aku tahu pintu rahasia dekat rumahku meski agak memutar. Tak pedulilah. Aku lari ke sana. Tidak ada kawat! Kulompati pagar kecil yang menuju gang tersembunyi, menyusuri sisi dua gedung yang berdempetan, hingga ....
"Ada yang keluar!"
Aku berhenti. Beberapa orang mengadangku. "Deiva?"
Mereka kenal aku. Aku hanya sekadar tahu mereka. "Ya? Aku sudah keluar."
"Baguslah ... apa adikmu sudah kembali?" tanya seorang petugas yang tempo hari memintaku mengungsi.
Aku menggeleng. "Tapi dia memintaku untuk pergi ke zona aman. Mungkin ada di sana."
Mereka membawaku ke zona aman terbatas dengan mobil patroli, dan membiarkanku membawa golok. Sepanjang jalan, mereka bercerita bagaimana daerah rumahku sudah menjadi zona bahaya karena kasus Ofie. Tetanggaku itu bukanlah korban yang pertama di negara ini. Tiap wilayah kecil yang didapati kasus seperti itu langsung dianggap sebagai zona bahaya. Kota tempat kasus akan menjadi zona terbatas, di mana tiap zona terbatas terdapat zona aman terbatas sebagai markas organisasi dan pengungsian sementara.
"Apa dari sana, aku bisa ke zona aman di pusat?" tanyaku.
"Tentu, tapi petugas dari pusat hanya datang sekali sepekan untuk menjemput, bergiliran dengan wilayah lain. Kami tidak bisa meninggalkan markas."
Setelah melalui jalan sepi berbarikade, kami sampai di sebuah gedung. Tentara berjaga di luar, sementara mobil melenggang ke dalam basemen.
"Gimana kalian membedakan manusia dengan vampir? Mereka kan bukan zombi, dilihat sekilas mirip manusia," tanyaku.
Namun, ucapanku mengundang bombastic side eye baik dari sopir maupun petugas di sebelahku. Aku bungkam.
Aku diturunkan di depan lobi dan dipandu ke sebuah ruangan. Petugas berkata, besok akan ada jemputan dari pusat. Aku dipersilakan untuk beristirahat.
Saat itu, telepon kembali berdering.
"Kamu di zona aman?" tanya Deuva. Suaranya terengah-engah.
"Masih di zona aman terbatas. Kamu bisa menyusulku?"
"Kapan bakal diangkut ke zona aman?"
"Mungkin besok."
"Ah, kalau gitu, sampai jumpa besok."
Aku menghela napas. Sudah setahun adikku merantau. Ia hendak pulang, tetapi merebak kabar tidak menyenangkan soal vampir, termasuk "hal buruk" yang terjadi di tempatnya berada. Deuva tak pernah menyinggungnya lagi. Aku tahu, dia tak mau aku terlalu khawatir.
Semua petugas mewajarkan jika aku membawa senjata. Malamnya, lepas mengasah golok, aku memikirkan Deuva. Mengingat-ingat wajahnya, juga masa kecil kami.
.... Tunggu. Kenapa aku tidak ingat apa pun?
Hanya segelintir detail tentang Deuva yang terekam dengan baik olehku. Sisanya blur. Seperti minggat begitu saja dari ingatanku. Kami ini kembar. Meski Deuva tak pernah memanggilku kakak, kami sepakat bahwa ia adik. Aku kakak perempuan, dia adik laki-laki. Dia pergi setahun lalu karena panggilan kerja. Lalu ... apa yang terjadi antara itu?
Begitu saja aku terbangun. Petugas menendang-nendangku, berkata jemputan dari pusat sudah tiba. Aku pergi dengan masih membawa golok, tersembunyi di balik hoodie. Di luar sudah terang, waktu yang digunakan untuk beraktivitas di luar karena vampir tak tahan cahaya matahari.
Lalu, bagaimana jika di dalam bangunan?
Dengan pikiran semrawut, aku naik sebuah mobil tronton beratap menuju zona aman. Di perbatasan, terdapat pasukan tentara yang tampak selalu siaga. Lagi, kulontarkan pertanyaan terkait perbedaan vampir, zombi, dan manusia. Dan lagi, aku mendapat pelototan.
"Tunggu! Tunggu!"
Mobil mengerem mendadak. Seseorang berjubah lebar dan serba tertutup muncul entah dari mana, melambaikan tangan meminta mobil berhenti. "Angkut aku juga!"
"Siapa kamu?" Petugas langsung bersiaga.
"Izinkan aku naik, biar kukenalkan diriku."
Dengan dua pistol yang mengacung ke arahnya, lelaki itu menyibak tudung jubah, meski tetap bermasker. Langsung tampak sepasang mata biru yang familier.
"Deuva!" pekikku.
"Deiva!" Tanpa ba-bi-bu, ia langsung memelukku. "Sudah kubilang, kita bakal ketemu hari ini!"
"Kamu kenal dia?" tanya petugas padaku.
"Dia adikku!" sahutku pasti.
Deuva diperbolehkan ikut. Sepanjang jalan, ia malah tidur dengan posisi mlungker di lantai tronton. Biarlah, ia tampak lelah dan kepayahan.
Kami sampai di zona aman. Deuva kembali diinterogasi, tetapi kesaksianku membantu. Begitu matahari tenggelam, barulah Deuva tampak segar. Ia berkata sudah berhari-hari berusaha pulang dengan menerobos aneka penjagaan karena rumah kami ada di zona bahaya. Pantaslah ia lelah. Kutepuk kepalanya yang lebih tinggi dariku, ia hanya menyeringai.
DEG.
Tunggu. Kenapa rasanya ada yang salah?
"Kalau ngantuk, tidur duluan aja. Aku mau keliling dulu." Deuva berjalan menjauh. Kulihat ia menyapa tetangga kami di barak ini. Aku tersenyum kecil. Aku memang lupa soal masa lalu, tetapi melihatnya ramah begini, aku deja vu.
Kantuk menyerang, aku memejamkan mata. Rasanya, baru saja terbuai ketika tiba-tiba bunyi alarm tanda bahaya meraung. Aku hendak bangun, tetapi pergerakanku ....
Ssssh, di sini saja.
"Deu—"
"Tenanglah, aku tidak akan membunuhmu."
Mata yang familier itu. Seringai itu. Ia mendekatkan wajahnya padaku, menunjukkan dua taringnya yang di luar ukuran normal manusia.
"Menjauh!" Aku berontak, tetapi gagal. Sosok itu malah menyibak rambutku, mendekatkan mulutnya ke leherku—-
Ofie itu pacarku.
Aku tertegun.
Aku bilang padanya, aku akan pulang malam itu, tapi rahasiakan darimu. Makanya dia mau menungguku malam-malam, padahal di depanmu, aku sudah melarangnya. Dia terlalu naif, makanya—
"Siapa kamu?!" Aku berusaha menjauhkan diri, tetapi tubuhku tak bisa bergerak. Kurasakan denyutan di leherku. Gawat ....
"Kamu pintar dan kuat, aku mau tak mau memakai kekuatan itu. Kamu tahu? Vampir bisa memanipulasi ingatan seseorang. Termasuk pemahamannya. Kamu anak tunggal. Deuva tidak pernah ada. Terima kasih, berkatmu, aku bisa menyusup ke sini. Kamu—"
Srat. Dalam satu sentakan, aku berhasil menjauh.
"Kamu benar," bisikku. Darah mengalir dari bekas gigitan di leherku, tetapi aku tak peduli. Ucapan makhluk di hadapanku ini membuat ingatanku kembali. "Aku ini kuat."
Golok mengacung ke wajah vampir yang terhenyak itu. Aku makin maju. "Bukan cuma aku. Kamu juga yang membuat tentara salah melakukan persiapan. Kamu ini vampir, bukan zombi."
"Sejak kapan kamu membawa benda tajam?" tanyanya gugup. Tampak merah di mulutnya—itu darahku.
"Sejak keluar rumah. Aku enggak bodoh." Aku berdiri, tetap mengacungkan golok. "Sial, aku tertipu. Siapa Deuva? Kenapa kamu bilang enggak akan membunuhku, tapi tetap menggigitku?"
Vampir itu menyeringai. "Karena kamu sepertinya akan berguna untuk bangsa kami."
Aku mendelik. Gawat. Kutekan luka di leherku dengan tangan kiri, sementara tangan kananku mengayunkan golok. "Mati kau!"
Vampir itu berkelit. Ia kabur. Aku mengejarnya. Darah makin deras mengucur, pandanganku berkunang-kunang, tetapi aku kini punya tekad untuk balas dendam. Peduli setan. Ofie itu sahabatku. Ia dibunuh vampir.
Aku berlari sampai ke tempat terbuka, di mana petugas ribut akibat alarm tadi. Kuacungkan golok tinggi-tinggi, lantas berseru, "Lelaki yang kabur tadi. Dia vampir!"
Mereka menyuruhku kembali dan beristirahat, tetapi aku tak mau. Aku akan membunuhnya. Kutemukan jejak vampir itu, ia masih saja menyeringai melihatku.
"Baiklah, kalau itu maumu. Bunuh aku sekarang." Ia merentangkan tangannya lebar-lebar. "Toh, aku juga sudah ketahuan yang lain."
"Apa ada kata-kata terakhir?" tanyaku tajam. Golok sudah bersarang di lehernya. Ia malah menyeringai, sementara petugas mengelilingi kami, mengacungkan rupa-rupa pistol dan senapan.
"Kamu yang harusnya hati-hati, Deiva," ucapnya kalem. "Pertama, kamu yang membuatku berhasil masuk—"
Crasshh. Golok mulai mengiris kulit lehernya. Ia meringis, darah menitik.
"Kedua, semua ingatanmu belum pulih—"
Darah kini menyembur, sementara kepalanya sudah tampak timpang. "Lalu?" tanyaku kalem.
"Dan aku, sudah menggigitmu—"
Pyaaash.
Darah pekat mengucur, aku limbung. Seorang petugas segera menangkapku, sementara yang lain menjauhkan kepala vampir yang menggelinding itu dari tubuhnya yang perlahan ambruk. Dalam kesadaran yang hilang-timbul, aku malah melihat wajah vampir itu menatapku dengan tatapan meledek.
Selamat datang, vampir baru ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top