Head Pats

Kali pertama bertemu dengannya, lelaki itu hanya bisa terkesima. Tak sempat memerhatikan paras muda, maupun postur tubuh sesungguhnya yang tertutupi oleh jubah petualang, panjang dan cukup lebar untuk menyelubungi seluruh bawaan yang dipanggul. Mana mungkin sempat. Dia dan teman seperjalanannya terlalu sibuk ketakutan.

Beberapa saat sebelumnya dia dan teman seperjalanannya masih memaksa tungkai-tungkai mereka bergerak secepat mungkin untuk menjauh dari amukan seekor gorila raksasa. Berusaha mengikuti langkah lincah teman mungilnya, dia setengah mati berlari menelusuri hutan. Mungkin karena lelah atau akibat teror raungan seram yang mengikuti mereka, kaki jenjangnya yang kikuk saling bertaut, tak harmonis, lalu dia terjerembab.

Setengah mati berusaha bangkit sementara debum langkah raksasa kian mendekat. Tarikan pertolongan dari teman seperjalanan terasa percuma karena beban tambahan di punggungnya. Kacamata bulat yang bertengger di hidung mulai melorot oleh peluh.

"Makanyaaa ... Tinggalin aja semua barangmu!" pekik gadis yang berpostur mungil itu di tengah usaha membantu. Suaranya bergetar. Air mata tumpah-ruah, mengalir bersama ingus di antara cucuran keringat dan ombak rambut panjang melingkar-lingkar yang terlalu banyak bila dibandingkan ukuran tubuhnya. Ujung telinga runcing yang menyembul di antara rambut menunjukkan darah keturunan halfling, ras yang tetap memiliki postur kekanak-kanakan walau sudah menginjak usia dewasa.

"T-tapi ..." dirinya mencoba bersikeras, walau lututnya ikut gemetar hebat. Semua yang ada dalam kotak-ransel di punggung adalah sisa harta yang menentukan masa depannya sebagai pedagang keliling. Seorang pedagang yang tak punya modal sama saja dengan mati.

Sejujurnya, dia mengira mereka akan benar-benar tamat hari itu. Setelah ditipu rombongan petualang yang seharusnya menjadi pengawal perjalanan, tetapi malah kabur segera setelah menerima bayaran di awal. Kemudian para penipu itu membuat marah gorila raksasa yang biasanya cukup cerdas untuk menjauhi pengembara, membuat lelaki itu dan teman seperjalanannya harus melintasi hutan dengan terbirit-birit.

Gorila raksasa yang masih murka sudah sangat dekat. Monster itu melampiaskan kekesalannya dengan menghantam tanah, untung gadis Halfling itu masih cukup lincah untuk menghindar. Lelaki yang belum mampu menjejak hanya bisa melihat dengan wajah pias, retakan dan serpihan tanah keras yang mungkin akan jadi bagian dari tubuh mereka tak lama lagi.

Kemudian di antara raungan murka gorila raksasa dan teriakan putus asa mereka berdua, berdiri seorang kesatria muda. Sosoknya terlihat lebih agung dan gagah dalam jubah petualang yang menyisakan kibar dari gerak mendadaknya yang di luar kecepatan manusia normal.

Dengan tombak yang bilahnya berpendar pucat di salah satu tangan dan perisai bundar di tangan lain, tanpa secuil rasa gentar pun sang Kesatria bergeming, menghadang monster yang sedang mengancam dengan berdiri tegak pada kedua kaki belakangnya. Monster itu mulai memukul-mukul dada dan melolong lebih kencang, membuat secuil nyali yang tersisa pada si Pedagang menguap sementara gadis Halfling rekannya membeku ketakutan.

Ketika mereka berdua mengira akan menyaksikan pertarungan akbar antar sang Kesatria Muda dengan gorila raksasa, monster itu tiba-tiba menciut. Tidak benar-benar mengecil, hanya turun dan kembali bertopang pada keempat kakinya saja, sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka.

Butuh waktu hingga monster itu betul-betul tak lagi tampak karena sudah jauh masuk ke dalam hutan, baru dia merasa cukup tenang untuk menghela napas lega. Berbeda dengan dirinya yang masih merasa terlalu lemas untuk kembali menjejakkan kaki, gadis mungil teman seperjalanannya malah memekik penuh semangat.

"Gilaaa!!! Luar biasa! Tadi kau terlihat seperti seorang Hero, pahlawan yang muncul dalam kisah legenda!" adalah salah satu kalimat pujian yang tanpa segan dilontarkan gadis itu.

Serbuan rasa lega dan kagum yang amat sangat, mengaburkan pandangannya. Mungkin juga karena sosok berambut perak, langsing, dan rupawan yang membantu lelaki itu bangkit, mengalihkan perhatian dirinya. Tidak setiap saat pedagang biasa seperti dirinya bisa bertemu dengan keturunan kaum Fae walau hanya mewarisi setengah darah saja.

"Aku Robina. Robina Goodfellow. Panggil saja aku Bee. Seorang troubadour, seniman pengembara yang bernyanyi dan menyampaikan puisi ... Sedangkan si Cungkring ini pedagang yang bernama Antonio, tapi aku memanggilnya Tonio." Bee, teman seperjalanannya yang dengan cepat mendapatkan kembali semangatnya, memperkenalkan diri dengan ceria.

Terwakili oleh keceriaan Bee, Antonio hanya menambahkan sedikit apa yang belum dijelaskan gadis Halfling itu, sekaligus menyampaikan rasa terimakasihnya pada sang Kesatria Muda dan sosok menawan yang ternyata adalah seorang pemuda half-elf bernama Meneldor.

"William G. Marryblood," Kesatria muda itu menyebut nama dengan gestur salam yang sepertinya layak dilakukan oleh kaum bangsawan tetapi agak berbeda dengan yang biasa dilihat Antonio. Ada kesan antik dan kuno dalam gerak-gerik dan tutur katanya.

Kesatria muda yang ternyata juga seorang Priest dari Dewi Lentera dan Reinkarnasi, Gracefeel, itu sangat ramah dan rendah hati. Dengan senyum tulus yang sering mengembang, tanpa segan-segan dia akan segera menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk menggunakan berkat miliknya untuk menyembuhkan siapa saja secara cuma-cuma.

Antonio tak menyangka bisa mendapatkan kembali modal dagang dengan mendompleng praktek penyembuhan gratis William, dibantu musik yang dimainkan oleh Bee. Mereka bahkan bisa tiba di kota tujuan, Whitesail, tanpa khawatir berkat pengawalan William dan Meneldor—half-elf berambut keperakan itu memberi syarat Antonio harus memperkenalkan mereka pada orang yang mau membeli barang-barang hasil penjelajahan dengan harga bagus dan tempat membeli hewan ternak yang terpercaya.

Sungguh hal sepele dibandingkan rentetan keuntungan yang didapat oleh Antonio dan Bee sejak bertemu dengan keduanya. Mereka bahkan mendapat tempat menginap gratis di lingkungan katedral kota berkat koneksi yang baru saja didapat William.

Antonio sedang sangat puas, kedatangannya dan Bee ke Whitesails kali itu berjalan mulus. Sempat terbayang segala kemudahan yang mungkin bisa didapat olehnya di masa depan bila terus mengikuti sepak-terjang sang Kesatria Muda. Namun pikiran itu cepat-cepat dienyahkan, karena terasa tak patut terus-terusan mendompleng.

Kemudian Kesatria Muda yang baik hati dan ramah itu memiting leher seekor Wyvern–sejenis naga bersayap, di hadapan banyak orang termasuk Antonio dan Bee. Walau sepertinya Meneldor juga turut andil dengan panah dan sihir roh alam khas kaum Elf-nya, tetapi yang mematahkan leher kadal terbang raksasa seorang diri adalah William.

Sungguh pemandangan yang mengacaukan persepsi. Bagaimana seorang pemuda belia berpostur sedang, bisa membunuh makhluk sejenis naga dengan tangan kosong. Setidaknya bila Kesatria Muda itu bersosok tinggi kekar, layaknya patung pahlawan, mungkin Antonio bisa sedikit memahami kekuatannya.

"Walau sering terlihat bengong, tapi Will memang sekuat itu," begitu penjelasan singkat dan agak asal-asalan dari Meneldor.

"Wah, biarpun bengong masih bisa diandalkan!" komentar Bee dengan riang. Sepertinya karena mendapat banyak ilham syair bagus dari berbagai aksi William.

Namun Antonio tidak berpendapat demikian. Ada sesuatu yang aneh pada William. Memang bukan hal yang buruk, hanya saja terasa tak wajar. Bahkan Meneldor yang setengah Elf—kaum yang dikatakan keturunan Fae, makhluk nirwana, terlihat lebih manusiawi di mata Antonio. Tidak bisa tidak, dia mulai merasakan ketakutan pada sosok Kesatria Muda yang kemudian mendapat gelar Faraway Paladin itu.

Tentu saja pengalamannya berdagang membuatnya tetap ramah dan dengan senang hati menerima permintaan William untuk membantu urusan pengadaan barang. Bisnis adalah bisnis. Dan bisnis dengan pahlawan muda, termasuk bisnis yang bagus di matanya, asalkan tidak membuat monster berwajah ramah itu murka.

Dan monster berwajah ramah itu murka.

Tidak. Mungkin kata 'murka' kurang tepat. Tidak ada amarah yang ditujukan dengan gamblang seperti saat gorila raksasa mengamuk mengejar mereka. Tidak ada kebrutalan yang memporak-porandakan sekeliling.

William hanya termangu ketika Bee meluapkan rasa kecewanya karena Meneldor sempat terluka sangat parah pada patroli terakhir mereka. Antonio buru-buru menghentikan gadis bertubuh mungil itu, tetapi Bee sempat mengucapkan hal yang membuat sang Kesatria Muda terpekur beberapa saat sebelum kemudian menyunggingkan senyum yang seketika membuat rambut halus di tengkuk mereka meremang.

"Banyak terimakasih," ucapnya dengan intonasi yang tenang. "Berkat kalian berdua sekarang diri ini paham."

Belum pernah Antonio setakut itu pada senyum seseorang. Dari genggaman erat Bee pada lengan bajunya, gadis itu juga pasti merasakan hal serupa. Gemetar, gadis itu berusaha meminta maaf dan memanggil nama William berkali-kali tetapi sang pemuda terus berlalu.

Insiden hari itu berakhir dengan Meneldor sendiri yang pergi menyusul setelah pulih. Entah apa yang terjadi, mereka berdua pulang dengan penampilan berantakan dan wajah babak-belur. Namun kesan dingin dan berat sudah sirna dari ekspresi William, kembali pada wajah ramah dan ekspresi yang—menurut Bee, sedikit culun.

"Penyakit orang tangguh," gerutu Reystov, pemimpin tim petualang yang direkrut oleh William. Disambut komentar-komentar senada dari anggota tim yang lain.

Antonio melihat bagaimana sang Kesatria Muda dikelilingi oleh semua anggota tim, menerima komentar, nasehat, bahkan toyoran tak sopan sebagai balasan atas keputusan gegabahnya. Semua diterima dengan cengiran lebar. Untuk kali pertama sejak bertemu, Antonio akhirnya melihat William sebagai seorang remaja lelaki biasa.

Pada akhirnya sang Paladin dan para petualang sukses mengalahkan semua demon dan makhluk buas yang tersisa di berbagai penjuru hutan Selatan, termasuk Jendral para demon. Mereka kembali ke Kota Whitesails untuk melaporkan dan merayakan keberhasilan.

Bee menari, bernyanyi, dan bermain musik untuk memeriahkan suasana. Semua anggota tim, termasuk pedagang dan para priest turut serta. Makanan lezat dan berbagai jenis minuman dibagikan cuma-cuma. Semua bersenang-senang dengan caranya masing-masing, hingga tak menyadari bahwa sang Paladin, pahlawan muda yang mengalahkan Wyvern, Chimaera, dan Jendral demon, mendapatkan bentuk penghargaan lain dari rekan yang lebih senior dari dirinya.

Sebuah tepukan lembut di kepala.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top