Setengah Tahun

Setengah Tahun

Ann berjalan membelah lautan manusia dengan punggung menonjol dan bahu menurun. Wanita itu sudah tidak peduli lagi dengan tatapan penuh iba orang-orang. Memang benar setengah tahun lalu tatapan mereka mengganggu, tetapi sekarang rasanya lebih seperti angin lalu, tugas-tugasnya lebih mengerikan daripada tatapan mereka. Semua orang tahu Ann si Sekretaris Direktur C selalu datang paling rajin dan pulang paling telat, paling rapi dan paling berantakan juga. Namun, di balik semua itu, ia merupakan karyawan yang dapat diandalkan.

Terkadang, Ann memimpikan dirinya kembali ke kursi kerjanya dulu di bagian pemasaran, tetapi waktu itu ia berpikir biarlah lelah asalkan uang mengalir deras. Yah, sekarang gajinya memang tinggi, tetapi mentalnya lama-lama terkikis, ditambah beban tuntutan orang-orangan Direktur C yang membuat kepalanya mau pecah kapan saja. Kini dirinya tinggal menunggu jarum yang akan memecahkan balon tersebut.

Ann mengembuskan napas keras-keras selagi jari telunjuknya menekan tombol pada vending machine di sudut lantai dua belas. Jam pada mesin menunjukkan pukul sembilan malam dan mulutnya sudah berdemo mendambakan minuman dingin nan segar sejak terakhir istirahat makan siang. Tanpa sadar ia memelototi barisan kaleng minuman pilihannya yang perlahan sedang ditekan dari belakang oleh mesin untuk menjatuhkan kaleng di depan.

Klak.

Kaleng hijau yang diintimidasi oleh Ann pun akhirnya jatuh, tangan Ann segera merogoh pintu kecil di bagian bawah mesin dan menarik kaleng dingin tersebut. Mungkin karena suhu tubuh Ann yang lebih tinggi, kalengnya terasa begitu dingin dan ditempelkanlah benda itu ke pipinya.

"Wah," bisik Ann. "Enak."

"Enak yang ini."

"Eh!?"

Tubuh Ann bergetar ketika sensasi dingin yang tidak dikenal menusuk belakang lehernya, segera ia berbalik dan mendapati seorang wanita (super) cantik berpenampilan (super) rapi tanpa sehelai rambut keluar dari sanggulnya, ia melengkungkan bibir membentuk senyum. Ann melihat sang wanita sembari menggosok leher.

Wanita cantik itu berucap, "Enak yang lemon." Ia mengangkat kaleng minuman berwarna kuning, menggoyang-goyangkannya beberapa kali.

"Enak yang lime." Ann membalas, alis terangkat. "Dan bukannya kau dipanggil dewan direksi tadi, Rin?"

Mereka bersandar pada dinding di sebelah vending machine. Karina membuka kaleng lalu meneguk cairan berperisa lemon di dalamnya. "Iya, bukan hal penting. Bos menyuruhku memilihkan jas mana yang lebih bagus untuk malam kencan Direktur A. Katanya kalau aku yang pilih, semuanya akan berjalan lancar."

"Wow." Ann berkomentar. Jarinya berusaha menarik pelatuk untuk membuka lubang di kaleng. "Mereka sebenarnya kerja tidak, sih?"

"Tidak tahu, tapi bosmu itu rajin sekali, ya."

Tik. Tik.

Ann menggangguk. "Iya, saking rajinnya aku juga kebanjiran tugas."

Tik. Tik. Tik.

Karina merebut kaleng dari tangan Ann. "Sini, ah!"

Crak.

"Wuooh, terima kasih Nona Karina!"

Sebelum Ann menerima kaleng minumannya kembali, sebuah kilauan ditangkap oleh matanya. Lantas Ann menyipitkan mata dan tak lama kemudian terbelalak. Terdapat cincin melingkar pada jari manis kiri Karina.

"Kau– kau akhirnya tunangan!?" seru Ann.

"SHH!" Dengan cepat Karina menutup mulut Ann. Kaleng kuning yang digenggamnya hampir terpeleset dari tangan. "Bisa kecilkan volume suaramu? Baru kau satu-satunya orang yang sadar."

Tidak mengindahkan permintaan Karina, Ann balik bertanya, "Sama cowokmu yang itu? Yang rambut ungu gelap itu!?"

"Hei!" Kini jari telunjuk Karina berciuman dengan bibir Ann. "Iya, sama dia. Sekarang diam dulu!"

Ann mengangguk dengan mata berbinar.

Untuk masalah pertunangan ini, Karina tidak tanggung-tanggung menyampaikan cerita penuhnya terhadap Ann. Semuanya sangat detail sampai-sampai Ann dibuat ikut salah tingkah. Namun, menit demi menit berlalu, isi kaleng terkuras, dan rasa iri pun timbul di hari Ann. Bagi wanita yang akan menginjak usia tiga puluh dua tahun bulan depan ini, Ann tidak punya banyak pengalaman cinta. Paling jauh cuma hubungan tanpa status yang dijalaninya setengah tahun lalu sebelum naik jabatan.

"Direktur D akhirnya setuju dengan pertunangan kalian? Buat apa kau perlu– oh, benar juga ... aku lupa." Ann manggut-manggut sembari meneguk minum berusaha memusnahkan rasa iri.

Direktur D adalah bos sekaligus ayah Karina. Lebih tepatnya, ayah angkat. Hebat juga kekuatan orang dalam. Namun, untungnya tidak banyak yang tahu, bisa-bisa hancur sudah image Karina.

Pada akhirnya, pikiran Ann melabuh tinggi pada langit malam selepas hujan, tidak bisa dibilang sudah berhenti juga karena rintik-rintik sisa hujan deras masih turun. Wanita itu telah meninggalkan gedung kantor lalu mengantongkan ponsel di saku jas, cahayanya tak lagi menyorot wajah muramnya. Walaupun malam tak berperasaan, kota tetap bersinar dan tak pernah padam seperti mengejek kehidupan kerja Ann si Sekretaris Direktur C yang memuakkan. Kantong plastik di tangan kirinya berkeresek tertawa.

Melangkah saja sudah membuat Ann lelah. Lagi dan lagi hari berganti menginjak-injak kehidupannya yang stagnan.

"Kak Ann!"

Salah satu orang paling bersemangat di kantor? Ann rasa kepribadian yang ditampilkannya di kantor hanya topeng belaka, ia tidak mau dicap buruk, terlebih sekarang ia bukan lagi karyawan biasa.

"Kak Annnn!"

Sekarang Ann adalah sekretaris seorang petinggi.

"KAK ANN, ASTAGA!"

"Hah?"

Belum sempat Ann berbalik, sepasang lengan kurus memeluk sang wanita dari belakang. Ann menyentuh tangan itu, ia kenal dengan lengan baju yang digunakan oleh si pemeluk.

"Rhea, jangan mengagetkanku– loh, bocah sepertimu kok di luar malam-malam!?"

Ann membalikkan tubuh, kepalanya menunduk. "Aku baru mau pulang. Kau tahu kan, bahaya malam di perkota– eh?"

"Halo." Suara lain–terdengar berat–menyapa wanita tersebut, arahnya dari atas.

"Tenang saja, aku bawa orang!" ucap Rhea tertawa bernada jahil.

Ann tidak bisa melihat orang tinggi di belakang Rhea dengan jelas, tetapi Ann tahu ia sangat tinggi dan tubuhnya menghalangi cahaya lampu jalan beberapa langkah dari tempat mereka berdiri. Segera sang wanita mendongak, takut jika Rhea dihipnotis orang jahat atau dijebak oleh orang tidak dikenal. Berita seperti itu tengah ramai akhir-akhir ini.

"Siapa...?" Kedua mata Ann menyipit.

"Halo, Ann." Orang yang disembunyikan bayangan itu menyapa lagi. Kini sebuah suara lembut menggelitik telinga Ann, berbeda dengan yang awal.

Sepertinya Ann kenal suaranya ... tidak, sudah sepatutnya Ann tahu suara ini.

"Oh!" pekik wanita tersebut. "Tidak mungkin."

Pria itu kembali setelah setengah tahun.

***

Rhea memiliki keluarga yang tidak normal. Ayah Rhea tidak pernah kembali dari dinas dan ibunya sibuk berpacaran dengan pria lain. Kebenaran terungkap ketika sang gadis menduduki bangku SMA–kedua orang tuanya sudah berpisah sejak tiga tahun lalu dan tidak ada yang mau mengaku, padahal Rhea tidak akan menangis atau marah. Kecewa? Mungkin, dan bagian menyedihkannya, ibu Rhea dibunuh oleh pacarnya sendiri.

Bagi gadis terpolos dan termanis yang pernah Olivier temui, hati pria itu hancur mendengar tangisan Rhea dan rentetan ucapan dari semua kekesalannya yang telah dipendam selama setahun setelah kematian ibunya di ruang unit kesehatan sekolah. Olivier bukan penjaga tetap di sana dan sang pria akan segera kembali ke rumah sakit sehingga ia membulatkan tekad untuk mengadopsi anak yang baru ia kenal dalam dua bulan itu.

Bagi Rhea, Olivier adalah anugerah yang sangat didambakan olehnya. Sebelumnya, gadis tersebut mengira seorang wanita bernama Ann akan mengadopsinya, tetapi wanita itu tak kunjung merealisasikan keinginannya sampai pada akhirnya Olivier berlari mengetuk pintu dan mengucapkan lantang-lantang, "saya ingin mengadopsi anak" kepada ibu panti.

Maksud hati Ann ingin mengadopsi Rhea karena dahulu hidupnya terlalu monoton, tidak punya pasangan yang cocok–keterampilan minus dalam percintaan. Kata rekan kerja Ann, memiliki anak membuat hidup mereka lebih berwarna, hal tersebut membuat Ann tertarik untuk memiliki anak. Ia mencari panti asuhan terdekat dan berkenalan dengan Rhea yang bersinar seperti bintang. Sayangnya beberapa hari setelah mereka bertemu, ia naik jabatan, kata santai pun terhapus dari kamus hidupnya. Jika sang wanita mengadopsi Rhea saat itu, ia takut Rhea jadi tidak terurus, ia takut menjadi ibu yang tidak baik bagi Rhea.

Begitu mendengar sudah ada orang lain yang akan mengadopsi Rhea–gadis itu sendiri yang bilang, Ann jadi lega, tetapi iri juga. Rhea ingin mereka tidak memutuskan komunikasi dan sang gadis sudah berbicara dengan Olivier supaya Ann dapat terus bertemu dengannya. Di sisi baik, kehidupan Rhea naik drastis penuh kebahagiaan dan dikelilingi oleh teman-teman baik, lalu Ann bertemu dengan Olivier, pria yang sempurna di mata Ann. Namun, setengah tahun berlalu dan tiba-tiba Olivier berkata bahwa dirinya harus pergi ke luar kota untuk penelitian yang dibiayai pemerintah, menitipkan Rhea kepada Ann.

Awalnya, Ann sedikit keberatan, kemudian tertawa karena rasanya mereka seperti pasangan saja yang berbagi waktu mengasuh anak. Jujur saja, rasa tersebut tidak buruk. Kini sudah setengah tahun Ann mengurus Rhea walaupun penuh permintaan maaf ketika dirinya pulang terlalu malam atau tidak bisa menghadiri acara sekolah.

***

"Vi, kau tidak bilang hari ini akan kembali!" Ann menepuk-nepuk pucuk kepala Rhea dalam dekapannya.

Olivier tertawa. Sudah lama Ann tidak mendengar suara sang pria secara langsung, jantungnya berdesir. "Aku sudah kembali dari kemarin."

"Kok tidak pulang? Dari tanggal satu dia sudah menunggumu, kan kau bilang akan kembali bulan ini."

"Aku menginap di hotel."

"Kenapa?"

Oliver menyentil dahi Ann. "Mau tahu saja."

Ann mengaduh walaupun sentilan tadi tidak terasa sakit sedikit pun.

Mereka sudah terlalu lama berdiri di sana tanpa sadar gerimis kecil sebelumnya ternyata bertambah deras, sepertinya hujan akan turun lagi mengingat cuaca bulan ini sedang kacau. Olivier menyentuh pundak kiri Ann dan Rhya beberapa detik lalu melangkah melewati mereka.

"Aku yakin kau belum makan malam," ucap Olivier.

Dua orang di belakang Olivier melangkah mengikutinya, tangan kanan Ann menggandeng Rhya. Sang wanita menatap punggung Olivier selagi mereka berbincang. "Iya ...."

"Ayo makan di hotel."

"Oke."

"Jangan terlalu sering minum yang manis-manis."

"Sejak kapan kau mengambil kantong plastik minuman kalengku?"

"Kau harus lebih sering memanjakan diri. Mulai hari ini aku akan memanjakanmu."

"Hah?"

Kalimat terakhir Olivier maksudnya apa!?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top