Cabang Hati di Garis Waktu

Aku memandangi bagaimana air-air yang tenang memantulkan cahaya jingga yang menyinari mataku dengan terangnya yang teduh. Aku sempat menyukai tempat ini, dulu sekali, sebelum danau ini menjadi wisata kenangan yang selalu membawa sakit hati tiap kali aku mengenang masa-masa indahku, yang berakhir tragis.

Alex, aku dan dia sering bermain di sini. Kami sama-sama menyukai wisata alam, dan ini adalah tempat cinta kami berlabuh pada masa sekolah dulu. Dan belakangan, dia kembali menghubungiku setelah sekian lama berpisah. Awalnya aku bahkan tidak ingin menggubrisnya, karena sakit yang telah dia torehkan kepadaku. Hanya saja, usahanya yang begitu gigih membuatku luluh, setidaknya untuk sekadar mengiyakan permintaannya untuk bertemu, hari ini, di danau ini.

Suara langkah kaki yang lembut terdengar membuatku berbalik, di hadapan mataku, Alex datang dengan senyum yang sangat bahagia. Mata kami bertemu pandang, aku bersumpah matanya berbinar-binar, dan dalam momen itulah perasaanku kacau; ada rindu yang ditutupi rasa yang sangat menyakitkan.

"Apa kabar, Maya?" Dia duduk di sampingku.

Aku masih terdiam canggung, tanganku sedikit bergetar, dan aku berdeham. "Baik, Alex," ucapku, "Ada apa?" tanyaku, langsung kepada intinya. Aku tidak mau percakapan ini berlangsung terlalu lama. Selain itu, aku juga sedang dekat dengan seorang teman fotografer yang bernama Liam, dia menyukaiku, tetapi aku masih belum yakin dengan diriku sendiri. Semua karena hatiku yang masih sakit karena Alex.

"Sifat ketus kamu belum hilang, huh?" Dia tersenyum melihatku. "Aku bawakan hadiah," ucapnya sembari memberikan sebuah bunga matahari, bunga favoritku. Aku berusaha keras menahan rasa senangku.

Setelah itu, entah sihir apa yang dikenakan Alex kepadaku, kami menjadi mengobrol tentang banyak hal. Dimulai dari kehidupan perkuliahan sampai candaan-candaan internal tentang hal yang sering kami lakukan bersama di sekolah dahulu. Aku sampai lupa kalau aku sedang berbicara dengan seseorang yang membuatku menangis setiap hari satu tahun yang lalu. Rasanya, aku seperti mengobrol dengan sahabat, rasa familiaritas yang kental membuatku nyaman begitu saja. Sampai percakapan tentang hubungan kami dulu terbuka, dan aku kembali terdiam dan merenung.

Aku kembali teringat saat Alex meninggalkanku, padahal aku memaafkannya setelah dia ketahuan mendekati perempuan lain. Tepat di saat memori itu muncul, dadaku kembali sesak, air mataku turun dan tanganku bergetar hebat. Alex panik, menanyakan keadaanku dan hendak memegang tanganku, aku menepisnya. Saat aku ingin beranjak pergi, dia menahanku dengan memegang lenganku.

"Sebentar, Maya, kumohon," katanya. Raut wajahnya menjadi sangat serius, dan matanya menatapku sangat dalam dan seperti penuh rasa bersalah.

Alex menceritakan tentang penyesalannya telah meninggalkanku dulu, dan bagaimana dia akan melakukan apa pun untuk memperbaikinya. Dia tidak meminta apa pun kepadaku, dia bilang dia hanya ingin menjelaskan agar setidaknya aku bisa memaafkannya. Aku tidak tahu harus berkata apa pun, karena aku bahkan tidak tahu apa aku bisa memaafkan pria itu. Namun, yang pasti, aku ingin segera pulang ke rumah.

"Aku pulang dulu, Alex," ucapku. Kemudian aku beranjak dan pulang ke rumah.

***

Sejak hari itu, Alex jadi lebih sering menghubungiku. Kami juga jadi lebih sering bertemu. Dia sering membawakanku hadiah dan mengajakku melukis, serta mengobrol. Ada rasa nyaman yang tidak bisa kujelaskan setiap kali aku dekat dengannya, dia membawa kenyamanan seperti sebuah rumah yang sudah lama aku tinggalkan. Semua kebiasaan yang sering kami lakukan, semua obrolan dan candaan, rasanya seperti kami sudah sangat familiar dan mengerti satu sama lain. Hanya saja, aku masih selalu sakit hati dan sering tiba-tiba emosional saat ingatan burukku tentang Alex muncul. Untungnya Alex tidak pernah mengeluh tentang itu, dan akan langsung memberiku waktu sendiri.

Di saat yang bersamaan aku tengah memikirkan tentang Alex, Liam yang sudah beberapa waktu mendekatiku kini semakin gencar mengajakku bertemu dan membawaku ke sebuah date. Aku juga nyaman bersama Liam, kami sama-sama menyukai fotografi, dan dia sangat sering memfotoku diam-diam; hasilnya selalu indah sampai pada poin aku akan mengagumi diriku sendiri.

Aku juga nyaman dengan Liam. Berbeda dengan Alex, Liam adalah sesuatu yang selalu membawaku ke tempat-tempat yang tidak pernah aku perkirakan. Dia penuh kejutan dan penuh petualangan. Selama ini, Liam adalah satu-satunya manusia yang bisa menjauhkan pikiranku dari memori tentang Alex.

Hari-hari berlalu dengan hidupku yang kini dipenuhi warna romansa oleh kedua pria tersebut. Namun, ada sebuah perasaan tidak tenang di hatiku. Aku tahu, pada akhirnya, akan ada masanya di saat aku harus memilih salah satu di antara mereka, dan pikiran tentang itu membuatku pusing, karena aku sendiri tidak mengerti tentang apa yang aku inginkan. Tidak bisakah semuanya berjalan seperti saat ini saja tanpa adanya keharusan untuk membuat ikatan?

Sampai pada suatu Sabtu malam, aku dan Alex makan di sebuah restoran di tengah kota. Suasananya sangat romantis dengan cahaya remang malam serta musik-musik santai di latar, Alex sedari tadi menatapku, membuatku sedikit gugup. Namun, aku tetap berusaha untuk mengobrol dengan kasual.

"May, aku mau ngomong," katanya.

"Ya ngomong aja kenapa," jawabku. Namun, aku menjadi agak sedikit takut melihat wajah seriusnya. "Ngomong apa, Lex?" tanyaku.

"Aku tahu, May, kamu pernah sakit gara-gara aku." Dia membuka pembicaraan. "Tapi aku bener-bener udah berubah, May, aku gak bakal nyakitin kamu lagi," katanya.

"May, aku tahu mungkin aku gak layak buat kamu maafin, dan aku ngerti itu. Tapi kamu harus tahu, kamu itu satu-satunya wanita yang bisa jadi rumahku, May."

Sesungguhnya, hati kecilku berkata yang sama. Alex benar-benar tempat singgah yang sangat nyaman, dan bisa disebut rumah. Aku juga yakin dengan perubahannya.

"Jadi, May, mau gak kamu kasih kita kesempatan lagi?"

Pertanyaan yang sedari awal kutakutkan akhirnya muncul. Aku seperti ditabrak oleh sebuah kenyataan yang begitu membingungkan. Seluruh jiwaku berlawanan, separuh hatiku yakin akan bahagia bersama Alex, separuhnya ada luka yang masih belum sembuh sepenuhnya. Keringat mengucur dari keningku, dan lidahku kelu.

"Lex, aku juga sebenernya–"

"Maya?" Tepat ketika aku ingin membuka suara, sebuah suara yang sangat kukenal muncul dari depan pintu, itu Liam yang sedang membawa gitar–dia sering diundang untuk bernyanyi di kafe. Matanya menatapku, kemudian melihat Alex.

"Li-Liam!"

"Ah, gak apa-apa, aku mau manggung. Maaf ganggu ya." Liam bergegas meninggalkanku, aku dapat melihat persis dirinya tadi. Senyumnya sangat dibuat-buat, serta jalannya sangat buru-buru.

"Siapa itu, May?" tanya Alex.

Aku beranjak dari tempat dudukku. "Sebentar, Lex." Kemudian aku mengejar Liam yang kini sedang berada di belakang panggung.

"Liam! Tunggu, bukan kayak gitu!" jelasku.

"Bukan kayak apa, May? Gak apa-apa kok," katanya, "kita emang bukan apa-apa, tapi kenapa gak bilang kalau lu udah punya pasangan?"

"Pasangan? Gak, dia bukan pasangan gue Liam! Dia Alex, yang dulu pernah gue ceritain."

"Oh, gitu ternyata." Mendengar itu, Liam menatapku sembari tersenyum. "May, lu gak bisa dapet dua-dua," katanya, "sana, cari kenyamanan lu sama Alex. Gue udah mundur, mulai sekarang, May. Ini yang terbaik buat lu."

"Manggung dulu gue." Liam naik ke panggung sembari memberi senyum sombong khasnya kepadaku.

Aku berjalan dengan lesu ke meja tempatku dengan Alex. Melihat wajah gelisah bercampur bingungnya.

"Jadi, kenapa May?"

Pelan-pelan, aku pun menceritakan tentang Liam, serta keseluruhan yang terjadi. Alex menjadi pendengar yang sangat baik seperti biasa. Dia seolah memahami apa yang aku rasakan.

"Aku minta maaf, Alex. Saat itu aku masih tidak tahu apa yang aku rasakan," kataku, aku menarik napas, "tapi sekarang semua sudah jelas. Aku mau–"

"May." Alex memegang tanganku. "Aku tetep bakal jadi orang dekat kamu," katanya, "tapi May, kamu belum sepenuhnya dengan pilihan kamu. Jangan dipaksakan."

***

Sejak malam itu, aku dan Alex menjadi sahabat yang sangat dekat, kami seperti dua teman kecil yang telah berteman selama bertahun-tahun. Sedangkan Liam, aku menjadi sangat canggung dengannya, walau kami masih mencoba berbicara dengan satu sama lain apabila bertemu secara tidak sengaja. Tanpa memikirkan masa depan atau masa laluku tentang cinta, aku menjadi lebih fokus, untuk menjadi diriku sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top