Perbatasan
Rurie membanting sebatang kayu ke tanah. "Masih jauh banget apa, De? Lo kalau mau ngajak camp yang bener, dong, masa kita udah jalan tiga jam belum nyampe juga?" gerutu perempuan berambut pendek di atas bahu itu.
"Iya, gue udah nggak kuat lagi. Sekarang kita ada di mana, sih?" timpal Nasti.
Mereka berdua selonjoran kaki di tanah. Aku menghela napas pendek, lalu ikut duduk di samping mereka.
"Bentarlah, sabar dulu," jawab Adra. Laki-laki itu sibuk mengikuti Deo yang terus mengutak-atik ponselnya.
"Eh, yah-yah! Kok, sinyalnya hilang, sih?" gumam Deo. Ia menggoyang-goyang ponselnya sembari berlarian. "Eh, Dra! Lihat HP lo, dong, sinyal gue tetiba nggak ada!"
"Mana ada! HP gue udah mati sedari tadi kehabisan baterai!" seru Adra dengan kesal.
Nasti melihat ponselnya. "Eh, beneran hilang, dong, sinyalnya. Coba lihat punya kalian!"
Kami semua mengecek ponsel masing-masing, melihat keberadaan sinyal. Dan benar, tidak ada sinyal sama sekali.
"Terus, gimana, dong?"
Kali ini, aku dan kelima temanku merealisasikan rencana camping yang sudah lama hanya menjadi wacana. Deo yang memimpin jalan sedari tadi, berpatok pada google maps. Katanya, dia sudah pernah datang ke tempat yang akan kita tuju, tetapi sudah lupa jalannya. Lalu, kali ini, kami kehilangan sinyal untuk mengakses google maps.
"Tenang, Guys, gue bakal pimpin jalan. Keknya ini kurang bentar lagi bakal nyampe." Deo mengajak kami untuk kembali berjalan mengikutinya.
Akhirnya, kami mengikuti Deo dari belakang tanpa banyak menggerutu lagi. Melewati pepohonan tinggi yang semakin lama semakin lebat. Suasana hutan terasa dingin dan sepi. Tidak ada suara lain selain hewan-hewan kecil dan rerumputan yang kami injak.
Hingga sampailah kami pada sebuah pagar kawat lumayan tinggi dan lebar. Bahkan, kami tidak bisa melihat ujungnya sampai mana pagar itu melingkar. Bukan hanya karena suasana yang semakin gelap, tetapi juga karena saking lebarnya.
"Lah, kita lewat mana, nih? Jalan buntu?" Adra menceletuk.
Seketika kami sama-sama terdiam dengan kata 'buntu'. Seperti akan menjadi akhir dari perjalanan kali ini, sia-sia saja. Terlebih terdapat tulisan 'danger' di pagar itu yang semakin membuat semangat kami luntur.
Deo mendekati pagar kawat itu, mencari cara untuk memasuki area yang dipagari.
"Mending kita pulang, sih," usul Enzi yang sedari tadi hanya diam saja, langsung disetujui oleh Rurie.
"Setuju!"
"Kita udah sejauh ini dan kalian mau menyerah cuma gara-gara pagar kawat ini? Kalian ini niat nggak, sih?" tanya Nasti dengan sedikit emosi pada nadanya.
Jelas saja perempuan itu marah. Kami berenam sudah bersahabat sejak SMA dan jarang sekali bisa keluar bersama seperti ini. Ketika membuat rencana keluar, jalan, atau sekadar main pun selalu tidak bisa lengkap berenam. Mungkin baru kali ini, setelah kami semua lulus kuliah, bisa mewujudkan acara yang selalu tertunda ini.
"Ya, lo lihat sendiri itu ada tulisan danger! Lebih baik mencegah, 'kan, daripada mengobati?!" Rurie tidak mau kalah.
"Sok banget, giliran diajak main aja banyak alasan," gumam Nasti yang masih bisa didengar Rurie.
"Eh, gue emang lagi sibuk! Dunia nggak berputar di lo doang kali!"
"Udah-udah, kalian ini malah tengkar." Aku menghentikan perdebatan mereka.
"Iya, ingat, kita lagi di hutan, jangan ngomong keras-keras," sambung Enzi.
Bug!
Suara gedebug keras diiringi teriakan Adra mengalihkan perhatian kami. Perdebatan yang hampir dimulai lagi pun tidak jadi.
"Eh, lo ngapain, De?!" teriak Adra.
Deo baru saja memanjat pagar kawat itu dan kini sudah berada di sisi lain hutan. "Ayo, kalian ikut, nggak?" tanyanya dengan sangat percaya diri.
Mau tidak mau, kami mengikuti laki-laki itu. Menaiki pagar berkawat itu satu per satu. Meskipun kawatnya sudah berkarat, tetapi masih kuat menopang berat kami.
Hingga ketika sudah berada di sisi lain hutan itu, suasana berubah sama sekali. Suhu dingin menusuk kulit, rerumputan setinggi paha, dan suara yang semakin hening. Seolah tempat ini bukanlah bagian dari hutan tadi.
Kami terus berjalan menyusuri hutan itu, mencari keberadaan jalan setapak yang tidak kunjung ada. Sekitar dua puluh menit kemudian, sampailah kami pada hutan yang tidak selebat tadi. Rerumputan mulai hilang, lebih terlihat pernah dijamah. Namun, suhu semakin mencekam, hari semakin gelap, hanya diterangi cahaya rembulan di balik awan.
"Guys, kayaknya bentar lagi kita sampai ke pemukiman, deh," ujar Adra memecah suasana.
"Tapi, kok, agak serem, ya? Kek nggak ada suara sama sekali."
Hening.
Kami berhenti, saling pandang. Hening semakin lama semakin membuat telinga kami berdenging. Seperti ada sesuatu yang hendak menghampiri.
"AAAAAAAAAAAAA!"
Teriakan Rurie diikuti jari telunjuknya mengarah pada sesuatu di belakang kami. Sesuatu besar, berbulu, berwarna cokelat, taring yang berkilau, disertai dua bola mata merah.
"WEREWOLF! LARI!"
Kami berlari ke arah berlawanan. Serigala itu tidak hanya satu ekor. Mungkin akibat mendengar teriakan Rurie sehingga semakin banyak saja yang mengejar kami. Belasan? Tidak! Puluhan!
"AAAAAAA! TOLONGGGG!"
Kami menoleh bersamaan saat Nasti tertinggal di belakang akibat terjatuh. Namun, tidak ada yang bisa kami lakukan ketika serigala itu mendekat dan menarik tubuh Nasti.
Adra dan Deo maju bersama. Mereka berusaha menarik kedua tangan Nasti agar serigala itu melepas gigitannya pada baju perempuan itu. Namun, sia-sia saja karena seekor serigala lain ganti menarik mereka berdua. Bahkan, bukan hanya seekor, tiga tubuh sahabatku itu dibuat rebutan oleh mereka.
Kami bertiga tidak tahu harus bagaimana. Menolong pun tidak ada gunanya. Suara auman para serigala saling bersahutan. Seolah memanggil kawanannya untuk ikut bergabung.
Tubuhku bergetar hebat di pelukan Rurie. Perempuan itu juga sama terguncang. Air mata kami tidak bisa dibendung. Wajah Enzi pun memucat.
Para serigala semakin mengelilingi kami, mendekat dengan mengeluarkan suara buasnya.
"MAJU LO SEMUA! GUE NGGAK TAKUT SAMA KALIAN!"
Enzi sudah gila. Dia melepas tas carrier-nya, mengambil sebilah pisau dari dalam tas. Lalu, ia acungkan pisau itu ke arah para serigala dengan tangan bergetar.
Dalam sekali sentakan, dua ekor serigala menyeret tubuh Enzi. Laki-laki itu memberontak, tetapi tenaganya tidak lebih besar. Ia tetap saja kalah.
"Enzi ...," lirih Rurie.
Sementara kami fokus pada Enzi, serigala lain mendekat tanpa kami sadari. Meraih tubuh kami masing-masing, bersiap menelan santapan lezat malam hari ini.
"AAAAAAAAAAAAA!"
***
Mataku perlahan terbuka, sedikit buram menatap cahaya remang-remang. Kepalaku masih terasa sakit dan berat.
"Terbangun?" tanya seseorang dengan suara berat dan maskulin.
Sosok bertubuh tegap, berwajah tegas memesona tengah berada di hadapanku. Sepertinya aku sedang berbaring di atas kasur dan laki-laki itu duduk di samping kasur.
"Minum du—"
"Siapa kamu?!" tanyaku dengan cepat ketika menyadari ada yang salah. Sontak aku bangkit dengan cepat sehingga kepalaku terasa semakin sakit.
"Pelan-pelan," tegur laki-laki itu dengan suara tenang. Ia meletakkan kembali gelas di tangannya ke atas nakas.
Setelah sakit di kepalaku reda, aku melihat sekeliling. Tempat asing yang hanya ada penerangan dari lilin-lilin.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" tanyaku pelan. Aura tenang laki-laki itu seperti menyalur padaku.
"Kamu hampir saja dimakan oleh para rogue seperti teman-temanmu yang lain."
"Rogue?"
"Ya. Werewolf liar."
Ingatanku kembali pada malam menegangkan itu. Saat teman-temanku satu per satu diterkam oleh hewan buas mengerikan itu.
"Lalu, di mana teman-temanku?!" seruku panik.
"Sudah habis."
Apa maksudnya?
"Teman-temanmu mati dimakan para rogue. Aku sudah mengatakannya."
"Tidak mungkin! Mereka pasti masih hidup!" Tidak bisa. Aku tidak bisa masih hidup di sini sedangkan mereka sudah tiada. Kenapa aku bisa selamat sedangkan mereka tidak?
Laki-laki itu menghela napas.
"Lalu, kenapa aku masih hidup?"
"Karena aku menyelamatkanmu." Laki-laki itu menatapku intens. Tatapannya seolah menusuk tepat pada bola mataku, membuatku semakin mengkeret. Wajahnya yang hanya tersorot oleh cahaya lilin terlihat sedikit menakutkan.
"Kenapa kamu hanya menyelamatkanku? Kenapa kamu membiarkan teman-temanku mati?!" teriakku frustrasi bercampur panik.
"Tidak sempat. Karena kamu adalah mate-ku."
Aku tidak bisa mencerna kalimatnya. Tidak paham dengan apa yang dikatakannya.
"Kamu adalah mate-ku. Pasangan takdirku. Aku adalah seorang alpha, pemimpin werewolf dalam sebuah pack. Belum jelas juga?"
Masih tidak bisa kupahami. Tidak mungkin. Werewolf itu tidak nyata, hanya ada pada dongeng belaka. Namun, kali ini bahkan laki-laki itu menjelaskan kepadaku dengan sendirinya. Tidak, bisa saja dia bohong. Aku tidak bisa hanya duduk di sini mendengarkan dongeng laki-laki asing itu sementara teman-temanku sudah mati dimakan oleh para serigala.
Aku bangkit, lalu berjalan mencari jalan keluar.
"Mau ke mana?"
Napasku naik turun, tidak ingin menjawab pertanyaannya. Kubuka paksa pintu kayu di hadapanku, lalu berlari keluar.
Gemerlap cahaya dari obor dan lilin menghiasi tempat perumahan ini. Rumah-rumah berjajar di sekeliling.
Keberadaanku langsung mengalihkan perhatian semua orang. Mereka seperti mencium sesuatu dariku, langsung mengerubung.
Mau tidak percaya, aku melihat sendiri seekor serigala berjalan cepat ke arahku, lalu berubah wujud menjadi manusia. Tubuhku melemas, ambruk ke tanah yang langsung ditolong laki-laki tadi.
Jadi, ini adalah pack yang dimaksud laki-laki tadi?
Ingatanku kembali pada teman-temanku. Pada teriakan kesakitan mereka saat para serigala menerkam. Isak tangis tidak bisa kututupi. Aku kesal kenapa masih hidup.
Kutatap semua orang yang masih mengerubung. Lalu, berteriak, "AYO, MAKAN AKU JUGA! KENAPA KALIAN HANYA MEMAKAN TEMAN-TEMANKU?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top