Gurun Timur

Apa itu orang menyebutnya? Bahwa seolah-olah jarak satu kilometer dari tempatku saat ini, aku melihat sebuah oase. Air danaunya berkilat-kilat terkena pantulan cahaya matahari yang sangat terik. Sedangkan pepohonan di sekelilingnya, dengan dedaunan yang berayun tertiup angin sepoi terlihat sangat rindang untuk tempat berteduh di siang hari ini. Payah, otakku terlalu fokus pada tenggorokanku yang kering kerontang sampai tidak bisa mengingat istilah yang kumaksud.

Ah, benar. Fatamorgana. Hanya butuh satu kali kerjapan mata, semuanya menghilang.

Entah sudah berapa lama aku berjalan menyusuri gurun pasir seorang diri. Sampai-sampai, keempat telapak kakiku yang awalnya terasa asing dengan bulir-bulir pasir gurun, kini sudah sangat familiar dengan teksturnya. Saking lamanya, selain merasakan haus yang sangat, kini aku mulai linglung kehilangan arah mata angin. Sayangnya sejauh mata memandang, aku hanya bisa melihat gundukan pasir tanpa ada variasi apapun. Matahari sedang bersinar tepat di atas kepalaku, sehingga aku tidak bisa menentukan kemana aku berjalan.

Apakah aku sudah menempuh arah yang benar? Ataukah aku justru memutar balik menuju hutan.

Aku sudah banyak mendengar tentang berbagai mitos mengenai Gurun Timur yang diceritakan turun-temurun dan dari mulut ke mulut. Tandus, gersang, tanpa ampun, dan kejam. Itu yang selalu mereka katakan. Apakah aku mempercayainya? Tidak barang sejengkal kuku. Tidak ada satupun dari mereka, bahkan tetua kawanan, yang benar-benar pernah menjadi saksi hidup dari Gurun Timur. Mungkin, karena sudah lama sekali mengutuk mitos itu, Tuhan mengirim diriku sendiri sebagai saksi hidup kekejaman Gurun Timur.

Tidak, aku memang seharusnya ada di sini. Hanya saja, aku tidak seharusnya berkelana sendirian tanpa arah seperti yang saat ini aku lakukan. Kawananku, dua kawanku lebih tepatnya, seharusnya kami bertiga melewati Gurun Timur untuk sampai ke teritorial seberang. Tempat dimana para manusia berkelompok dan hidup. Bukan tanpa sebab kenapa kami harus meninggalkan Hutan Angin, tempat para werewolf tinggal, dan harus menyebrang ke teritorial lain. Sayangnya, untuk alasan genting ini, aku bahkan tidak dapat memberitahukan perihal tersebut kepada selain kedua kawanku.

Kedua kawanku yang hilang.

Atau, kedua kawan yang kehilangan diriku.

Malam tadi, kami baru saja keluar dari batas paling luar Hutan Angin ketika tiba-tiba saja sekawanan serigala dari kawanan lain menyerang kami tanpa aba-aba. Penyerangan semacam itu sangat terlarang bagi kaum werewolf penghuni Hutan Angin. Sehingga, memang tidak ada pilihan lain selain memberikan Pelajaran kepada para pecundang itu. Sayangnya, itulah awal mula kekacauan ini berlangsung.

Kami bertarung, tiga tawan lima. Malam itu bulan sedang purnama dan efeknya cukup fatal bagi para werewolf, sehingga kami bahkan bisa bertarung sampai pagi hari. Lima serigala, meskipun kami kalah jumlah, entah bagaimana mereka kalah kekuatan dari kami dan memutuskan untuk melarikan diri. Salah seorang kawanku sudah memperingatkan untuk membiarkan mereka kabur. Akan tetapi, aku yang bertugas untuk menjaga kawanan dari serangan kelompok serigala lain tidak bisa melakukannya. Sehingga, alih-alih mengindahkan peringatan kawanku, aku tetap bersikeras mengejar kelima serigala itu, menuju Gurun Timur.

Kemudian, kekacauan berikutnya pun tiba.

Badai gurun pasir datang.

Badai itu menihilkan penglihatan kami. Pada akhirnya aku sudah berseru kepada kedua kawanku untuk kembali ke Hutan Angin. Namun sayang, sudah terlambat, dan kami terpisah satu sama lain.

Matahari perlahan tergelincir ke barat, dan akhirnya aku bisa menemukan kembali arah mata angin dan berjalan menuju arah yang seharusnya aku tuju bersama ketiga kawanku. Beberapa kali aku kembali melihat fatamorgana, yang ketika aku kembali mengerjapkan mata, semuanya menghilang. Beberapa kali aku mencoba mengalihkan pandangan ke segala penjuru arah, kalau-kalau kedua kawanku terlihat badang hidungnya di suatu tempat. Berkali-kali keempat kakiku rasanya sudah mati rasa dan aku hampir jatuh tersungkur. Berkali-kali pula aku mengingatkan diriku sendiri untuk tetap fokus dan terjaga meskipun di bawah terik matahari ini tubuhku sangat tersiksa karenanya.

Ketika matahari semakin tergelincir ke barat dan langit sudah mulai berubah warna, saat itulah penglihatanku semakin terasa menipu. Sekonyong-konyong aku melihat dua sosok dari kejauhan. Bukan, bukan kawanku, melainkan dua orang manusia.

Haruskah aku merubah wujud?
Atau haruskah aku tetap menjadi serigala?

Kedua manusia itu terlihat sedang kepayahan, salah satunya berjalan menopang kepada manusia lain. Sesekali mereka berdua berhenti, terlihat mengamati ke segala penjuru, sama seperti yang aku lakukan sejak tadi. Kemudian, tanpa sengaja, akhirnya pandanganku berserobok dengan salah satu diantara keduanya.

Sial, untuk apa aku waspada.

Sejurus kemudian aku berlari kearah dua manusia tadi, masih dalam wujud serigala. Ketika aku sudah semakin mendekat, aku merubah wujudku menjadi manusia, sama seperti kedua kawanku yang kini sudah dalam wujud manusia. Sedikit terhuyung, aku berlari mendekat dengan kedua kakiku.

“Kalian baik-baik saja?” tanyaku pada keduanya.

Robin, kawanku yang masih lebih segar bugar, menggelengkan kepalanya pelan sembari melirik kea rah Henry. Henry menopang tubuhnya yang lemah pada Robin. Aku tidak melihat ada luka pada tubuhnya, syukurlah. Namun sepertinya ia terlalu kepayahan menghadapi sengatan matahari di Gurun Timur. Sehingga energinya sudah habis sehingga bahkan untuk berdiri sudah tidak sanggup.

“Kemari, Henry,” ujarku sembari membantu menopang tubuhnya bersama Robin.

“Aku tidak mati, tenang saja,” seloroh Henry. “Aku pikir, tadi kau yang sudah mati,” ujarnya lagi. Entah mencoba mencairkan suasana atau mencoba menghibur dirinya sendiri yang sudah sangat kepayahan.

“Oh, diamlah Henry,” sahutku, sambal membantunya berdiri untuk kembali berjalan. “Bisakah kau berdiri? Atau haruskah aku kembali ke wujud serigala dan membawamu di punggungku?” tanyaku.

“Jangan konyol. Kita sudah dekat dengan Vasturias. Jika mereka melihat ada dua manusia dan satu serigala, mereka tidak akan segan-segan membunuh kita di tempat,” kata Henry.

“Omong-omong, kau baik-baik saja, Arthur?” tanya Robin.

“Aku? Kalian tidak lihat aku berlari seperti apa saat melihat kalian berdua berjalan dengan menyedihkan di tengah-tengah gurun pasir?”

Henry menanggapi dengan tawaan cemooh.

“Kalau saja aku bisa menggerakkan salah satu kedua tanganku, lehermu sudah remuk,” ancam Henry padaku.

“Oh, aku menantikan itu saat kita kembali ke Hutan Angin.”

Selanjutnya, kami terus berjalan menuju arah timur menuju negara Vasturias tanpa bicara. Matahari sudah lama tenggelam, dan kini langit di atas kami sudah berubah menjadi gelap gulita secara total. Hawa yang tadi panas menusuk kulit kami, kini sudah berubah menjadi dingin yang sangat menusuk kulit. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, yang ada hanyalah fatamorgana-fatamorgana lain yang tentu saja akan hilang saat kami mengerjapkan mata. Robin sudah terlihat kepayahan, dan jangan tanyakan lagi Henry. Sudah sejak beberapa saat yang lalu kakinya diseret di atas pasir.

“Sial. Fatamorgana lagi,” desisku.

Aku mengerjap untuk menghilangkan bayang pohon di kejauhan. Namun, fatamorgana itu tidak hilang. Aku membatu sekilas, membuat Robin terjaga, dan menyadari apa yang aku lihat.

Rimbunan pohon, dan sedikit pantulan kilatan cahaya rembulan pada permukaan air. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top