Warung Soto Laris Manis

Kampungnya Lintang merupakan salah satu tempat yang paling ingin aku hindari semenjak menginjakkan kaki di sini. Baru kami sampai ke rumah ini sehari lalu, aku sudah uring-uringan. Aku bahkan telah merepotkan neneknya Lintang untuk mengeroki punggungku. Lintang bilang, mungkin karena kami baru saja menempuh perjalanan jauh dan perbedaan suhu yang cukup kontras antara tempat asal kami dan kampungnya. Aku bisa menerima alasan Lintang, masuk akal secara logika. Namun, jelas sekali yang kurasakan lebih dari itu.

Pemandangan yang kudapatkan di sini—selain pemandangan alamnya—benar-benar mengerikan. Ada yang bertubuh manusia dan berkepala babi, ada yang berkepala monyet, dan aku juga menemukan genderuwo. Makhluk-makhluk itu tidak hanya muncul pada malam hari, tetapi pada siang hari juga.

Ditilik dari cerita Lintang, praktek pesugihan memang masih kental di kampung ini. Tak hanya dilakukan oleh warga sekitar, orang yang tinggal di luar pulau pun berbondong-bondong untuk meraup kekayaan melalui serangkaian ritual-ritual. Bahkan konon katanya, beberapa orang terkaya di negeri ini pernah berkunjung ke sini sebelum masa jayanya—yah, meskipun kabar tersebut belum benar-benar terbukti kebenarannya.

Semua praktek klenik tersebut berpengaruh pada rupa penghuni yang ada di sini, tidak beraturan, abstrak.

Meski begitu, tetap ada sisi positif dari seluruh cerita mistis yang menyelimuti nama tempat ini, para warga yang masih bekerja secara halal ikut kecipratan rezeki berlimpah tiap kali musim liburan. Ada yang membuka warung makan, toko cenderamata, sampai membuka penginapan seperti di rumah neneknya Lintang.

Hari ini kondisiku sudah jauh lebih baik. Maka Lintang dan teman-teman lainnya mengajakku untuk ikut jalan-jalan siang ini, sekaligus cari makan siang. Siang ini cuacanya cukup cerah dan sukses mengurangi hawa dingin yang ada.

Kami berlima berjalan melewati jalanan menanjak serta tangga-tangga. Di atas sini lebih banyak yang membuka toko dan berjualan makanan. Karena sekarang liburan sekolah, maka tempat ini sedang ramai pengunjung.

Kami belok ke warung soto atas usul dari Laras, dingin-dingin memang enak makan yang berkuah, seperti itu katanya. Warung soto itu merupakan warung yang paling ramai pengunjung ketimbang yang lain. Bisa terlihat para pegawai yang sampai keteteran melayani pengunjung yang tak habis-habisnya.

"Lintang, di sini sotonya enak?" tanya Laras.

Lintang menjawab dengan suara yang dikecilkan, "Enakan buatan ibumu sih, Ras."

"Buatan Mbah Uti juga lebih enak," ujarnya lagi, masih dengan suara pelan.

Laras terkekeh. "Soto Ibu emang nggak ada duanya."

Beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya yang tengah hamil besar menghampiri dan membawa pesanan kami. Ia terlihat kelelahan dengan keringat yang bercucuran di dahinya dan membasahi kaus yang ia kenakan. Tentu saja ia lelah, bagaimana bisa seorang wanita yang sedang hamil besar masih melayani warung makan yang tengah diserbu pengunjung.

"Loh, Mbak Lintang." Sang wanita menyapa Lintang.

Gadis berambut panjang itu tersenyum ramah. "Iya, Bu, sama temen-temen nih."

"Ohh, iya, silakan, silakan." Wanita itu pergi meninggalkan kami bersama nampan yang ia bawa.

"Rin, kecap." Yusuf menyodorkan tangannya pada gadis yang duduk paling pojok dekat kecap, sambal, dan kerupuk itu.

Ririn kemudian memberikan sebotol kecap itu pada Yusuf. "Nih."

Sejak tadi aku sudah melahap semangkuk soto panas bersama nasi tersebut. Memang tak seenak soto daging yang disuguhkan neneknya Lintang saat kami baru datang kala itu, tapi lumayan untuk mengisi perutku yang tengah lapar.

Tiba-tiba, gerakan tanganku yang tengah menyendok terhenti karena sebuah perasaan ganjil.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitarku. Pemandangan di sekitarku biasa saja. Kerumunan-kerumunan orang yang bercengkerama, para pelayan yang silih berganti menyajikan makanan, serta tentu saja ada bayangan-bayangan putih yang berseliweran, mereka bukan masalah besar, hanya arwah biasa yang bahkan wujudnya hanya berupa asap tembus pandang.

Namun akhirnya, ada satu titik yang berhasil kutangkap dan amat menarik perhatianku. Ada sesosok makhluk tinggi besar berwarna hitam pekat yang berdiri di suatu sudut pojok warung. Wujudnya tak begitu jelas, hanya berupa asap hitam pekat, tak berbentuk tubuh manusia. Wajahnya pun tak terlihat, hanya kedua matanya yang menyala berwarna kemerahan. Meski begitu, ia tak sama dengan asap-asap putih transparan lainnya, keberadaannya jauh lebih kuat.

***

Malam harinya, neneknya Lintang menyuruh kami untuk beli mi goreng. Aku, Lintang, dan Ririn berjalan melewati gang di samping rumah neneknya Lintang.

Lintang menunjuk ke sebuah rumah dua lantai, rumah paling terang yang kulihat di gang ini. "Itu rumah yang jualan soto, kenal sama sama Mbah Uti, makanya tadi dapet diskon," ujarnya sambil terkekeh di ujung kalimat.

Rumah sang penjual soto hanya berbeda satu rumah dari tempat kami sehingga aku bisa mengintip ke dalam jendelanya. Rupanya istri sang pemilik warung sudah pulang dan tengah duduk berlunjur di sofa. Dan makhluk itu ... aku dapat melihatnya dari jarak yang lebih dekat. Wujudnya lebih berbentuk ketimbang sebelumnya. Kini yang kulihat bukan hanya asap hitam bermata merah. Tinggi tubuhnya hampir menyentuh langit-langit, tangan dan kakinya panjang, sekujur tubuhnya ditutupi bulu lebat berwarna hitam, dan matanya merah menyala. Dan mata dari genderuwo itu ... terus mengikuti gerak-gerik sang wanita hamil.

***

Hawa dingin yang ada membuatku terlelap lebih cepat dari biasanya di rumah. Di sini aku tidur rata-rata jam sembilan. Namun, entah mengapa hari ini aku terus terbangun di tengah-tengah tidurku. Hingga akhirnya aku terbangun untuk yang kesekian kalinya karena sebuah jeritan yang melengking.

Kali ini aku refleks bangkit dari posisi tidurku. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Ada Ririn yang juga terbangun.

"Inayah, denger nggak?" Ririn bertanya padaku dengan suara yang dipelankan.

Aku mengangguk cepat-cepat. "Iya, denger, Rin."

Kian lama, tak hanya teriakan yang terdengar, tetapi juga sebuah tangisan pilu. Suara wanita itu meraung-raung nelangsa. Kengerian menyergap dadaku, aku trauma dengan suara tangisan di tengah malam.

Tak berapa lama kemudian, seseorang membuka pintu kamar kami secara agresif. "Apaan tuh?!"

Rupanya itu adalah seorang laki-laki seumuran kami yang berkaus hitam dan bercelana pendek, yang tak lain dan tak bukan adalah Yusuf.

Seruan Yusuf membuat Laras dan Lintang yang masih tertidur pulas menjadi terbangun.

"Apaan sih?" ucap Laras sedikit sensi.

"Eh, kenapa tuh?!" Lintang buru-buru bangkit dari tidurnya begitu sadar apa yang tengah kami ributkan.

Saat Lintang memutuskan untuk turun dari kasur, aku ikut membuntuti di belakangnya. Ia keluar kamar, membuat gerombolan kami ikut keluar. Nenek dan kakeknya Lintang ikut turun. Kakeknya Lintang membuka pintu samping, menampakkan gang samping rumahnya. Rupanya orang-orang memang sudah berkumpul di depan, beberapa orang bertanya-tanya akan ada apakah gerangan.

Setelah kami menembus kerumunan, akhirnya kami temukan bahwa rumah dua lantai yang dominan berwarna putih dan sedikit biru, yang lampunya masih benderang meski pada dini hari seperti ini, adalah pusat dari seluruh perhatian orang-orang. Rumah sang penjual soto.

"Ada apa?" tanya Nenek Lintang pada salah satu wanita yang ikut berkerumun.

"Masih nggak tau ini, Bu," jawab wanita paruh baya itu.

Tak lama kemudian seorang wanita yang lain ke luar menghampiri wanita yang tadi ditanyai dan juga neneknya Lintang. Wanita yang baru saja masuk ke dalam teras rumah itu memelankan suaranya untuk memberitahu apa yang terjadi. Aku tak terlalu mengerti bahasa mereka, tapi kulihat dari ekspresi kedua orang yang diberi tahu, wajahnya menegang.

"Innalillahi!" seru neneknya Lintang, terdengar syok.

"Kok bisa?!" Wanita satunya yang ada di samping neneknya Lintang tak kalah terkejut.

Tiba-tiba seorang pria berusia kira-kira limapuluh tahunan membelah kerumunan, aku mundur merapat ke tembok. Seorang pria lainnya yang lebih muda berusia kira-kira tigapuluh tahunan mengendarai motor, membawa seorang wanita yang tak sadarkan diri dan remaja perempuan yang menangis sesenggukan itu tengah memegangi erat tubuh sang wanita.

Saat motornya melaju, aku menyadari satu hal yang amat aneh. Sang wanita yang tengah hamil besar itu ... perutnya kempes, rata seperti tak sedang hamil.

***

Peristiwa yang semalam tentu saja menjadi topik perbincangan favorit warga desa selama seharian ini. Lintang, Laras, dan Yusuf yang mengerti bahasa warga sini kemudian menerangkan soal desas-desus yang diberitakan tiap warga.

Jadi begini, tadi malam istri dari pemilik warung soto terbangun dari tidurnya dan histeris mendapati jabang bayi yang dikandungnya selama tujuh bulan raib tanpa sebab.

Ibu dari sang istri bercerita bahwa bayi yang dikandung itu telah dijadikan tumbal pesugihan genderuwo. Jauh sebelum mengandung anak kedua, kedua pasangan itu bertekad membangun warung soto, beberapa bulan pertama pemasukan masih sedikit hingga modal untuk sewa dan lain-lain menjadi kurang.

Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke seorang dukun yang berjanji bahwa dalam waktu satu purnama warung soto mereka akan ramai setiap hari dan pemasukan mereka akan terus melonjak naik.

Mengabaikan syarat berupa harus menyerahkan janin berusia tujuh bulan pada sesosok genderuwo, kedua pasangan yang silau akan iming-iming kekayaan duniawi itu akhirnya menerima tawaran sang dukun dan melakukan semua hal yang diperintahkan dukun tersebut.

Dan benar saja, dalam waktu satu purnama setelah melakukan semua ritual, warung soto milik mereka laris manis.

Tak sampai setengah tahun kemudian, mereka merenovasi rumah, membeli tanah, membeli mobil, dan perhiasan-perhiasan berlian. Atas pencapaian yang luar biasa itu hubungan keluarga mereka semakin harmonis. Pasangan suami-istri itu makin romantis dan akhirnya sepakat memiliki anak kedua.

Sayangnya, kini anak kedua yang mereka nanti-nanti selama belasan tahun tak akan pernah lahir ke dunia akibat ulah kedua orang tuanya yang gila harta.

Jalan menuju sukses memang tak pernah ada yang instan. Akan selalu ada konsekuensi jangka panjang yang didapat setelah bekerja sama dengan makhluk dunia seberang. Jika kau tidak mudah percaya dengan manusia lain, harusnya kau lebih tak percaya dengan makhluk yang wujudnya pun belum pernah engkau lihat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top