Sahabat Baik
Kata Mama, aku tidak boleh masuk rumah Nasti, sahabat sekaligus saudara sepupuku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Entah apa alasannya, tetapi sebisa mungkin aku harus menolak dengan alasan logis.
"Maaf, ya, Nas, lain kali aja. Aku harus belajar sama Kak Vidy buat ujian besok."
"Oh, gitu. Aku bo—"
"Aku duluan, ya! Udah ditungguin pasti. Dah!" Sebelum Nasti mengutarakan niatnya untuk ikut belajar bersamaku, aku segera berlalu.
Yang kedua, Mama bilang, aku tidak boleh membiarkan Nasti datang ke rumah kami.
Entah apa maksud Mama. Ingin sekali aku tahu, tetapi ketika kutanya, jawabannya selalu sama, "Udahlah, nurut aja! Enggak usah banyak tanya!"
Mau tanya lagi juga tidak akan ditanggapi kalau sudah seperti itu.
Padahal dahulu keluargaku dengan keluarga Nasti selalu bersama-sama. Selalu berdiskusi tentang masalah yang mereka hadapi masing-masing. Yah, sebenarnya sekarang pun masih sama. Hanya saja, aku merasa ada jarak di antara mereka.
Pulang sekolah kali ini, aku memang harus belajar, tetapi tentu saja istirahat lebih dahulu. Tiba-tiba aku merasa bersalah kepada Nasti. Kami sudah bersama-sama sejak kecil hingga masuk SMP yang sama. Saling datang ke rumah masing-masing, menganggap rumah sendiri. Namun, sejak kematian Nenek satu tahun lalu, kami tidak pernah saling datang lagi meski rumah kami terbatasi lima rumah tetangga.
Setelah istirahat dan makan, aku bersantai di depan televisi sembari membaca buku. Tiba-tiba seseorang masuk rumah sambil menyerukan namaku.
"Rurie! Mama Rurie, aku bawakan kue ubi hangat, nih!"
Sontak aku langsung berdiri dari baringanku. Mataku seketika melebar ketika melihat mamanya Nasti tengah berdiri di ambang pintu sembari membawa sepiring kue ubi.
Sementara aku masih terdiam mematung, Mama dari belakang datang tergopoh. Wajahnya seketika tersenyum manis menyambut hangat kue ubi yang dibawa Tante Alia.
"Makasih banyak, loh. Tumben bikin kue ubi? Beli di mana ubinya?"
"Kemarin adikku dari desa bawain lumayan banyak. Kalau mau masak sendiri, datang aja ke rumah, nanti tak kasih beberapa," jelas Tante Alia dengan wajah ramah.
Percakapan mereka terasa tidak ada masalah apa-apa. Mungkin hanya aku yang merasa kejanggalan ini. Mungkin sebenarnya memang tidak ada apa-apa. Aku terlalu over thinking seperti biasanya.
Setelah mengobrol basa-basi selama lima menit, Tante Alia segera pulang. Mama mengantar sampai pintu depan, lalu menutup pintunya lagi. Ia masuk lagi langsung ke dapur.
Aku segera mengikuti Mama dengan wajah sedikit penasaran. Napas Mama terlihat memburu, seperti baru berpapasan dengan hantu.
"Aku ambil satu, ya. Kayaknya enak masih hangat." Tanganku langsung meraih kue ubi yang diletakkan di atas meja makan itu. Namun, dengan cepat ditepis Mama.
"Jangan berani sentuh! Nanti Mama buatkan sendiri aja kalau beneran pengen."
Aku langsung cemberut, menggerutu kesal, lalu berjalan cepat menuju kamar.
***
Dua hari setelah mama Nasti datang ke rumahku membawa kue ubi, rumahku terasa kacau. Sampai seminggu setelahnya, Kak Vidy sakit demam parah. Ia kedinginan dengan suhu kamar hampir 30 derajat, tetapi keringat sebiji jagung mengucur di seluruh tubuhnya.
Sudah dibawa ke dokter dan hampir dirawat inap, tetapi belum juga sembuh. Hingga hari ketujuh, kakak perempuanku itu semakin pucat dan kurus. Mama dan Papa berkali-kali membawa Kak Vidy keluar dengan mobil. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas pasti masalah pengobatan.
Sedangkan aku hanya bisa menunggu kepulangan mereka di rumah sembari menonton kartun Spongebob.
Malam ini, setelah mereka pulang dengan Kak Vidy yang suhu tubuhnya menurun, aku mendengar pembicaraan Mama dan Papa. Bukan menguping, aku hanya tidak sengaja melihat pintu kamar mereka terbuka sedikit.
"Pokoknya kita harus sewa dukun yang lebih kuat lagi! Uang kita masih cukup, 'kan?"
Deg!
Aku merasa gugup sekaligus ketakutan saat Mama menyebut kata dukun. Sehingga kuputuskan untuk mendengar pembahasan mereka.
"Apa enggak percuma? Kita udah sewa lima dukun buat menyembuhkan Vidy! Kita tunggu dulu, lihat perkembangannya. Kalau malam ini Vidy sembuh, kita enggak perlu keluar uang lagi, 'kan?" Kini, Papa yang berkata.
Entah kenapa pembicaraan tentang dukun ini terasa tidak asing lagi bagi mereka, seperti sudah sangat biasa. Sedangkan aku masih berdiri kaku di depan pintu.
"Bukan itu maksudku, Pa. Kita udah tahu pelakunya, 'kan? Yang membuat Vidy sakit sampai seminggu ini udah jelas orangnya! Kita harus membalasnya!" tegas Mama dengan berapi-api. "Andai aja Vidy enggak makan kue ubi itu, mungkin dia enggak akan berakhir seperti ini."
Dadaku semakin terasa sesak mendengar fakta ini. Jadi, ternyata, selama ini Mama dan Papa bersekutu dengan dukun?
***
Karena jarak rumahku dan Nasti tidak terlalu jauh, berita tentang Kak Vidy yang sakit sampai didengar Nasti. Sahabatku itu titip salam kepadaku semoga Kak Vidy sembuh.
Setelah seminggu itu, Kak Vidy sudah sembuh total. Tentunya dengan bantuan dukun yang harganya lebih mahal. Namun, kini, ganti keluarga Nasti yang mengalami hal serupa. Mama dan papa Nasti mengalami sakit tanpa alasan yang jelas.
"Nas, katanya, mama sama papa kamu sakit, ya? Sakit apa? Semoga cepat sembuh, ya." Aku bertanya kepada Nasti ketika selesai kelas siang ini.
"Hah? Iya. Makasih," jawab Nasti tanpa senyuman seperti biasanya.
"Kita pulang bareng, 'kan?" tanyaku lagi agar Nasti mau berhenti dan menanggapiku.
"Enggak."
"Hah?" Jantungku berdetak lebih kencang setelah menyadari Nasti berubah. Ia sama sekali tidak tersenyum atau tertawa tengil seperti biasanya. Ia malah langsung berjalan terus tanpa menungguiku.
Segera aku membuntuti gadis itu. Hingga sampai di lantai bawah dekat lobi, akhirnya aku bisa menghentikan langkahnya.
"Nas, kenapa, sih?"
Nasti terlihat menghela napas gusar. "Apa?"
"Nas?" Ekspresiku berubah sendu saat menyadari gaya bicaranya berubah, seperti berbicara dengan orang yang tidak ingin ia ajak bicara. "Kita perlu cerita satu sama lain, 'kan?"
Nasti langsung membuang muka. "Enggak perlu."
"Oh, gitu, ya." Aku menunduk lesu, menatap lantai di depan sepatuku. "A-aku minta maaf, ya, atas semua salahku."
"Enggak perlu minta maaf juga. Lo enggak salah."
Aku terkekeh miris. "Kalau gitu, makasih atas semuanya selama ini."
"Hm. Makasih juga."
Setelah percakapan canggung itu, kami sama-sama pergi dari sana dengan arah berlawanan. Aku segera keluar dari sekolah untuk langsung pulang.
Kami sudah sama-sama tahu bahwa selama setahun terakhir, kedua orang tua kami berbeda. Mereka terlihat baik di depan, tetapi saling menusuk di belakang. Hanya karena warisan, kedua saudara kandung itu menyewa dukun untuk saling menjatuhkan.
Karena menunduk dan tidak memerhatikan jalan, beberapa kali aku menabrak bahu orang yang kutemui. Namun, sampai di rumah, kepalaku belum juga mendongak. Air mataku seakan tidak bisa dibendung, membuatku tidak kuasa untuk mendongak.
Rasanya sangat sakit. Sahabat yang selama ini selalu bersama, tiba-tiba harus berakhir seperti ini.
Ketika memasuki rumah, aku melihat keluargaku sedang lengkap. Barulah saat itu aku mendongak. "Ma, Pa, Rurie boleh minta satu hal? Kita pindah rumah, yuk, jauh dari sini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top