Villains

Jantung Ryan berhenti berdetak saat kabar itu menyelusup masuk ke dalam indra pendengarannya. Pupil pria itu mengecil, tangannya bergetar hebat, tak luput dari keringat yang membasahi permukaan telapak tangannya.

Emma ditemukan tak bernyawa di kamarnya, diduga karena kehabisan napas, polisi dan pihak rumah sakit tengah menyelidiki situasi itu. Ryan tahu Emma punya riwayat asma, tapi ia tidak menyangka nyawanya akan tercabut secepat itu. Ryan mengusap wajah pucatnya, kembali melanjutkan kegiatan sekolahnya, tapi ia tahu bahwa pikirannya tidak akan pernah bisa lari dari bayangan wajah Emma.

Terutama fakta bahwa mungkin dia orang terakhir (selain keluarganya) yang menemui Emma pada hari sebelum kematiannya, menambah perasaan frustasi. Baru saja mereka membahas soal fisika bersama kemarin malam di rumah Ryan, sebelum akhirnya ia dijemput pulang oleh ayahnya.

"Miss turut berduka cita." Miss Sarah menampilkan wajah penuh guratan kesedihan, suaranya terdengar lebih pelan dan lemah. "Semoga dia tenang berada di sisi-Nya. Sangat disayangkan. Emma adalah murid yang berbakat."

Kelas tetap dilanjutkan seperti biasa meski dilingkupi atmosfer suram. Emma adalah gadis populer yang disenangi banyak orang, primadona sekolah, dan berita ini menyayat hati banyak orang.

Terutama Ryan.

***

Ryan menghindari semua orang hari ini, memilih untuk duduk di pojok kelas sembari menatap kosong meja cokelat kelas.

Cahaya yang menyorot lewat jendela kelas tidak menambah atmosfer keceriaan. Suasana kelam sedari pagi, hampir semua orang tengah membicarakan gadis bermanik cokelat hazel itu.

"Aku penasaran, apa yang memicu penyakit Emma kambuh parah sampai tidak bisa dikontrol? "Bisikan itu terdengar sayup-sayup di antara keributan kelas, bel tanda istirahat baru saja berbunyi.

Kenapa mereka membahas kematian Emma di saat seperti ini ...?

Tanpa disadari, suhu tangan Ryan menurun, rasa dingin menjalar, menguasai raganya, kepalanya semakin sakit seakan-akan baru saja dihantam dengan batu.

"Bukannya Ryan menyukai Emma?" Salah satu bisikan itu membuat hatinya semakin ditusuk-tusuk oleh paku tak kasat mata.

Iya, aku sangat menyukainya, teramat sangat. Dan dia meninggalkanku karena ....

"Sepertinya begitu," gadis lain membalas, "lihat dia, wajahnya murung dan hanya menatap kosong daritadi, aku takut dia akan kerasukan."

"Berhenti bercanda." Ketua Kelas meninggikan nada bicaranya. "Kita sedang dalam suasana duka cita." Sorot matanya yang tajam membuat keduanya bungkam, beringsut-ingsut meninggalkan kelas.

"Nah, Ryan, kamu mau ke kantin bersama? Akan kutraktir es limun untuk mengembalikan suasana hatimu." Kevin, si ketua kelas tadi, menjulurkan tangan pada Ryan.

Senyap. Tidak ada suara yang beresonansi di antara kedua pemuda itu. Kevin yang tak berniat mengganggu langsung melambaikan tangan, meninggalkan Ryan dengan wajahnya yang pucat pasi, seperti tidak dialiri darah.

Kenangan mulai berputar di dalam benak Ryan. Gadis itu menguasai pikirannya secara utuh untuk sementara. Gambar demi gambar, suara demi suara, berputar non stop dalam benaknya.

Ryan, bagaimana rambutku? Cantik tidak?

Ia merapatkan giginya, alisnya saling bertautan.

Aku baru selesai menghias kuku, bagaimana menurutmu? Kamu suka?

Kedua tangannya mengepal erat sampai buku jarinya memutih, menimbulkan rasa nyeri.

Ryan, bagaimana bibirku? Kamu suka warna lip gloss-nya?

Brak!

Ryan memberi pukulan pada meja kayu, menimbulkan suara gaung di dalam kelas. Napasnya menderu, suara Emma benar-benar menguasai benaknya.

Kelas sepi. Hanya tersisa Ryan seorang. Awalnya begitu, sampai seorang gadis berkepang satu melangkahkan kaki perlahan menuju bangku yang tengah dihuni Kevin.

"Ry—"

"Kamu yang membunuhnya 'kan?" Mata Ryan menatap ganas, gadis tadi hanya membisu, asik mengesap lolipop, tidak ada ketakutan yang tersirat di dalam wajahnya. "Vanessa, jawab!"

Vanessa mendengus ringan. "Bukan."

Ryan bersumpah bahwa dia akan memukul Vanessa jika saja dia bukan perempuan. Kedua tangannya sudah terkepal erat sampai buku jarinya memutih.

"Seharusnya kamu marah pada dirimu sendiri." Vanessa menekan kata 'sendiri', tatapannya sama seperti tadi: datar, tanpa ekspresi.

Ryan menghela napas. "Kamu ... membenci Emma bukan?"

Kegiatan mengesap lolipop Vanessa terhenti, hening selama sepersekian detik. Vanesa memutar badannya, berjalan mengelilingi kelas, menimbulkan suara tapak kaki yang dipantulkan oleh dinding dan langit-langit kelas.

"Jawab." Ryan menunjuk sebuah penghapus yang ia ambil dari dalam saku celana. "Kamu iri dengan semua ketenaran dan juga kasih sayang yang Emma genggam bukan?"

"Memang."

Ryan menggebrak meja, semua menjadi lebih jelas sekarang. Kematian Emma ....

"Kamu sengaja memberiku obat yang salah, pasti, pasti kamu pembunuhnya."

Vanessa menyunggingkan senyuman, ia memainkan tangannya di atas meja. "Em, tidak tahu."

"K-kau ... pembunuh."

Vanessa ber-sst ringan, langkah kakinya memangkas jarak antara dia dengan Ryan. Ryan refleks bergerak mundur sampai akhirnya dia berada di ujung dinding, tidak bisa bergerak lagi.

"Baiklah, aku memang menukarnya dengan sianida."

"Kau—"

Vanessa meletakkan telunjuknya tepat di atas bibir Ryan. "Ini lebih dari sekedar untuk menyingkirkan sainganku, aku sedang menyelamatkan Emma."

"Menyelamatkan katamu? Lihat, dia sekarang—"

Vanessa langsung memotong tanpa ba-bi-bu. "Aku sedang menyelematkannya darimu. Menyelamatkan Emma sebagai sesama wanita juga tugasku, ya, meskipun dia harus mati."

"Menyelamatkannya dari apa? Kamu sudah—"

Vanessa melipat lengannya di depan dada, lantas memotong suara serak Ryan. "Kamu bertemu Emma kemarin malam 'kan? Untuk apa kamu memesan GHB kalau bukan untuk mencelakainya, ya 'kan? Nasib baik aku sempat menukarnya sebelum ibuku memberinya padamu."

"Aku sudah berbaik hati memberinya sianida dengan dosis rendah supaya dia tidak mati di rumahmu. Lucu, aku benar-benar penasaran bingungmu saat melihat Emma tidak terlelap." Vanessa menampilkan seringaian. "Sekarang Emma sudah tenang di sana, tidak akan termakan oleh nafsumu, dan sebagai bonus, aku bisa tenar kembali."

Suara Vanessa menguasai ruangan, berpantul-pantul pada segala sisi dinding, masuk ke dalam indra pendengaran Ryan, membuatnya ingin meraung sekencang-kencangnya, menghancurkan manusia yang menapakkan kaki di depannya.

"Kamu, aku, kita berdua sama-sama penjahat."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top