Sebuah Kotak

Sudah lima hari belakangan ini kekasihku bertingkah aneh. Ia yang biasanya tampak ceria kini menjadi lesu, kedua mata cantiknya sayu, tatapan matanya pun kosong. Aku beberapa kali bertanya padanya, apakah ia memiliki masalah? Dan jawabannya selalu tidak.

Ini sudah hari ke enam, dan penampilannya makin berubah. Aku terbiasa menjemputnya sebelum sekolah di depan pintu rumahnya, tapi ia kini memintaku menunggu tiga rumah sebelum rumahnya.

"Kamu kenapa?" tanyaku saat ia naik ke mobil, dengan wajah pucat.

Lagi-lagi ia menggeleng. Aku memperhatikan seragamnya yang tampak kusut, bahkan rambutnya terlihat belum disisir. Tanganku mengusak kepalanya pelan, mencoba menenangkan.

"Sayang, aku di sini kalau kamu mau cerita," kataku sambil menatap matanya lembut. Kekasihku itu menggeleng lagi. Kuhela napas pelan, menyerah, memutuskan untuk menyalakan mesin mobil dan melajukannya pelan.

Jalan menuju sekolah kami hanya satu, dan itu harus melewati rumahnya. Namun, tiba-tiba saja Alvi, kekasihku, membuang wajahnya ke samping sambil meringis. Aku mengangguk paham. Sepertinya kekasihku sedang bermasalah di rumah.

▪︎▪︎▪︎

Hari ini Alvi menolak dijemput, tentu saja tanpa alasan yang jelas. Aku hanya mengiyakan, meskipun penasaran. Tanpa sepengetahuannya, aku memarkirkan mobilku cukup jauh dari rumahnya. Saat itu masih gelap, bahkan matahari belum juga menampakkan diri. Aku berjalan pelan, dengan jaket yang menutupi kepala, bersembunyi di salah satu semak yang tersembunyi.

Sekitar lima menit aku menunggu, terdengar derap langkah kaki yang cepat. Kusiagakan pandangan dan telingaku, pintu rumahnya terbuka, dan muncul Alvi dengan seragam sambil memegang sebuah kotak, berlari menuju salah satu halaman rumahnya. Aku menyipitkan mata, berusaha melihat apa yang ia lakukan.

Alvi, dengan tangannya sendiri terlihat mengeruk tanah cukup dalam. Pandangannya sesekali menoleh pada pintu, raut wajahnya terlihat cukup khawatir dengan kerutan di kening. Setelah ia merasa cukup dalam, ia menaruh kotak tua itu di dalam lubang dan kembali menguburnya. Setelah itu ia berdiri, memetik rumput dan menaburkannya di atas lubang yang ia tutupi tadi.

Aku memandang tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Perasaanku saat ini campur aduk, antara khawatir dan juga takut. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya, tapi aku yakin ia tidak akan menjelaskan apa pun padaku. Suara derap langkah kaki kembali terdengar, aku kembali bersembunyi. Kekasihku berdiri di sana, dengan wajah yang lebih tenang dibanding sebelumnya.

Penampilannya pun kembali seperti sediakala. Ia menguncir rambutnya menjadi satu dengan model ikatan rambut tinggi. Wajahnya tampak dipoles dengan bedak dan bibirnya kembali merona. Bahkan seragamnya pun tampak rapi. Sangat jauh berbeda dengan sosoknya beberapa menit lalu. Aku masih diam memperhatikan Alvi yang sedang menalikan sepatunya.

Setelah selesai, kekasihku berjalan kaki ke arah terminal bus untuk menaiki bus menuju sekolah. Ia memainkan ponsel di tangannya sambil berjalan. Aku secara spontan meraba saku celanaku dan segera mengeluarkan ponsel milikku dari sana lalu mengaktifkan mode senyap. Benar saja, hanya selang beberapa detik, sebuah pesan masuk dari Alvi, memastikan bahwa aku sudah bangun dan tidak terlambat ke sekolah.

Pandangan mataku tetap tertuju pada Alvi yang berjalan menjauh. Setelah sosoknya tidak lagi terlihat, aku mengendap-endap menuju halaman rumahnya. Sekilas aku penasaran dengan kotak yang ia tanam tadi. Namun, rasa penasaranku terhadap apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah lebih kuat. Aku berjalan menuju pintu, mengambil kunci cadangan yang disimpan di balik sisi jendela, kemudian masuk ke dalam.

Begitu aku menginjakkan kaki di dalam rumahnya, bau tidak sedap langsung tercium. Aku berjalan menuju dapur, lurus di hadapanku melewati ruang tamu di sisi kanan dan tangga di sisi sebelah kiri. Dapurnya tampak berantakan dan—pandanganku terhenti pada noda merah yang baru saja aku injak. Napasku terhenti.

Merasa ada yang semakin tidak beres, aku berjalan menaiki tangga dengan hati-hati. Seharusnya, kedua orang tua Alvi masih ada di rumah setiap pagi. Keduanya akan berangkat bekerja pukul delapan pagi. Entah mengapa, aku merasa ada yang tidak beres dengan kedua orang tua kekasihku ini.

Di anak tangga terakhir, aku berbelok ke arah kiri, menyusuri lorong dan masuk ke dalam kamar kekasihku. Berantakan, hanya kata itu yang mampu menggambarkan apa yang terjadi di sana. Terlihat baju seragamnya di atas kasur, dengan handuk yang basah dan beberapa baju kotor berserakkan di lantai. Aku beralih ke kamar kedua orang tuanya di sisi lorong yang lain.

Di gagang pintu kamar orang tuanya terdapat noda merah, membuatku semakin was-was akan apa yang terjadi. Aku memutar gagang pintu itu, menghitung dalam hati hingga tiga hitungan dan membukanya. Perlahan, kubuka mata untuk melihat apa yang terjadi di sana.

Seketika saja lututku lemas, aku berpegangan pada gagang pintu agar tidak jatuh. Di depanku terlihat kamar yang sangat berantakan dengan noda merah dan bau menyengat, seperti karat besi yang tercium kencang. Lebih menakutkan lagi, di atas kasur terlihat kedua orang tua Alvi terikat tidak berdaya. Ayahnya tampak terkejut melihatku, ia berusaha bicara meskipun mulutnya tersumpal kain.

Aku berjalan mendekat, dan saat itu aku sadar ada yang berbeda dengan dua orang di hadapanku ini. Sang Ayah kehilangan beberapa buku jarinya, sementara sang Ibu sudah tergeletak kaku dengan luka menganga di perutnya. Aku bergidik ngeri, langsung berlari meninggalkan kamar itu. Kututup rapat-rapat pintu dan berusaha mengembalikan segala barang yang kusentuh pada tempatnya.

Secepat kilat aku berlari menuju pintu dan keluar. Bodohnya, aku malah melangkah menuju sudut halaman dan menggali lubang yang tadi ditutupi oleh Alvi. Begitu kotak itu terlihat, aku segera membuka kotak itu dan mual menjalar ke perutku. Di sana terlihat dua buah jari yang aku duga milik ayah dari kekasihku.

Belum sempat aku bergerak, terdemgar suara pelan yang sangat kukenal berbicara. "Adam, mereka akan menyakitiku. Mereka tidak mempercayaimu dan memintaku meninggalkanmu. Aku tidak mau, dan dengan jari itu, Ayah menamparku. Jadi, kuputuskan saja jarinya. Aku berusaha menutupinya darimu, tapi kamu akhirnya tahu juga. Apa sekarang kamu akan meninggalkanku?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top