Kamar Kos Tua
Tap-tap-tap-tap!
Suara itu lagi. Seharusnya Tomi menuruti apa kata ibunya untuk indekos di rumah Bibi Ana saja. Memang sedikit tidak bebas, tetapi setidaknya dia tak perlu memikirkan soal makan, cucian, dan yang paling penting, tidak perlu mengalami insomnia. Persetan dengan uang kos yang terlanjur dibayar untuk setengah tahun.
Awalnya tidak ada masalah. Rumah kos yang dia pilih gedungnya memang bisa dikatakan kuno tetapi masih terawat, dan yang terpenting berlokasi sangat dekat dengan kantor, jalan kaki pun tak makan waktu. Dia tetap membawa motor bebeknya, toh sudah disediakan area parkir yang cukup luas dan beratap juga.
Kamarnya tak seberapa besar tetapi berkat jendela tinggi-lebar khas rumah peninggalan zaman Belanda yang menghadap ke halaman belakang, sama sekali tak pengap. Sudah ada perabot, walau hanya ranjang besi, sebuah lemari pakaian dan meja-kursi kayu. Ditambah ada kamar mandi dalam, tak perlu mengantri untuk mandi.
Sungguh, dengan harga sewa perbulan yang di bawah rata-rata, itu sudah lebih dari cukup untuknya. Kalaupun ada masalah, sedikit canggung dengan tetangga kamar sebelah itu wajar. Bapak Kos yang hanya pernah ditemui di hari pertama datang juga bukan hal yang aneh.
Seminggu berlalu, dia mulai merasakan sedikit kejanggalan. Selain dirinya dan tetangga kos yang kamarnya paling ujung, dia tak pernah bertemu dengan penghuni kos yang lain. Pintu-pintu kayu yang peliturnya mulai usang itu, selalu terlihat tertutup rapat setiap kali dia melintasi lorong.
Mungkin jam kerja mereka berselisih jadwal, pikirnya berusaha positif. Tidak semua orang diberkati jam kerja normal nine to five, apalagi untuk pekerja muda yang belum banyak pengalaman. Dia merasa agak lancang menghakimi tetangga kos lainnya sebagai sesama pegawai baru, tetapi dengan kondisi gedung tua dan harga sewa yang amat-sangat murah, sulit membayangkan ada pekerja mapan mau tetap tinggal di situ.
Minggu-minggu berikutnya, setiap kali dia menggunakan dapur kos untuk memasak, ada rasa tak nyaman. Seperti ada yang mengamati diam-diam. Beberapa kali dia mencoba pura-pura meregangkan badan, untuk memergoki pemilik pandangan mata itu, tetapi hasilnya nihil.
Apakah ada tetangga kos yang terganggu dengan kegiatan memasaknya, hingga diam-diam mengamati, Tomi tak tahu. Tidak ada yang bisa dia tanyai. Satu-satunya tetangga kos pernah ditemui hanya yang terlihat melintas di depan jendela saat dia sudah duduk dalam kamarnya sendiri. Sepertinya baru pulang kerja. Pemuda itu tak tega menegur.
Tak tahan dengan kondisi tak jelas itu, membuatnya memutuskan untuk membeli nasi bungkus saja. Sedikit lebih mahal, tetapi masih terjangkau berkat murahnya sewa kos. Toh di akhir minggu, dia masih menjalani kewajiban sebagai keponakan yang baik dengan menginap di rumah Bibi Ana. Beliau tahu betul cara memanjakan dengan aneka masakan kesukaannya.
"Cucianmu bawa semua ke sini, Tomi!"
Perintah Bibinya itu turun akibat penampilan kucelnya di minggu keempat tinggal di kos-kosan.
Tomi bukannya tak pernah mencuci pakaian sendiri, tetapi jemurannya selalu hilang. Awalnya tak pernah disadari karena seragam kerja dan baju sehari-harinya aman. Namun ketika dia menemukan bahwa tidak ada lagi kaus kakinya yang sepasang, Tomi mulai menghitung pakaian yang dia cuci.
Dia bergidik pada kemungkinan pencurinya bukan manusia, karena yang hilang sama sekali tak laku bila dijual. Kecuali kalau pelakunya punya kelainan. Untuk kemungkinan yang terakhir sukses membuatnya tak bisa tidur semalaman.
Gara-gara itu dirinya menghabiskan malam menatap langit-langit kamar. Di antara bercak-bercak kelabu tak beraturan, akibat lembab, yang menghias satu bagian papan gipsum di atas kepalanya ada bulatan gelap. Dia perlu menyalakan lampu kamar untuk mengetahui bahwa bulatan gelap itu ternyata sebuah lubang. Hanya sebesar koin seratusan, tetapi cukup untuk membuat Tomi menyelubungi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Tap-tap-tap-tap!
Tengkuknya meremang mendengar suara ketukan samar itu. Terlalu ringan untuk langkah kaki tetangga kosnya, tetapi juga tidak seperti ketukan pintu. Dia mulai meragukan apakah betul-betul mendengar suara itu, ketika ....
Tap-tap-tap-tap!
Tomi menarik bantal untuk menutup telinganya. Berharap perlindungan karung katun berisi kapuk itu melindunginya dari berbagai pikiran yang tidak-tidak. Butuh waktu hingga akhirnya dia betul-betul terlelap, hanya untuk terbangun oleh bunyi beker 3-4 jam kemudian.
Esok paginya dia sempat mencoba untuk menutup lubang dengan selotip, tetapi langit-langit gedung tua terlalu tinggi untuk dicapai hanya dengan menaiki sebuah kursi. Dia tak berani menumpuk kursinya di atas meja, karena tak yakin kaki-kaki kayu yang berderit parah hanya karena dia pakai mengetik dengan laptop, akan cukup kuat menahan berat tubuhnya.
"Coba pakai galah atau apalah yang panjang, lalu pasang selotipnya yang sudah kau potong di ujungnya?" usul senior di tempat kerja Tomi. "Kantor kita punya banyak batang bambu dan sisa paralon yang bisa kau pinjam."
Awalnya Tomi ragu. Pegawai baru macam dirinya, apa boleh meminjam inventaris kantor untuk urusan pribadi. Orang tuanya sudah mewanti-wanti untuk menjaga sikap selama masa percobaan sebagai pegawai. Sebisa mungkin dia tidak ingin ditandai.
"Daripada kurang tidur lalu malah bikin masalah di kantor?" pancing seniornya.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia pun mencoba mengikuti saran itu. Di luar dugaan Tomi hanya perlu mencatatkan nama dan keperluannya, pipa paralon pun bisa dia bawa pulang ke kos-kosan. Dengan motor bebeknya, dia merasa seperti seorang ksatria abad pertengahan yang siap menyodokkan lembing pada lawan.
"Awas saja, kau ... lubang sialan! Akan kubungkam selamanya dengan lembingku ini!" serunya bersemangat.
Perlu diakui, kesukaannya pada cerita fantasi dan kondisi kurang tidurnya yang memicu celoteh setengah berhalusinasinya itu. Dia bahkan tak menyadari tremor di tangannya. Tiga gelas kopi hitam untuk tetap terjaga selama di kantor, mulai berefek.
Namun kombinasi tangan tak stabil dan gipsum di langit-langit yang sudah terlalu tua membuat pipa paralon yang digunakan meleset dari sasaran. Beberapa kali ujung pipa malah membentur langit-langit. Akibatnya lubang itu menganga semakin besar.
Tomi harus melompat mundur untuk menghindari serpihan gipsum lapuk yang jatuh berhamburan. Seketika dia mengernyitkan hidung karena yang jatuh di atas kasurnya bukan hanya bahan plafon. Sesuatu yang terlihat seperti gombal kumal, lembab, dan berlumut. Lalu ... Dia terhenyak pada gumpalan-gumpalan setengah cair berwarna cokelat gelap yang teronggok, sebelum memaksa kakinya berlari secepat mungkin ke kamar mandi dan mengeluarkan apapun isi perutnya saat itu untuk mengenyahkan rasa mual.
Tomi harus merelakan seprainya, karena dia yakin Bibi Ana sekalipun tak akan mau repot-repot membersihkan noda menjijikkan itu. Pemuda itu berharap cuaca esok cukup cerah untuk menjemur kasur. Sementara malam itu dia terpaksa tidur di lantai. Untung selimut dan bantalnya selamat.
Akhir pekan kali ini Tomi tidak menginap di rumah Bibi Ana. Waktunya digunakan untuk menyiram kasur dengan deterjen cair. Namun berapa kalipun dia gosok, noda itu tak juga hilang. Tomi mencoba berkompromi dengan membalik kasur hingga sisi noda ada di bagian bawah. Dia juga menggeser posisi ranjang, antisipasi akan kemungkinan benda jatuh susulan.
Namun dia tetap sulit tidur nyenyak. Suara ketuk misterius masih juga terdengar. Memang tidak pasti, tetapi kira-kira mulai berbunyi setelah lewat tengah malam. Apabila dia menajamkan inderanya, suara terdengar menjauh. Namun tak lama setelah dia mulai nyenyak, suara itu terasa mendekat.
Minggu paginya terasa sangat berat. Kepalanya berdenyut, cahaya matahari yang masuk melalui celah korden menyilaukan matanya. Andai perutnya tidak mengirim sinyal protes, minta diisi, Tomi memilih untuk melunasi utang tidur saja.
Tak ada tenaga untuk pergi ke luar, juga kehilangan minat untuk memasak sendiri. Dia memutuskan memesan makanan dari aplikasi ojol. Syukurlah ada pengemudi yang segera merespon pesanannya. Dia hanya perlu menunggu.
Ketika ponsel berdering, Tomi segera melompat dari kasur. Ternyata bukan pengemudi ojol pesanannya, melainkan WA rutin yang selalu dikirim oleh Bapak Kos setiap minggu. Biasanya menyampaikan hal-hal umum, seperti: peringatan untuk menghemat pemakaian air dan listrik, tempat menyimpan galon air mineral cadangan, juga persediaan gas elpiji untuk kompor dapur bersama.
Tomi menjawab semua pertanyaan. Dia merasa sedikit tak enak untuk menyampaikan bahwa gas elpiji belakangan nyaris tak terpakai. Pemuda itu tak yakin, sejak dia berhenti memasak ada penghuni lain yang menggunakan dapur.
Mengenai plafon di kamar yang tak sengaja dia perbesar lubangnya, mau tak mau dia harus melaporkan juga pada Bapak Kos. Sebuah foto digital dia lampirkan dalam pesan WA yang dikirimnya. Tomi sudah siap bila harus mengganti rugi.
"Tak perlu, plafon lapuk itu salah saya juga karena tidak segera merenovasi. Besok saya kirim tukang untuk perbaiki kamar Nak Tomi."
Jawaban Bapak Kos adalah angin sejuk setelah rentetan kemalangan yang dia alami. Mungkin dia bisa mencoba bertahan, setidaknya sebulan lagi di kos-kosan itu. Sembari mencari-cari info tempat kos baru dari rekan dan seniornya di kantor.
Hari berikutnya Tomi pulang kerja dengan perasaan lebih ringan. Dia baru saja mendapat info tempat kos lain. Sedikit lebih mahal tetapi masih terbilang dekat dari kantornya. Hanya perlu menunggu sebulan sampai kamar yang masih ada penghuninya selesai dikosongkan.
Hatinya semakin riang melihat lubang selebar dua kali ubin kelabu kamar kosnya sudah ditutup. Memang ada satu petak warna yang tak sama di langit-langit. Aroma cat basah juga masih tersisa. Tomi hanya perlu membiarkan kamarnya terangin-angin dengan baik, hingga baunya hilang.
Suara ponsel berdering, voice chat dari Bapak Kos.
"Halo, Pak. Terimakasih banyak untuk perbaikannya!"
"Ah ... Bukan apa-apa. Saya juga senang bisa membantu Nak Tomi. Gimana-gimana, Nak Tomi ini anak kos favorit," timpal Bapak Kos. "Ya, namanya juga anak kos satu-satunya."
Derai tawa Bapak Kos terdengar jauh di telinga Tomi. Matanya terpaku pada sosok tetangga kos yang melintas di depan jendela. Setelah sosok itu berlalu, telinganya mendengar suara ketukan yang familier.
Tap-tap-tap-tap!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top