OGRE

Konon kemunculan makhluk dari dimensi lain itu ditandai dengan terciumnya aroma tertentu di tempat yang tak ada apa-apa. Bisa harum bunga yang tajam atau malah bau bangkai yang busuk. Baik-jahatnya makhluk itu, diketahui dari sifat aroma yang tercium.

Crevan kini mematung kebingungan dalam keremangan lampu jalan yang nyaris padam—makin gelap karena tak ada rembulan. Malam itu dia sedang dalam perjalanan menuju asrama kampus, beberapa jam lebih larut dari biasanya. Pemuda berambut cokelat itu yakin betul tak ada restoran atau depot di dekat situ, tetapi hidungnya mencium aroma kentang kukus. Mungkin dirinya mengalami halusinasi karena kelaparan, batinnya seraya memindahkan sampiran tali tas menjadi menyilang supaya dia dapat mempercepat langkahnya.

"Wah, kalau di tempat asalku, aroma kentang itu berarti di dekat situ ada ogre."

Purnama, teman sekamarnya menimpali setelah mendengar cerita Crevan.

Pemuda berambut cokelat itu menaikkan sebelah alis dari balik panci mie instannya.

"Lho, sungguh! Orang-orang sepuh di kampung yang bilang."

"Really ... Ogre? Makhluk-makhluk itu jauh-jauh menyeberangi samudra untuk muncul di kampungmu, Pur?

"Kami tidak menyebutnya ogre, sih," kilah Purnama. "Aku tak tahu apakah di tempat asalmu ada juga atau tidak. Aku kurang hapal makhluk-makhluk halus di negara ini ada apa aja."

Keduanya mengambil jurusan yang tak ada kaitan dengan folklore. Pengetahuan mereka terbatas pada apa yang muncul di media populer, seperti yang muncul di film layar lebar, komik, atau novel. Itu pun hanya dari obrolan dengan teman-teman lain, atau yang artikelnya kebetulan melintas di lini masa media sosial yang mereka gunakan.

Crevan perlahan-lahan menyeruput kuah mie instan sambil mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah diceritakan oleh ayahnya semasa kecil. Aneka kisah pertempuran berbau kepahlawanan adalah favoritnya, jadi dia tak terlalu mengikuti dongeng dan mitos para fae, makhluk-makhluk dunia lain yang mungkin bisa dikatakan sebagai siluman di negara asal Purnama. Namun, menelepon lintas negara untuk menanyakan hal sepele itu terasa berat baginya. Resiko ditertawakan atau mendapat ceramah untuk lebih memperhatikan pelajaran lebih mungkin terjadi.

Setelah mengosongkan isi panci, pemuda itu meraih ponsel. Dia bisa mencoba bertanya pada adiknya yang penggemar cerita fantasi atau mencari sendiri di internet. Jempolnya menelusuri deretan aplikasi, sambil menimbang-nimbang pilihannya.

Mendadak, suatu lambang aplikasi terklik, padahal jempolnya masih belum menyentuh layar. Kesal, Crevan segera menekan tombol kembali. Namun bukannya tertutup, malah tampilan layarnya terus meluncur ke bawah, hingga memunculkan satu nama yang sudah sangat lama tak pernah dia sentuh.

Mata violetnya melebar. Dengan panik dia berusaha mencegah ponselnya membuka ruang bicara. Satu-persatu huruf mulai tersusun, tak peduli berapa kali pun Crevan menekan tombol kembali.

"No no no! Go back ... Go back! Please please please go back!!!" rapalnya putus asa.

"Crevan?"

"Damn it. Stupid phone!"

Benda persegi panjang pipih itu terbanting ke lantai bersama kepanikan pemiliknya. Purnama menatap teman sekamarnya dengan heran. Belum pernah dia melihat Crevan sekacau itu.

"Siapa yang kau ajak chatting, sampai banting-banting hape?"

Bukannya menjawab, Crevan justru menarik kakinya ke atas tempat tidur, menempel serapat mungkin dengan dinding.

Purnama tertegun melihat bagaimana deretan huruf terus bermunculan, seolah-olah ada yang terus memencet tombol-tombol pada ponsel di hadapan mereka.

I

AM

WAITING

"...Crevan," Purnama berbisik ngeri. "Siapa yang dia ajak bicara?"

Pemuda itu berusaha menjawab pertanyaan teman sekamarnya, tanpa bersuara. Sangat sulit dengan gemetar dan kepanikan yang melandanya. Berkali-kali dia menggerakkan mulut, Purnama tetap tidak bisa paham.

HURRY

PICK ME

UP

Layar ponsel kembali menunjukkan barisan kata. Kedua pemuda bergantian saling memandang dan menatap ponsel di tengah mereka. Tanpa mereka sadari napas keduanya mulai memutih, sesuatu yang mustahil terjadi hanya dengan pendingin ruangan asrama. Mereka menggigil bukan hanya karena ketakutan.

Crevan meniupkan napas pada kedua telapak tangan yang sedang digosok-gosok sekeras mungkin. Purnama meraba-raba kasurnya sendiri, mencari selimut atau apalah yang bisa menaikkan suhu tubuh, tetapi gerakannya terhenti ketika tiba-tiba mereka mencium anyir tajam bangkai.

"Keparat!" umpat Purnama, mencoba mengurangi serangan anyir ke hidungnya dengan kerah baju. "Monster apa yang kau bawa pulang, Crev?!"

Pemuda berambut cokelat yang ditanya hanya menggeleng bingung. Selama 12 tahun terakhir hidupnya tak pernah berurusan dengan hantu atau fae. Apalagi yang beraroma aneh-aneh.

"Kau tak bikin masalah dengan penunggu sekitar sini, kan?"

"Aku selalu bersikap sopan pada penjaga asrama, satpam, dan para koki kantin ... If that's what you asked!"

"Bukan yang manusiaaa!!!" Purnama menggaruk kepala, terlihat frustrasi.

Mungkin seharusnya dia lebih mewanti-wanti teman bule-nya tentang "aturan-aturan" lokal. Mereka memang tidak berkuliah di kampungnya, bahkan tidak di negara asalnya, tetapi peraturan dunia klenik Asia Tenggara seharusnya tak jauh berbeda.

"Apa ada nisan yang tak sengaja kau langkahi, atau tempat keramat tak sengaja kau kencingi, atau ...?"

"Oh, C'mon," protes Crevan, memotong ucapan teman sekamarnya. "I'm not THAT ignorant, Pur!!!"

"JADI KENAPA ADA YANG BEGINIAN NEMPEL KE HAPEMU?!"

"I ... DON'T ... KNOW!!!"

Letupan-letupan tak berwujud, timbul sporadis di dalam kamar. Ponsel Crevan terus-menerus mengetik tanpa henti, mengirimkan pesan pada entah siapa. Purnama mati-matian mencoba merapal semua doa yang pernah diajarkan padanya semasa kecil, tetapi ingatannya seperti tersumbat, tak ada satu ayat pun yang bisa dia selesaikan dengan benar.

Perabot ringan mulai berguncang seperti ada truk tronton melintas di depan kamar. Lampu ruangan berkedip-kedip. Di tengah kekacauan poltergeist, Purnama melirik pintu dan jendela, mungkin memikirkan cara untuk kabur dengan jarak paling singkat dari posisinya sekarang.

Namun Crevan, walau terlihat tak kalah pucat dan gemetar ketakutan, sama sekali tak memindahkan pandangannya dari benda elektronik saku yang terus menggila dengan rentetan huruf yang mulai tak terbaca maksudnya. Dia seperti menunggu sesuatu. Mengharapkan sesuatu.

Ponsel bergetar. Untuk kali pertama di malam yang kacau itu, nada pesan masuk berdenting. Sebaris kalimat muncul di kolom balasan.

'Art thee good now?'

Ekspresi Crevan saat membaca pesan yang masuk dalam bahasa Inggris era Elizabethan itu, seperti anak kecil yang baru saja berhasil menemukan kembali orang tuanya setelah tersesat di pasar malam.

"No," jawab Crevan dengan suara bergetar.

Purnama baru akan protes pada kebodohan teman sekamarnya yang menjawab lisan untuk pesan tulisan. Ketika ponsel kembali mendentingkan kemunculan pesan berikutnya.

'Art these creatures vex thee?'

Crevan menarik napas dalam-dalam lalu menjawab, "Yes."

Purnama sempat tak mempercayai penglihatannya. Dia tak begitu paham bahasa Shakespeare, tetapi semua balasan terlihat bagus. Dan yang terpenting, seseorang menjawab dan membalas ucapan lisan Crevan melalui pesan tulisan, tanpa harus mengoperasikan tombol apa-apa. Dia menginginkan aplikasi apa pun yang digunakan teman sekamarnya saat itu.

'Doth thee wanteth mine own holp?'

Tulis pesan yang baru saja masuk.

"I-itu ... Itu artinya dia menawarkan bantuan, ya. Betul, kan Crev?" tanya Purnama, sedikit terlalu bersemangat.

Namun Crevan tidak juga segera menjawab pertanyaan dari siapapun yang membalas pesan itu. Dia memang terlihat lega situasi mereka mungkin akan membaik, tetapi juga terlihat ragu untuk meminta bantuan.

"Hei, Crev?" tanya Purnama melirik gelisah pada letupan-letupan poltergeist yang mulai timbul kembali. "Apa yang kau tunggu?"

Crevan menoleh perlahan pada teman sekamarnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.

"... Crev?"

"Sorry, Purnama," pemuda itu berkata dengan suara lemah. "You've been a good friends for me."

'Doth thee wanteth mine own holp very much?'

"... Yes."

Purnama baru mau menanyakan maksud dari perkataan teman sekamarnya itu, ketika tiba-tiba embusan angin hangat bertiup sangat kencang, menerbangkan benda-benda yang lebih ringan dari pena ke segala penjuru. Daun jendela sampai berayun terbuka karenanya. Lampu ruangan berhenti berkedip. Alih-alih letupan tak berwujud, telinga mereka dipekakkan oleh suara raungan dan lolongan.

Setelah sempat menyala lebih terang dari normal untuk beberapa saat, lampu kamar mereka pecah bersamaan dengan suara letupan kencang. Sekeliling mereka menjadi gelap dan senyap.

Menurut penjaga asrama, malam itu listrik asrama dan sebagian gedung kampus sampai padam. Namun, kecuali beberapa kasus memar akibat terantuk kaki meja atau benjol karena terpeleset di kamar mandi, tidak ada penghuni asrama yang terluka. Kejadian itu dilaporkan sebagai korsleting salah satu trafo listrik kampus.

Tidak ada seorang pun menyebutkan soal lenyapnya dua penghuni salah satu kamar di asrama mereka. Seolah memang sejak awal tak pernah ada. Hanya saja, bila ada yang melintas di dekat kamar tersebut saat bulan baru, orang akan samar- samar mencium aroma kentang atau singkong bakar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top