Senja dan Sebuah Harapan
Senja kala langit menjingga, perempuan yang tubuhnya makin kurus itu kerap berada di sebuah lapangan rumput, menunggu hingga langit berubah gelap untuk sekadar memantapkan hatinya bahwa ia mungkin harus menunggu esok lagi di tempat yang sama.
Aku kenal perempuan itu, beberapa kali aku bercengkerama dengannya, beberapa kali juga aku terlibat masalah bersama dengannya. Namanya Laksmi. Gadis sebayaku yang usianya entahlah berapa—aku tak bisa berhitung. Ia anak seorang petani, sama sepertiku.
Kudengar darinya bahwa alasan ia sering berkunjung ke sini yaitu menunggu bapaknya yang berjanji akan pulang membawa nasi dan ayam goreng. Namun, sampai sekarang saja batang hidung bapaknya belum juga tampak. Raganya saja tiada menampakkan diri, apalagi sebungkus nasi dan ayam goreng yang dijanjikan, nihil.
Bertransaksi di depan para tentara Jepang memang tak pernah mudah. Apalagi kudengar dari Bapak bahwa bapaknya Laksmi bukan membeli nasi dan ayam goreng itu, melainkan hendak kabur tanpa membayar dari sang penjual.
Sang penjual ayam goreng akhirnya berteriak minta tolong dan teriakannya diketahui para tentara bermata sipit itu. Bapaknya Laksmi langsung dihabisi dengan senapan sementara tukang ayam goreng itu berunding sebentar dengan para tentara tentang asal ayam-ayam yang ia jual. Sampai situ saja yang Bapak tahu, ia melenggang pergi, ngeri akan bernasib sama jika berani-berani menguping.
Aku tak tahu apakah Laksmi tahu mengenai kabar tersebut. Apakah memang tak ada yang memberi tahunya, atau dia tahu tapi masih berharap.
Sore itu aku menghampirinya, niatku hanya sekadar menemani.
"Laksmi." Aku menepuk pundaknya.
Gadis itu menoleh, senyumannya melebar. "Ratna."
"Bapakmu belum pulang?" tanyaku.
"Iya, belum, lama yah, padahal aku laper," jawabnya polos.
"Kalau kamu laper di rumahku ada tempe," tawarku berbaik hati.
"Nggak, makasih, Rat," tolaknya halus.
Aku kemudian hanya berdiri di sisinya, ikut menatapi langit jingga yang terbentang. Melihat kepolosannya dan keceriaannya selama ini, aku merasa tak kuasa bilamana seseorang memberi tahunya tentang kabar tersebut. Bisa saja dunianya hancur seketika.
Ibunya sudah bernasib nahas jauh sebelum bapaknya. Mayat ibunya ditemukan di kebun milik warga—kebun yang sudah dikuasai Jepang—dengan mata melotot dan badannya bersimbah darah.
Setelah kehilangan ibunya, rumahnya dihancurkan secara paksa untuk dijadikan ladang pertanian. Akhirnya Laksmi dan bapaknya ditampung seorang petani kaya dan dipekerjakan untuk mengurusi kebunnya. Sayang seribu sayang, orang kaya tersebut gila uang, diiming-imingi duit segepok oleh Jepang pun ia mau melakukan apa saja, akhirnya kedua orang malang tersebut disuruh mengurusi ladang setiap hari setiap jam agar panen tepat waktu dan kemudian diserahkan kepada tentara Jepang. Laksmi dan bapaknya tak mendapat sepeser pun dari segepok uang tersebut, tapi untuk mendapatkan tempat tinggal sudah lebih dari cukup bagi mereka.
Jika bapaknya meninggal, maka ia harus tinggal sebatang kara. Dia harus tinggal di rumah orang kaya itu bersama beberapa pekerja lainnya.
Sungguh gadis yang malang. Orang-orang pendek bermata sipit itu telah benar-benar menghancurkan hidup seorang gadis tak bersalah.
Persetan dengan semua janji manis yang dulu sempat ditebar oleh orang-orang kuntet itu. Mereka tak ubahnya pemain sandiwara yang perangainya bisa berubah sesuka hati.
Mereka lebih bengis ketimbang londo-londo yang sebelumnya. Awalnya saja mereka berusaha membangun citra baik di depan kami semua yang kemudian kami sambut dengan tangan hangat karena kami mengira pahlawan kami telah datang, kesengsaraan kami akan segera berakhir, Merah Putih 'kan bebas berkibar di atas tanahnya. Namun, kenyataannya berbanding terbalik. Kami kembali terjebak dalam perangkap orang-orang keji yang haus akan kekuasaan, orang-orang yang bersedia mengeruk semua kekayaan kami.
"Aku tahu yang sebetulnya ...."
Aku pun tersentak. Aku menoleh pada gadis yang masih tersenyum pada langit itu.
Aku memegangi pundaknya. "Terus kamu ... kenapa masih di sini?" tanyaku.
"Tak ada yang tak mungkin 'kan, Rat?" Ia bertanya retorika. "Sekarang ini kita tak pernah tau nasib orang-orang yang tiba-tiba hilang, tapi berapa bulan kemudian mereka datang, meskipun cuma tinggal tulang dibungkus kulit."
"Aku berdoa sama langit supaya Bapak suatu hari bisa pulang atau setidaknya kalau memang sudak tak ada aku bisa bertemu ruhnya, atau—tak muluk-muluk—dari mimpi saja aku udah senang," ucapnya tegar.
"Ibu pernah bilang begitu, seingatku."
"Buktinya kita bisa bertahan hidup sejauh ini. Berkali-kali sehari kita dengar tembak-tembakan, beberapa kali terjebak dalam peristiwa antara hidup dan mati. Tapi kita masih di sini."
Aku tak sadar telah meneteskan air mata. Sungguh perempuan yang tegar, aku tak dapat membayangkan jika aku ada fi posisinya.
Melihatku menangis, ia berucap, "Udah, Rat, tak usah dipikirin, aku tak kenapa-kenapa kok."
Mendengarnya, aku menyeka air mataku. "Kamu kok tak pernah nangis?"
"Aku senang kalau ketemu orang, aku senang punya teman. Aku nggak pernah nutup-nutupin, semua orang 'kan udah tau kalau aku anak sebatang kara."
Air mataku tambah deras saja dan kakiku mulai melemas, sedang ia tetap dapat berdiri kokoh atas topangan kaki kurusnya.
Kami semua di sini adalah sama. Sama-sama tahu bahwa kami ditindas orang-orang pendatang yang sama sekali tak peduli nasib pribumi tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sama-sama tidak tahu bahwa Yang di Atas akan membawa hidup kita sejauh apa, apakah kami akan tetap bertahan saat waktunya merdeka, atau apakah kami tak sempat merasakan bagaimana rasanya lepas dari penjajahan.
Siapalah kami? Bergerak sejengkal pun kepala kami sudah berlubang dengan simbahan darah. Kami hanya bisa berharap pada yang punya kuasa, pada kalangan atas untuk cepat-cepat mengakhiri penderitaan kami, para rakyat kelas bawah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top