Curse of Heaven
Tubuh anak berusia sekitar sebelas tahun itu terdorong ke tanah. Ia menatap si pendorong takut-takut. Wajahnya memerah seperti akan menangis. Teman-temannya di sekitar langsung mundur ketakutan. Tidak ada yang berani menegur pelaku atau membantu korban.
Si pendorong adalah tuan putri kerajaan Wallis, anak bungsu dari Raja Eden. Kerajaan jaya yang sudah berdiri sejak tahun 572 hingga kini tahun 897. Tahun di mana keturunan ketiga raja pertama memerintah.
Sang raja ketiga mempunyai tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Namun, satu yang bungsu sangatlah nakal dan susah diatur. Ia selalu menyebabkan masalah di dalam maupun di luar kerajaan. Makanya ia biasa disebut aib kerajaan dan sering diasingkan.
Kali ini, Tuan Putri Fuchsia, putri bungsu Raja Eden, lagi-lagi mem-bully gadis pelayan kerajaan. Ia mendorong si baju putih karena tidak sengaja menabraknya.
"Putri Fuchsia!" seru seorang wanita yang dipercaya menjadi pengasuh Putri Fuchsia. "Anda tidak boleh melakukan hal ini lagi. Anda baru saja keluar dari ruang penjara bawah tanah karena kejadian satu minggu yang lalu."
Ya, Putri Fuchsia baru saja keluar dari ruang bawah tanah setelah seminggu dikurung di tempat dingin dan gelap itu. Hal itu terjadi karena ia menyiksa salah satu pelayan kerajaan yang sedang menasihatinya.
Tuan Putri Fuchsia mendengkus kecil, lalu melanjutkan kegiatannya. Ia menarik rambut panjang pirang milik gadis berbaju putih itu. Saking kuat tarikannya, kaki si gadis sampai terangkat sekitar lima sentimeter dari atas tanah.
Gadis kecil kumal itu menangis sesenggukan. "Tuan Putri, saya minta maaf. Tolong, lepaskan saya."
"Dilepaskan? Baiklah." Dengan enteng, Putri Fuchsia melepas tarikannya hingga tubuh gadis itu terjatuh keras ke tanah. Namun, senyumnya semakin mengembang hingga menjadi tawa.
Britney, wanita yang menjadi pengasuh Putri Fuchsia itu meringis. Lalu, matanya membulat saat mendapati wajah si gadis baju putih tersenyum dan sama sekali tidak marah. Malah menatap penuh kasih kepada Putri Fuchsia.
"Tuan Putri Fuchsia, mohon, jangan ulangi kesalahan yang sama! Baginda Raja akan marah jika Anda seperti ini terus. Beliau akan mengurung Anda di ruang bawah tanah lebih lama lagi. Tolong, dengarkan saya!" Britney hendak menyentuh baju lengan Putri Fuchsia, tetapi urung setelah mendapat tatapan tajam dari putri berusia tiga belas tahun itu.
Saat menoleh, mata Putri Fuchsia menatap tepat pada bola mata Britney. Saat itulah Britney menyadari ada yang salah dengan tuan putrinya. Tatapannya terlihat terluka dan tidak ingin melakukan semua itu.
"Fuchsia! Apa lagi yang kau lakukan, hah? Tidak puaskah kau dikurung di ruang bawah tanah selama seminggu?! Apa kau tidak malu ayahmu digunjingkan kerajaan tetangga akibat perbuatan burukmu itu?!" Seorang laki-laki berusia delapan belas tahun berjalan di halaman kerajaan dengan langkah tegas. Semua orang di sekitar langsung menunduk sebagai rasa hormat terhadap pangeran muda itu.
Putri Fuchsia menatap datar sang kakak ketiga, kemudian berlalu dari halaman berbunga itu.
Tidak tinggal diam, pangeran berpakaian jubah kerajaan itu mengikuti adik bungsunya. Melewati lorong-lorong dengan ukiran bercorak hewan-hewan mitologi di dindingnya juga halaman luas dengan air mancur besar di tengahnya. Lalu, terakhir, mereka berhenti di dekat gerbang menuju daerah luar kerajaan.
Putri Fuchsia berhenti di sana. Gadis cantik dengan jubah kerajaan berwarna biru laut itu menatap sang kakak dengan tatapan memohon. Namun, berbeda dengan tindakan yang ia lakukan setelahnya.
Ia berjongkok sebentar membelakangi Pangeran Winston, lalu berdiri lagi sebelum melempar pasir ke wajah laki-laki itu.
"Ahh!" pekik Pangeran Winston. "Fuchsia kurang ajar!"
Fuchsia langsung berlari dari sana, melalui jalan yang tadi, lalu berbelok ketika sampai di lorong yang sedikit gelap. Ia menuruni tangga, lalu masuk ke penjara bawah tanah. Tangannya mengambil besi silinder yang tidak terlalu panjang di dekat pintu masuk.
Ia memukul kepala bagian belakang dari para penjaga ruangan dingin nan gelap itu. Sehingga sekitar sepuluh penjaga pingsan tanpa bisa menangkap Putri Fuchsia.
Lalu, gadis cantik dengan rambut cokelat muda dan bola mata biru laut itu mengambil kunci yang dipegang oleh salah satu penjaga. Dengan senyum licik, ia membuka satu per satu pintu jeruji besi. Ia mengeluarkan para penjahat dari penjara bawah tanah.
"Nah, silakan menikmati sisa hidup kalian lagi! Lakukan apa pun dengan sepuas-puasnya! Jangan sampai kalian tertangkap lagi! Hahaha!" Putri Fuchsia tertawa senang melihat para penjahat, bandit, pengkhianat, dan semua tahanan keluar dari sana.
Sontak mereka berbondong-bondong keluar. Semuanya bersorak saking senangnya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Mereka bisa menyambut udara luar lagi.
Semua orang keluar setelah Putri Fuchsia membuka kunci jeruji besi itu. Namun, tiba-tiba senyumnya luntur saat hanya ia sendiri yang tinggal di sana.
Tubuhnya secara tiba-tiba terduduk di ruangan dingin bercahaya obor itu.
Ia adalah seorang gadis yang bukan berasal dari dunia ini. Namanya Avhilla bukan Putri Fuchsia. Ya, ia merasa seperti tengah melalui time travel. Terakhir, yang ia ingat adalah saat dirinya dikejar para rentenir karena utangnya sudah menumpuk. Ia baru saja kehilangan semangat hidup satu-satunya, yaitu ibunya meninggal. Ia hanya gadis berusia tiga belas tahun yang tidak mempunyai apa-apa, baik orang tua, teman, bahkan tempat tinggal.
Lalu, saat ia bertanya pada langit, apa salahnya di kehidupan sebelumnya sehingga ia mendapat hukuman sekejam itu? Barulah sang langit menjawab dengan membawanya kepada dunia sejarah ini. Dunia lampau yang jauh dari tahun kehidupannya. Dunia di mana belum ada teknologi canggih.
Akan tetapi, semuanya memang sudah digariskan. Ia tidak akan bisa mengubah kejamnya hukuman langit. Juga takdir yang ia dapat.
Ia memang kembali ke kehidupan sebelumnya, tetapi ia tidak bisa mencegah kejahatan yang pernah ia lakukan. Ya, matanya berkata untuk menjadi baik, tetapi perbuatannya tetap jahat.
"PUTRI FUCHSIA!!!"
***
Avhilla di kehidupan ini bernama Putri Fuchsia. Namun, hanya mata dan hatinya yang Avhilla si gadis lemah lembut. Sedangkan kelakuannya tetap Putri Fuchsia yang kasar dan jahat.
Kali ini, keempat kakaknya membawa ia ke hadapan sang raja, ayah mereka.
Tatapan Raja Eden tidak melunak sedari tadi. Tajamnya seakan menembus mata Putri Fuchsia sampai tercabik-cabik.
Ruangan besar dan tinggi yang dihiasi banyak lampion itu lengang untuk beberapa saat. Singgasana besar tempat sang raja duduk menampilkan kegagahan raja ketiga kerajaan Wallis itu. Di dalam ruangan itu terdapat banyak penjaga yang memakai baju zirah dilengkapi tombak dan tameng. Namun, mereka hanya berdiri tanpa ekspresi.
"Lagi-lagi kau berbuat ulah! Memalukan! Aku tidak akan menahan diri lagi! Kenakalanmu kali ini tidak akan mendapat toleransi lagi! Kau akan mendapat hukuman lebih kejam dari ini!" Seruan tegas Raja Eden menggema di ruangan berdinding tinggi itu. Kedua pelayan yang sedang mengipasi sang raja sampai terkejut dengan ucapan bernada marah itu.
Sungguh, Avhilla sendiri tidak mengerti dengan jalan pikirannya semasa masih menjadi Putri Fuchsia. Ia tidak tahu kenapa bisa berbuat sejahat itu.
"Putri Fuchsia, kau akan diasingkan selama setahun di gunung Montes! Di sana, kau harus menemui para dewa agar kutukan kejahatan dalam dirimu hilang! Kau akan ditemani kedua kakak laki-lakimu! Ketika kembali, kau akan menjadi putri yang lebih baik lagi! Barulah kau akan kuanggap sebagai anakku lagi!"
Deg!
Jantung Putri Fuchsia berdetak kencang setelah mendengar itu. Seketika amarah dalam dirinya melonjak. Avhilla tidak tahu jelas apa yang menyebabkan dirinya di masa lalu itu marah. Namun, yang ia pahami, mulai saat inilah hukuman kutukan itu berlanjut.
"Baiklah," ujar putri yang memakai dress panjang dengan rok lebar itu.
Ia mendekati kursi singgasana sang raja dengan langkah anggunnya. Ia menunduk di tangga depan singgasana itu, memberi hormat kepada sang raja yang sekaligus ayah kandungnya.
Raja Eden mendekati putri bungsunya dengan amarah yang sudah sedikit reda. Ia mengira, mungkin hukuman itu sudah cukup untuk mendewasakan putri yang ia sayangi itu. Ia hendak membiarkan putrinya menyalimi tangannya, tetapi sang putri malah memeluknya.
Pelukan erat itu ternyata tidak semata-mata karena sang putri ingin berpamitan. Ia menusukkan pisau yang ia bawa sedari tadi ke perut sang ayah sampai pria paruh baya itu meringis tidak berdaya.
"A-apa yang kau la-kukan, Fuchsia?"
Setelah menusuk dalam perut Raja Eden dan sedikit mengoyaknya, ia menarik kembali pisaunya. Darah langsung bercucuran dari perut pria itu.
Seketika suasana ricuh. Para pengawal dan pelayan di ruangan itu melotot tidak percaya. Semua kakak Putri Fuchsia langsung mengerubung, juga sang istri ketiga Raja Eden.
Putri Fuchsia tertawa kencang. "Hahaha! Rasakan, tuh, Raja Gila! Aku tidak akan pergi begitu saja sebelum berhasil melenyapkanmu! Hahaha!"
Mata Avhilla terlihat sedih sedangkan bibirnya tertawa kencang. Air matanya jatuh saat melihat sang ayah tergeletak dengan nyawa hampir meregang.
"FUCHSIA! APA YANG KAU LAKUKAN, HAH?!"
Para kakak Putri Fuchsia memarahi adik bungsu mereka. Namun, yang dimarahi justru tertawa remeh. Rencana yang ia susun selama ini akhirnya terwujud. Gadis berusia tiga belas tahun itu berhasil melenyapkan orang yang sangat ia benci. Setelah ini, ia akan pergi jauh dari kerajaan yang membuatnya muak itu.
Putri Fuchsia melempar pisau bercorak lambang kerajaan yang berlumuran darah itu, lalu segera berlalu dari sana. Namun, sampai di ambang pintu, ia masih mendengar sang raja mengatakan satu kalimat yang membuat senyumnya luntur.
"Kau, anak yang sangat kusayangi, kau akan mendapat ganjaran yang lebih kejam! Langit dan para dewa akan mengutuk kehidupanmu!"
Seketika air mata Avhilla mengalir deras.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top