Arbeit Macht Frei
Lapar. Perutku melilit, kelaparan.
Hari apa ini? Selasa atau Jumat? Atau bukan keduanya? Rasanya seperti berada di medan perang--tidak dapat menentukan waktu, kematian datang setiap hari, dan penderitaan ada di mana-mana--meskipun perang besar memang sedang berlangsung.
Sudah berapa lama sejak mereka memberi kami makan? Semangkuk sup dan sepotong roti yang ukurannya kalah dari tangan anak balita. Itu awalnya, lalu berubah menjadi seceruk air rasa belerang yang baunya seperti besi berkarat.
Sebelumnya, kami percaya SS akan memberikan kebutuhan dan pekerjaan yang layak. Namun bahkan barang-barang pribadi yang kupunya lebih baik dari yang mereka berikan. Pakaian hangat, obat-obatan, makanan mentah. Kami meninggalkannya di kereta dan itu karena perintah SS. Percaya dan menyimpan harapan adalah sebuah kesalahan, tetapi bagaimanapun kami tak punya pilihan.
Dingin menusuk kulitku yang hanya berbalut pakaian bergaris. Tak ada kaus kaki, hanya sepasang sepatu yang kekecilan. Malam ini udara mencekik, bekerja sama dengan rasa lapar untuk membunuhku. Perutku meraung ibarat mesin penggiling, siap menggerogoti organ dalam. Aku berguling di ranjang kayu yang keras dan sempit. Tempat tinggal kami lembap dan bau air kencing, satu sel harus berbagi ruang dengan dua pria lain.
Amos dan Hershel meringkuk di tempatnya, kerap kali mengigau berupa rengek kepedihan. Aku tidak menyalahkan mereka karena membuatku kesulitan terlelap. Siapa yang tidak mimpi buruk dalam kondisi seperti ini? Aku pun mengalaminya. Mimpi yang sama menyiksa dengan kehidupan setelah bangun tidur.
Aku bergeser hingga jatuh ke lantai batu. Sekujur tubuhku berdenyut hebat, tulang-tulang seolah bergoyang ingin melepaskan diri dari sambungan. Punggungku sakit dan butuh perjuangan untuk sekedar bangkit. Aku merasa lemah, tak punya tenaga.
Apakah mereka akan membunuhku? Mereka membunuh semua orang Yahudi kecuali yang masih dapat diperkerjakan.
Setiap pagi kami harus berbaris di lapangan yang terik. Tentara Nazi mengabsen melalui tato berupa nomor pada lengan kami, dan mengumumkan pidatonya yang keji.
"Tidak ada di antara kalian yang bisa keluar hidup-hidup dari sini. Bahkan tidak ada di antara kalian yang mampu bertahan hidup lebih dari enam minggu. Jika ada, kami pastikan penyesalan dan rasa sakit mengakhiri hidup mereka."
Mataku terasa panas dan cairan hangat mengalir dari sana. Apa yang kutangisi? Aku sudah menangisi Marie dan Bruna minggu lalu. Saat turun dari kereta, Tentara Nazi memisahkanku dari istri dan putriku ke dalam dua barisan. Laki-laki di kanan dan selebihnya di kiri. Betapa bodohnya kala itu aku mengira mereka akan baik-baik saja. Nasib mereka tak lebih baik dari diriku. Oh ... tidak ada hal baik akhir-akhir ini.
Para tentara menggiring kami yang berbaris di sebelah kanan menuju sebuah kamp, mencukur habis rambut setiap orang lantas melempar kami untuk bekerja. Kami hanya diperbolehkan keluar untuk melaksanakan pekerjaan kami. Setiap pagi, setelah apel, Tentara Nazi senantiasa memastikan semua orang pergi bekerja.
Ada banyak kamp yang kulihat dalam perjalanan dan terdapat lebih banyak kaum Yahudi yang kutemui. Mereka sama compang-campingnya di balik pakaian bergaris yang lusuh, air muka sepucat dinding tahanan, berjalan pasrah melewati gerbang bertuliskan "Arbeit Macht Frei".
Kami melakukan pekerjaan berat di pabrik. Bekerja keras berjam-jam diawasi para tentara bersenjata.
Kami akhirnya sadar bahwa kami dipaksa untuk bekerja, untuk mereka. Tanpa istirahat, tanpa upah, sampai akhirnya kematian tiba. Atau sampai mereka melubangi tubuh kami dengan peluru.
Ketika kami sadar apa yang berhadapan dengan kami, kami segera tahu apa yang terjadi pada orang-orang di barisan kiri. Para wanita, anak-anak, pria tua, dan orang cacat ... yang di mata Nazi dianggap sebagai orang-orang lemah yang tidak berguna. Apakah orang-orang itu tahu mereka saat itu sedang berjalan menuju kematian? Digiring seperti babi-babi yang hendak dijagal? Bagaimana mereka dibunuh? Bagaimana Marie dan Bruna mati? Dibakar? Disetrum?
Aku menangis seperti orang kerasukan saat mengetahui fakta tersebut.
"Kita akan baik-baik saja. Aku akan segera menemui kalian, ya?" ucapku sebelum berpisah dengan mereka, tanpa tahu itu kali terakhir kami bertemu.
Aku kehilangan mereka. Aku menjanjikan kebohongan kepada mereka.... Terisak layaknya bayi mengompol, menangisi kepergian orang-orang yang kucintai malah membuatku mendapat pukulan keras dari Tentara Nazi.
Mereka bilang, kami pantas menerima semua penderitaan ini. Perang yang tengah berkobar adalah kesalahan kami. Orang-orang Yahudi, Gipsi, dan bangsa rendahan lainnya bertanggung jawab atas keburukan di dunia. Dan hal-hal yang mereka timpakan kepada kami adalah hukuman yang pantas untuk memperbaiki dunia.
Bagaimana bisa kami percaya itu? Aku tidak percaya. Kami tidak percaya. Itu kebohongan. Itu tidak benar.
Aku merasakan amarah yang tertahan di dada setiap penguasa Jerman merendahkan kami, menyalahkan kami, dan bersikap paling benar. Tapi aku tidak punya kekuatan untuk sekadar mencaci-maki.
Tangisku mereda perlahan, membeku di lantai yang dingin. Aku teringat sesuatu.
Hitungan ke-400.
Pada hitungan ke-400 setelah jam tidur, terdapat jadwal pergantian penjaga. Aku mengelap wajahku sekali dan mengerahkan sisa tenaga untuk berdiri. Tak disangka rasanya sesakit ini. Kakiku bergetar, siap ambruk bila tidak berpegangan ke dinding. Terseok-seok menyeret kaki, aku mendorong pintu perlahan. Inilah waktu yang kutunggu-tunggu. Lima menit patut disyukuri jika aku berhasil melarikan diri. Pergi dari semua kesengsaraan di tempat ini. Terbebas dari kekejaman Nazi.
Kuucapkan salam perpisahan menyedihkan kepada Amos dan Hershel dalam diam, kemudian bergegas mencari pintu keluar. Namun hanya beberapa langkah sebelum aku terjerembap jatuh, karena sepatu sialan yang mencekik kakiku.
Seluruh rasa sakit berkumpul menjadi satu. Menyiksaku. Aku merangkak susah payah menuju pintu keluar. Apakah terkunci? Seberapa jauh lagi agar terbebas dari sini? Seberapa banyak penjaga yang harus kuatasi? Berapa sisa waktu yang kupunya sebelum mereka menemukanku?
Aku menangis lagi mengetahui tidak akan berhasil melalui itu semua. Ini rencana yang buruk. Aku bahkan tidak punya tujuan untuk kabur. Apakah di luar sana keadaan tidak lebih buruk? Apa yang harus kulakukan?
Napasku terengah-engah mencapai pos penjaga terbuka, mataku berbinar menemukan sepotong roti tergeletak di atas meja. Aku meraihnya dan langsung menjejalkan ke dalam mulut, tidak peduli apakah beracun atau sudah basi.
Pukulan itu datang tiba-tiba, menghantam punggungku begitu keras sampai aku memuntahkan makanan di mulut--yang sempat membahagiakan lidah sesaat.
"Kau mencuri rotiku?" gertak seorang pria berseragam.
Aku beringsut ketakutan, tidak mampu berlari walau kembali ke Amos dan Hershel. Tentara itu menatapku garang dengan ukiran wajahnya yang tegas. Aku menggigiti kuku yang sudah rusak akibat bekerja di pabrik.
"Dasar pencuri!" Bersamaan dengan teriakan itu, dia memukulkan gagang senapannya ke kepalaku. Lalu menendang perutku dengan sepatu botnya yang keras.
Aku meringkuk, kesakitan.
"Beraninya kau mencuri dariku!?" Ia menendangku lagi, lebih kencang. Aku merasa ingin muntah, namun tak ada makanan di perut yang bisa dikeluarkan. Mereka tidak memberi kami makan.
Aku mendongak dan rasa sakit itu menggandakan diri, menubrukku yang kelelahan. "A-aku hanya ingin makan...."
Aku sendiri tidak mengenali suara itu. Lemah dan putus asa.
"Makan ini!" Tentara itu memukul wajahku lagi dengan senapan. Aku tidak tahu sebanyak apa darah yang keluar. Yang kutahu rasanya sangat menyakitkan. Kupandangi roti tak berbentuk yang teronggok beberapa inci di depan mata. Kugerakkan tangan, berusaha menggapainya.
Tentara Nazi itu menginjak tanganku, dengan menumpu seluruh bobot tubuhnya di sana. Aku berteriak pilu, tapi yang keluar hanya suara serak orang tak berdaya.
Pinggang, kaki, tangan, leher, perut, dan kepala. Semuanya didera rasa sakit yang amat luar biasa. Seakan sakit yang dahulu kembali, ikut berkumpul menjadi satu, menyerangku.
"Orang sepertimu hanya harus bekerja dan bekerja!" Pria Jerman itu menekan sepatu botnya, jemariku nyaris putus karena itu.
Oh, aku hampir lupa bahwa aku juga orang Jerman. Aku penduduk Jerman. Namun karena aku kaum Yahudi, mereka menyiksaku. Apa begitu salah menjadi orang Yahudi?
Arbeit Macht Frei, yang artinya bekerja membuatmu bebas.
Bagaimana bisa sebuah gerbang berkata demikian sedangkan pada kenyataannya jelas berbeda. Pekerjaan yang Jerman Nazi berikan ini bukanlah membawa kebebasan, justru memberikan kesengsaraan. Kepedihan, kelaparan, keputusasaan—itu yang kami dapatkan.
Aku mengangkat tanganku diiringi rasa sakit, menggapai moncong senapan Tentara Nazi tersebut untuk diarahkan ke mulutku.
Bekerja tidak akan membebaskanku.
Hanya satu yang bisa membuatku terbebas dari segala penderitaan yang mereka berikan.
Aku ingin menyusul Marie dan Bruna, menepati janjiku untuk bertemu.
Inilah yang akan membebaskanku.
"Bunuh aku," aku memohon tanpa suara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top