Wanita Bisu

Wanita itu diam terduduk di sudut sel. Sama sekali tidak bergerak sejak kemarin dia tertangkap. Tanpa suara, tanpa reaksi. Yang polisi tahu, dia ada di lokasi kejadian tempat suaminya meninggal dengan lima luka tusuk. Saat itu wanita itu hanya duduk menatap lantai, tepat duduk di sebelah suaminya dengan tangan yang berlumuran darah dan memegang pisau.

Jaka, seorang polisi yang ditugaskan untuk menangani kasus ini sudah mendatanginya berkali-kali. Namun, wanita yang diketahui bernama Tina itu sama sekali tidak bereaksi.

"Tina, kamu harus bicara." Jaka membuka sel, masuk ke dalam dan duduk di kursi tepat di depan Tina.

"Tina, jawab," ucapnya lagi. Namun, Tina masih dengan tatapannya yang kosong, muka dan tubuhnya penuh keringat.

"LIMA TUSUKKAN!" bentak Jaka, dia berdiri dan berjongkok menatap mata Tina. "Dan kau seolah tidak peduli? Kau mau membusuk di penjara, hah? Atau kau mau mati saja?"

Lagi-lagi Tina membatu. Jaka sudah memakai berbagai cara untuk membuatnya berbicara.

Jaka duduk di lantai, tepat di samping Tina.

"Aku merasa, kau sebenarnya orang baik." Volume suaranya merendah. "Katakanlah sesuatu, agar aku bisa membantumu," ucapnya. Tina masih saja mematung.

"Baiklah." Jaka berdiri. "Aku pergi dulu." Dia kembali ke luar sel dan menguncinya.

***

Satu minggu kemudian.

Setiap hari Jaka mengunjungi Tina. Terkadang hanya untuk memaksanya makan, atau sekadar duduk mengajak Tina mengobrol, berharap agar wanita itu mau membuka diri. Semua cara Jaka lakukan agar Tina mau mengatakan sesuatu.

"Kau tahu, aku benar-benar ingin membantumu, aku tidak berpikir kau sengaja membunuh," ucap Jaka sembari bersandar di dinding, duduk di sebelah Tina. Seperti biasa, ucapannya tak pernah berbalas.

Setelah itu, mereka hanya diam. Entah apa yang mereka pikirkan. Sel yang sudah seperti kamar mayat itu semakin terasa sunyi.

"Aku tahu apa yang akan mengubah pikiranmu." Jaka berbisik, "Aku akan membantumu kabur dari sini."

Mendengar itu, Tina langsung berbalik menatap Jaka. Untuk pertama kalinya, dia merespon. Mata merahnya melotot, seram dengan mukanya yang begitu pucat.

"Kau akan keluar negeri, dan membuat identitas yang baru," kata Jaka sambil tersenyum. Kemudian dia berdiri, dan menyodorkan tangannya. "Kau mau?"

Tina melihat tangan Jaka, kemudian matanya kembali menatap Jaka dengan melotot. Tina hanya mengangguk.

"Baiklah." Jaka berjalan keluar dari sel.

***

Satu hari kemudian.

Jaka menunggu di hutan belakang penjara dengan mobilnya. Berharap Tina segera muncul. Tadi pagi, Jaka telah mengajarkan kepada Tina tentang hal apa yang harus dia lakukan untuk kabur dari penjara. Jaka sudah mengatur berbagai hal kemarin harinya agar hal itu dapat terjadi.

Tak lama, akhirnya Tina datang. Dengan baju yang kotor, rambut yang berantakan, serta muka yang pucat. Dia langsung masuk ke mobil Jaka.

"Aman?"

"Sepertinya." Suara Tina terdengar sangat lembut, tetapi berat, seolah sedang mengangkat sesuatu. Itu pertama kalinya dia bicara sejak tragedi pembunuhan suaminya. Jaka tersenyum.

Setelah beberapa lama dalam perjalanan, Tina tertidur pulas. Itu pertama kalinya Tina tertidur dengan tenang. Semenjak ditahan, dia hanya akan tertidur paling lama setengah jam.

Jaka telah sampai pada tujuannya, gerbang dibuka, mobilnya masuk. Perlahan kesadaran Tina kembali.

Dia memperhatikan dunia yang perlahan dicerna otaknya. Rumah tinggi berpagar megah, dengan pohon-pohon yang menjulang. Tina kenal tempat ini, dia sangat kenal.

Seketika tubuhnya langsung berontak, tetapi gagal ketika dia menyadari kalau tangan dan kakinya telah diikat. Serta mulutnya dilakban. Dia menangis, menggeliat seperti cacing kepanasan.

Jaka terlihat tidak menggubris, dia memarkirkan mobilnya. Langsung disambut oleh dua orang bertubuh tinggi dan besar, membuka pintu bagian Tina, dan membawa Tina secara paksa ke dalam rumah.

***

"Kamu pikir dinding itu bisa menyembunyikanmu? Hahahaha!" Seorang pria bertubuh besar, dengan rambut pendek rapi berbicara kepada Tina yang kini masih diikat di kursi.

"Aku akui, kau benar-benar tidak terprediksi," ucap pria itu. "Tidak kusangka kau akan membunuh Putra."

Tina hanya menatap pria itu dengan nyalang, terlebih-lebih Jaka. Dia tidak pernah menyangka kalau pria itu adalah bawahan dari Tara. Dadanya sesak, pengkhianatan tidak henti-hentinya mendatanginya. Selama ini dia selalu berhasil kabur dari tangkapan Tara yang ingin menjadikannya selir. Namun, pria pengedar narkoba itu benar-benar keras kepala. Hingga akhirnya kini Tina berhasil ditangkap.

"Ini yang terbaik untukmu, Tina," ucap Jaka.

Tina semakin berontak, dia melompat-lompat dalam ikatan tali. Kesal mendengar ucapannya itu.

"Jaka, kau sudah membuktikan dirimu."

Jaka hanya tersenyum, dan menunduk.

"Sekarang keluarlah!" perintahnya. Jaka langsung bergegas keluar dari ruangan itu.

Tara mendekati Tina yang terduduk di kursi. Menatap mata Tina dari dekat.

"Wow, lihat dirimu." Tara melepas lakban yang ada di mulut Tina. Segera setelah bibirnya bebas, Tina langsung meludahi pria itu.

Pria itu tampak terkejut, tangannya mengelap mukanya yang basah karena air liur. Mukanya tampak marah untuk sesaat, raut muka ketakutan langsung tampak di wajah Tina.

Tara tersenyum. "Itu yang mau kulihat!" ucapnya. Dia memegang dagu Tina. Tina mengalihkan mukanya.

"Kau akan bahagia nantinya, ikuti saja."

Tara mendekatkan mukanya ke Tina, mencoba meraih bibirnya. Tina menjerit, menghindar, tetapi tak berdaya.

DUAR!

Sekejap mata, Tara tumbang. Darah menetes mengenai tubuh Tina. Wanita itu langsung menoleh ke arah sumber suara yang sampai sekarang masih berdengung di telinganya.

Jaka berdiri di sana, dengan pistol yang digenggamnya dengan kedua tangan. Pria itu berlari dan melepaskan tali yang mengikat Tina.

"Cepat! Mereka pasti mendengar bunyi tembakan." Jaka langsung menarik Tina keluar ruangan, menuju ke pintu darurat yang telah disiapkan Tara untuk sewaktu-waktu kalau seandainya dia disergap. Di sana, mobil polisi telah ramai.

***

"Terima kasih," ucap Tina kepada Jaka. Kini wanita itu telah terlihat sehat. Tubuhnya pulih dengan cepat, setelah satu bulan dari kejadian terakhir di tempat Tara.

"Kau harus berterima kasih kepada suamimu, Putra Rangga," kata Jaka.

Tina menatap Jaka lama, lalu tersenyum canggung, "Jangan bercanda!"

"Aku serius." Jaka menatap Tina lurus. "Jaka meninggalkan catatan mengenai Tara di lemari pribadinya. Berkat itulah aku bisa membantumu."

"Dia akan mati dibunuh Tara kalau dia tidak bisa membawamu. Malam itu, dia sudah merasa diikuti oleh orang yang dia curigai sebagai pembunuh bayaran. Sebab itulah, dia menelpon polisi, setelah itu membuatmu membunuhnya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top