Strong Girl Fania
Pagi ini aku terbangun oleh suara langkah kaki berisik yang membuat sejumlah debu menerpa wajahku. Begitu mataku terbuka, aku disambut pemandangan beberapa pasang sepatu yang menginjak-nginjak alas tidurku, jalanan.
Sudah sejak tiga hari aku tidur di bawah kayu tempat menaruh ikan-ikan dan hasil laut lainnya. Memang amis, tapi aku tak punya pilihan. Masa di tengah jalan? Di pinggir laut? Aku cuma mau kabur, bukan mati.
Si tukang ikan tahu aku suka ada di sini. Aku di sini kerap membantunya beres-beres, angkat-angkat baskom ikan, dan angkat-angkat yang lain juga.
Aku terenyak menatapi derap sepatu-sepatu yang modelnya mirip-mirip itu. Mereka berbincang-bincang dan ditilik dari suara mereka, aku tahu mereka bapak-bapak. Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi kudengar beberapa kali mereka menyebut sopir truk dan anak perempuan.
Sudah cukup lama aku berdiam diri di sini. Sinar mentari mulai menyelinap di sela-sela kayu, lantas menerpa wajahku. Cahaya yang menyusup ke bawah kayu tempatku berada membuat lenganku hangat, agak kontras dengan telapak kakiku yang masih kedinginan. Uh, tampaknya aku harus segera keluar dari sini sebelum si tukang ikan membuka lapaknya.
Ingin menghindari bapak-bapak itu, aku merayap melewati jalan lain. Aku keluar dan menghirup udara pagi. Lantas aku mengerlingkan pandangan ke asal suara bapak-bapak itu.
Aku langsung terdiam demi menelaah penampilan mereka.
Seragam cokelat, bertopi, rapi ....
Astaga mereka polisi!
Salah satu dari mereka yang berkumis sempat bersitatap denganku, disusul dengan empat temannya. Mereka menatapku terperangah. Aku juga tak kalah terperangah menatap mereka. Apa mereka mau menangkapku?
Pijakan kakiku seolah dilem untuk beberapa saat. Mataku melebar dan sekujur tubuhku benar-benar tak berani bergerak sedikit pun.
Dengan pertimbangan keburu ditangkap sekelompok polisi itu, aku yang panik kemudian lari terbirit-birit, berusaha menghindari para pak polisi. Aku berlari menuju belakang sebuah truk yang terparkir di dekat sana.
Aku bersembunyi. Namun, karena penasaran, aku tetap sesekali mengintip para polisi itu, apa yang mereka lakukan dan apakah mereka sudah pergi.
Mbah Uti bilang polisi itu suka menangkap anak yang nakal sepertiku. Aku pernah merecoki keramik dagangan orang sampai pecah, Mbah Uti harus bayar dan katanya kalau ketahuan polisi aku bisa ditangkap.
Mungkin saat ini aku benar-benar mau ditangkap.
Terlalu fokus menatap ke arah empat polisi yang masih ada di tempat semula, aku terperanjat begitu sesosok bapak-bapak dengan seragam yang sama muncul di hadapanku.
"Dek, kamu namanya Fania?" Polisi itu bertanya ramah. Namun, citra penangkap anak nakal masih melekat dalam otakku.
Alih-alih menjawab, aku hanya mampu terpaku di tempat dengan mata melebar.
Pak polisi itu mengambil sebuah kertas dari sakunya.
"Ini foto kamu 'kan?"
Betapa terkejutnya aku begitu melihat foto seorang anak perempuan berambut bondol mirip laki-laki sedang tersenyum lebar di samping seekor ayam jago dengan hanya memakai kaus kutang. Itu fotoku!
Sekujur tubuhku makin bergetar. Ditambah lagi, keempat teman polisi berperut buncit yang ada di depanku itu ikut mendekat padaku.
Mataku mulai berkaca-kaca.
"Bapak nggak jahat sama kamu kok," ujarnya. Meski begitu, aku tetap ketakutan setengah mati saat dikepung para polisi.
Salah seorang yang paling tinggi memegang tanganku secara tiba-tiba. "Yuk, bapak antar pulang," ujarnya. Kedua matanya menatapku dalam. Aku masih enggan percaya pada mereka.
Mulutku masih terkunci rapat. Mataku berkaca-kaca, membuat buram pandangan di sekitarku. Hidungku telah basah oleh ingus. Pada akhirnya aku meluapkan emosi yang kupendam. Aku menangis keras-keras. "Nggak mau! Nggak mau pulang!"
"Wulan jahat! Dika jahat!" tantrumku.
Aku memusatkan segenap perhatianku pada tanganku yang digenggam sang polisi. Kejapan berikutnya, aku memberontak, kuangkat lenganku dengan tegas dan sekuat tenaga hingga tangan Pak Polisi terlepas dari lenganku.
BUK!
Tak hanya membuat genggamannya lepas, segenap tenaga yang kukeluarkan dan kuarahkan padanya mampu membuat tubuh polisi itu tersaruk mundur hingga menabrak truk dan menimbulkan suara berdebum.
Aku menyelipkan tangan di antara kedua polisi yang masih ada di depanku sebelum akhirnya kudorong mereka kuat-kuat, memberi jalan bagiku untuk lewat sekaligus menumbangkan dua polisi yang kusibak badannya.
Polisi itu mungkin kuat, tapi mereka tak menyangka akan ditumbangkan oleh seorang anak perempuan bertubuh kurus.
Hey, aku bukan anak biasa! Semenjak suatu malam itu, aku merasa diriku seperti diberi kekuatan tambahan, diriku menjelma bak gatotkaca bertubuh mungil. Aku tak bercanda atau melebih-lebihkan, aku hanya mengutip sebuah kalimat yang kudengar di mimpiku malam itu.
Aku pernah mendorong sebuah truk yang mogok di tengah jalan seorang diri. Dan truk itu mengangkut gas elpiji!
Aku lari sekuat tenaga sambil terus membiarkan air mata yang tersisa mengalir membasahi pipi. Aku tak mau pulang. Aku sudah sampai sejauh ini untuk menjauh dari rumah, menjauh dari kedua orang tuaku yang bahkan tak pernah mengurusku. Mereka cuma tahu aku anak nakal, marah-marah, tapi tak pernah memberi tahu yang tidak nakal itu bagaimana.
Mbah Uti dan Mbahkung baik, mereka lebih mengurusku ketimbang orang tuaku. Sesungguhnya aku amat sayang padr mereka. Jika kepikiran tentang mereka, rasanya aku ingin mengurungkan niat kaburku. Tapi tak apa, aku malas dengan orang tuaku.
Suara debur laut mulai terdengar, itu artinya aku sudah dekat dengan tempat yang hendak kutuju. Hal itu memacu kakiku untuk bekerja lebih keras dari sebelumnya, tak peduli lelah yang mungkin akan kurasakan setelah ini.
Ada motor di depan yang menghalangi jalanku, kutrobos saja. Kudorong motor-motor tersebut hingga bergelimpangan.
Para polisi itu tampaknya masih mengejarku, maka aku mempercepat laju lariku.
Aku menendang kotak-kotak kayu yang berada di depanku hingga kotak-kotak itu berserakan di jalan.
Tak ada yang bisa menghentikanku, bahkan mobil yang terparkir di depanku kuterjang. Aku tak peduli sudah berapa kekacauan yang tercipta akibat pelarian ini.
"Nak! Nak!"
"Fania!" Salah satu polisi itu berteriak memanggil namaku.
Perasaanku mengatakan bahwa Pak Polisi tak jauh di belakangku.
Dengan cepat aku membalik badanku lantas meletakkan kedua tanganku di perutnya dan kakiku kuarahkan ke kakinya. Aku tak bermaksud menendangnya, hanya mendorongnya agar ia menjauh, tapi sepertinya tenaga yang kuberikan agak keterlaluan hingga ia terjatuh dan kepalanya menyentuh aspal.
Aku yang terkejut atas apa yang telah kulakukan refleks menangkupkan mulutku. "Ma- maaf, Pak! Nggak sengaja!"
Sejurus kemudian aku sudah lari terbirit-birit, kembali berlari ke tujuanku. Sebuah tujuan di mana aku bisa benar-benar hilang, menemukan kebebasan, atau mungkin bisa menemukan orang yang lebih pantas kusebut orang tua.
Ketika sedikit lagi akan sampai, aku melebarkan langkahku. Aku tak peduli apakah polisi-polisi itu masih mengejarku atau apakah mereka akan tetap mengikutiku seandainya aku sudah ada di kapal.
Kakiku lelah, betisku mulai lemas, tapi takkan kubiarkan perjuanganku sejak tadi sia-sia. Hanya sedikit lagi, selangkah lagi, aku akan meraih tujuanku.
Saat ini aku melangkah—lebih tepatnya menyusup—ke dalam sebuah kapal pengangkut barang yang tak terlalu besar. Aku menyelinap ke dalam ruang tempat mengemudi.
"Pak, berangkat, Pak! Cepet!" teriakku pada sang sopir kapal—atau waktu itu Bu Guru bilang nakhoda ya?
Matanya terbelalak menatapku.
"Heh! Kamu siapa?" tanyanya dengan suara lantang.
"Pak, aku ikut ya, Pak, aku dikejar polisi!" ujarku terus terang.
"Polisi?!" Mata bapak-bapak itu makin melebar.
"Plis ya, Pak! Nanti aku bantu angkat-angkat deh!"
Akhirnya dengan janjiku itu, sang sopir mengemudikan kapalnya. Kami pun menjauh dari pelabuhan, menjauh dari pulau, menjauh dari rumah ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top