Rumor Kelas 12
PRANG!
"Jatuh! Ada lampu jatuh!"
"Pinjam senter!"
Beberapa sorot spotlight ponsel menyala. Wajah-wajah panik dan kebingungan tampak, terinterupsi oleh jeritan.
"Helen ketimpa lampu gantung!"
Di antara hiruk-pikuk, Renata mundur beberapa langkah. Ia terlalu syok sampai tanpa sadar menabrak jendela besar.
Buk! Buk!
Renata membelalak. Ada orang di luar?
PRANG!
Kaca di sebelahnya pecah, menggores pipinya. Renata terpana.
Bukankah malam ini harusnya bahagia?
"Sial!"
Tiba-tiba, seseorang muncul dan menarik lengan Renata. "Nat, ikut aku! Maaf aku lengah, pipimu jadi luka!"
"Dana ...?"
Suara kaca pecah terdengar bersahut-sahutan. Enam orang berpakaian hitam masuk dan langsung menyerang. Cahaya senter menyorot tak keruan, seruan kaget dan ketakutan terdengar.
Dana menarik lengan Renata. "Sial! Kenapa sekarang?"
Keduanya berhasil keluar tanpa memancing keributan. Mereka melintasi halaman vila sampai ke gerbang. Dana tak berhenti, malah menarik Renata ke jalan.
"Kenapa ... apa yang terjadi?" Renata terengah.
"Kelas 12 ini terlalu datar!"
"Datar?"
Lelaki itu tak menjawab, tetap menarik lengan Renata. Ia tiba-tiba menyentak dan menggaet Renata ke balik sebuah pagar kayu.
"Aku pakai hak, tahu!" Renata mengeluh sambil melepas selopnya. Kakinya merah-merah. Perih.
Dana menunduk. "Jadi, tahun ini begini, ya ...."
"Aku enggak ngerti. Kenapa?"
"Pokoknya, jangan ke sana." tegas Dana. "Kamu diam di sini, biar aku cek situasi."
"Jelasin dulu!"
"Oh, pegang hapeku." Dana tiba-tiba menyerahkan ponselnya ke Renata dan langsung berlari.
"Dana! Tunggu!"
Percuma. Lelaki itu sudah memelesat tanpa memedulikan seruan Renata.
Anak perempuan itu linglung. Nanar ia menatap ponsel Dana di tangannya. Beberapa menit lalu, ia masih bercanda dengan teman-temannya. Menyimak hiburan malam itu, yang mungkin hanya sekali seumur hidup. Sampai tiba-tiba listrik padam, berbarengan dengan jatuhnya kandelir di aula.
Ini pasti mimpi.
Malam ini adalah prom night yang sudah banyak dinantikan anak kelas 12. Mengapa jadi kacau?
"Mana yang kabur?!" Seruan itu memecah lamunan Renata.
Kabur? Renata membatin. Ia takut. Kakinya yang tak beralas perlahan mundur, menjauhi suara tak bersahabat tadi.
"Heh, sialan! Masih bisa jalan ya kamu?!"
"Kamu yang sialan!"
Renata tercekat. Itu suara Dana. Berikutnya, ia hanya mendengar suara pukulan samar dari balik pagar. Renata menciutkan dirinya sampai terhalang alang-alang, lalu menarik napas dalam. Ia melirik ponsel Dana dan merasa tergelitik untuk membukanya. Ia celingukan, bersiaga meski keributan tadi mereda.
Renata, mereka mengincarmu.
Renata mengerjap melihat wallpaper ponsel itu.
Rumor, alias kecelakaan tahun-tahun sebelumnya, selalu melibatkan peringkat lima besar angkatan. Motifnya belum pasti, tapi sekolah turun tangan menangani.
Aku enggak peduli dengan sekolah. Aku peduli denganmu.
Kalau aku merasa ada apa-apa, aku akan menyuruhmu kabur dan meninggalkan ponselku denganmu.
Lalu ....
Renata terkesiap ketika ada lengan kekar yang melingkar di lehernya, membuatnya terangkat sampai tak memijak tanah. Ponsel Dana terjatuh, ia tercekik.
"Ketemu!" Suara berat terdengar di telinga Renata. "Anak kelima ketemu! Saatnya membereskan!"
"Lepas ...!" Renata meronta. Ia sama sekali tidak dalam posisi menguntungkan. Apalagi ia memakai gaun yang agak ketat, membuatnya kesulitan bergerak. Matanya mendelik, kakinya menendang-nendang.
"Tenang, kamu tidak akan mati tiba-tiba."
Sudut mata Renata melihat seseorang. Itu ... Dana. Tampak ingin merangsek ke arahnya, tetapi ditahan dua orang laki-laki lain. "Dan--"
"Jangan sentuh dia!" Dana berseru.
"Diam kamu!" satu orang menempeleng Dana.
"Sekarang bakal lebih parah dari sebelumnya. Kami terlambat gara-gara kamu!" Seseorang kembali memukul Dana. "Bisa-bisanya menutupi identitas seseorang seperti itu!"
"Kamu tahu kan kalau kamu begini bukan karena dia cewek?" Lelaki yang menarik Renata buka suara. "Diam saja, kamu peringkat bawah. Kalau enggak macam-macam, kami akan membiarkanmu."
Renata kembali berontak. "Dan--hmmmf!" Suaranya lindap karena lelaki tadi menutup wajah Renata dengan tangannya. Renata tak bisa melihat. Rasa perih di pipinya menjadi-jadi.
"Kembali ke bangunan tadi!" seru lelaki yang menahan Renata. "Buat laki-laki itu babak belur!"
Dana! batin Renata. Ia masih sangat kebingungan. Peringkat lima besar diincar? Sekolah turun tangan? Rumor itu nyata? Merasa tidak aman, Renata memilih pura-pura tak sadar.
Saat membuka mata, Renata tahu ia ada di ruang tengah vila yang kacau balau tadi. Hanya tampak beberapa orang yang tak sadarkan diri. Empat orang selain dirinya. Peringkat lima besar.
"Semua alat komunikasi sudah digeledah?"
"Sepertinya sudah, Bos."
"Anak laki-laki tadi mana?"
Renata tak menangkap percakapan setelahnya. Ia merenung. Sudah berapa lama waktu berlalu? Mungkin, ia sempat tak sadar sungguhan tadi. Diingatnya ponsel Dana yang terjatuh. Dalam hati ia berdoa supaya benda itu tak ditemukan.
Sekarang, apa yang terjadi pada semua orang di sini? Vila ini tak terlalu dekat dari jalan besar, tetapi semua orang tua murid dan pihak sekolah sudah tahu. Gerombolan berbaju hitam itu terlalu nekat.
"Yah, karena lima orang itu sudah di sini, kita mulai saja ...."
Renata menghidu sesuatu. Bau ini ... minyak tanah? Ia melonjak. "Gila! Mau bakar rumah?"
"Hei, Nona, kamu sadar?" Seseorang yang memegang jeriken di depan pintu menoleh. "Tenang aja, ini hanya untuk pagar. Butuh waktu beberapa menit buat mengurung kalian." Orang itu kini merogoh saku hoodie-nya.
Renata beringsut mendekati kandelir yang tadi terjatuh. Ia mengambil satu pecahan yang cukup besar dan berjalan ke arah orang yang kini melempar jeriken kosong dan menyalakan korek.
Jleb.
"A-ah!" Orang itu terkesiap. Korek terjatuh dalam keadaan mati.
"Pergi kamu!" Renata mengeratkan genggamannya meski telapaknya berdarah. "Pergi kalian, aneh!"
"Kamu pikir, luka segitu bisa menghentikanku?" Lelaki itu meraih korek tadi dan mendorong Renata. "Kami mau pergi, kok! Sana kamu diam saja!"
Renata kehilangan keseimbangan. Saat ia berhasil bangun, api sudah menyala dan orang itu menghilang.
"Hei! Teman-temanku masih di dalam semua!" Renata menjerit. Ia menatap sekitar dan berhasil menemukan jalan keluar yang belum terlalap api. Renata segera berlari menerobos lingkaran minyak. Matanya menelisik malam dengan penerangan minim dan api yang membesar di belakangnya.
Renata tak menemukan para penyerang tadi. Ia berjalan pelan sambil meringis menahan perih.
"Jangan harap bisa kabur!"
Renata menoleh. Namun, kalimat itu tidak ditujukan padanya. Tiba-tiba saja ada seseorang yang terlempar, berikut orang lain yang tampak siap menghajar.
"Sebentar lagi semuanya akan tiba. Kalian enggak bakal kabur. Enggak lagi-lagi, dasar kriminal!"
"Dana!" pekik Renata.
"Eh!" Dana turut kaget. "Mana yang lain?"
"Mereka akan terpanggang di acara sendiri." Lelaki yang dihajar Dana tadi buka suara. Ia menyeringai. "Eksekusi tahun ini terlambat, tapi kami akan menghabisi semuanya."
"Diam!" Dana membenturkan lutut ke wajah lelaki tadi yang langsung bergulingan di tanah. "Apa motif kalian? Lima tahun berturut-turut, ini semua karena kalian, kan?"
"Rumor itu ... benar?" Renata bengong sesaat.
"Oh, itu jadi rumor di antara kalian?" Lelaki tadi kembali menyeringai, meski sambil mengaduh. "Seru juga, ya."
"Dana, awas!"
Dana menoleh cepat. Ia menghantamkan siku kanannya ke seseorang yang hendak menyerangnya dari belakang. Satu orang lagi muncul dan langsung terkena tendangan berputar Dana. "Enak aja ngeroyok orang. Sini aku balas." Ia mengambil kuda-kuda, bersiap menendang lagi.
"Enggak usah sok jagoan!" Satu orang menarik kaki Dana sampai ia limbung. "Tenagamu enggak ada apa-apanya!"
"Lepaskan dia!" Renata maju dan menusukkan pecahan lampu yang masih ia pegang ke punggung orang tadi. Darah segar mengalir.
Laki-laki itu berseru kesakitan, lalu menatap Renata nanar. "Kamu ngapain? Menolong pacarmu? Enggak guna!"
"Balik ke vila!" seru Dana. "Ada bau hangus!"
Renata menoleh dan melihat asap membumbung, berikut jilatan api yang kentara di langit malam. Ia terpaku beberapa saat.
"Enggak ada yang keluar. Mereka semua pasti enggak sadar. Tolong bangunkan! Aku akan menahan orang-orang ini!"
"Yah, dia pasti akan ikut gosong di sana." Laki-laki yang masih memegang kaki Dana itu bergumam. "Bo, cegah dia."
Satu orang tiba-tiba muncul dari semak-semak dan berlari ke arah Renata.
"Jangan ikuti aku!" Renata melempar pecahan lampu yang ia pegang. Orang itu berhasil menghindar. Renata berlari sambil tersandung-sandung. Menyedihkan. Akhir SMA macam apa ini?
Renata terpana begitu melihat bangunan vila tadi. Pintunya terhalang api. Ia menoleh ke belakang, orang tadi sudah nyaris mengejarnya. Renata hendak menerobos jendela yang sudah pecah, tetapi bahunya ditarik. "Lepas!"
"Hari ini kami bakar vila kalian, besok kami bakar sekolah kalian ... dasar anak-anak sombong."
Renata berontak. Kakinya gagal menapak sempurna. Hal terakhir yang ia dengar adalah seruan memanggil namanya.
****
Renata mengerjap. Ia melihat halaman yang ramai oleh lampu sorot dan suara sirene. Dana duduk di sebelahnya, mengangsurkan gelas plastik berisi teh.
"Pasukan dari sekolah datang tepat waktu—atau agak terlambat?"
"Apa yang barusan terjadi?" Renata masih linglung.
"Kepalamu membentur batu."
Renata meraba kepalanya. Ada benjolan di sana.
"Enam orang diringkus, empat orang teman angkatan kita kritis, sisanya luka ringan dan baik-baik saja."
"Kamu tahu semua?"
Dana mengangkat bahu. "Aku kesal pas kamu protes keterlibatan sekolah buat semua acara akhir kelas 12. Rumor itu nyata, sekolah turun tangan. Ada sambungan khusus di hapeku ke dewan keamanan. Mereka sudah bersiaga sejak tadi, cuma karena kamu enggak menekan tombol di hapeku, mereka jadi telat."
"Oh ... itu ya pesan di wallpaper hapemu. Aku enggak sempat baca. Bertele-tele amat sih."
"Kukira, kamu bakal langsung buka hapeku, kamu kan kepoan." Dana meneguk tehnya. "Lagian, kamu enggak bakal mau melakukan sesuatu kalau enggak ada alasannya. Harus dijabarin dari awal. Kamu aja enggak percaya rumor, eh teror itu."
Renata mengiakan dalam hati.
"Sudahlah, teror tahun ini sudah lewat. Mungkin tahun depan ada lagi. Motifnya masih samar, tapi mungkin aku bisa menebak."
"Persaingan sekolah?"
Dana bungkam.
Dua anak itu diam, menyaksikan kerangka vila temaram di hadapan mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top