Murka
Arta menatap lawan bicaranya nanar. Napasnya memburu dan kedua tangan yang mengepal erat pun bergetar diliputi amarah membara. Wajah yang penuh nafsu membunuh itu semakin terlihat mengerikan diterangi lampu jalan dari tepi lapangan.
"Lepasin adikku, Do!"
"Lo marah?" Nando menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Bagus! Gue malah pengin lo ngamuk kayak dulu."
Arta menggeram melihat Laila terduduk tak sadarkan diri di tanah berumput pendek yang basah akibat hujan barusan. Tangannya terikat ke belakang. Tubuh gadis yang disandarkan ke pohon kamboja itu sebagian tampak berlumur lumpur. Arta merasakan api terus berkobar dan membakar akal sehatnya.
Di tanah lapang kosong sebelah pemakaman, dua pemuda yang dulu pernah akrab itu, justru kini ingin saling serang. Gerimis masih turun perlahan, hawa dingin terasa menyusupi jaket kulit yang mereka kenakan.
"Enggak usah sok menahan diri supaya nggak membunuh lagi." Nando mencebik sinis sambil melepaskan jaket dan melemparkannya sembarangan ke tanah. Dia mengambil parang besar dengan lengan kukuh yang terlatih. "Kalau lo nggak bisa membunuh gue seperti yang lo lakuin pada lawan-lawan kita dulu, udah pasti adik lo yang nanti akan mati!"
"Dia ... nggak ada hubungannya sama kita! Jangan sentuh adikku!" Arta berusaha bicara dengan tenang meski yang terdengar hanya suara dengan tekanan rendah penuh ancaman.
"Sejak lo nemu keberadaannya, lo malah cabut dari organisasi. Kabur gitu aja! Dia bikin lo jadi pengecut! Kita lihat, apa kemampuan bertarung lo masih sama kayak dulu!"
Secepat kalimat itu terhenti, Nando melompat ke arah Arta dan menghunus parang dari sarungnya sebelum disabetkan ke Arta penuh kebencian.
Arta tak mungkin bisa menghadang serangan sejenis ini tanpa senjata. Maka Arta pun menyentak belatinya keluar dari balik jaket.
"Udah lama gue nggak lihat senjatamu, Ta! Jadi cuma selemah itu janji nggak mau membunuh lo?"
Arta menggeram ketika satu tebasan Nando mengarah ke kepala. Pemuda itu mengangkat tangannya untuk melindungi diri.
Suara besi beradu terdengar. Tenaga Nando tidak bisa diremehkan. Apalagi senjatanya besar dan memiliki tekanan besar saat diayunkan. Tidak lama, Nando melakukan tendangan ke depan. Arta melompat mundur untuk menghindar.
Tiba-tiba suara erangan Laila terdengar. Arta menoleh kaget.
Kesempatan itu tak disia-siakan Nando. Dia langsung mengayunkan parang berusaha menebas leher lawannya tanpa ampun.
Dengan gesit Arta melengkungkan punggungnya ke belakang tepat sebelum sabetan parang menyentuh kulit.
Arta kini berusaha menjauh dari sabetan parang Nando yang membabi buta. Pemuda dengan rambut lurus yang mulai basah terkena hujan itu berusaha untuk menekan keinginan membunuh yang sedari tadi memenuhi dadanya.
Nando mulai kehabisan kesabaran. Tak satu pun serangannya masuk mengenai Arta. Sejenak dia mengambil napas.
"Setidaknya, gue bisa mencicipi cewek ini kalau—"
Tak sempat Nando menyelesaikan kalimatnya, Arta melompat ke depan dengan cepat menyorongkan belatinya ke depan. Nando berusaha menangkis dengan parangnya, tapi Arta yang sempat mendarat dengan kaki kirinya, menjatuhkan tubuhnya, lalu menggunakan kaki kirinya sebagai poros dan berputar untuk menyelengkat kaki Nando hingga terjatuh.
Nando belum menarik napas ketika belati dingin menempel di lehernya. Wajah Arta terlihat murka. Butuh pengendalian sangat besar untuk tidak menyayatkan belati yang sangat tajam itu ke leher lawannya.
Ada udara yang ditarik kasar dari sela-sela gigi yang mengatup rapat. Napas Arta putus-putus dengan ekspresi serupa binatang buas yang siap menghabisi mangsanya.
"Ka-kak... jangan..." Suara Laila terdengar pelan, tapi cukup untuk mengembalikan kesadaran Arta hingga langsung melempar belatinya sendiri ke samping sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Jangan pernah menyentuh adikku! Atau akan kubuat kamu menyesal pernah mengenalku!" desisnya.
Arta menghantamkan kepalan tangannya kuat-kuat ke wajah Nando hingga merontokkan beberapa buah giginya dan membuat pembunuh bayaran sombong itu pingsan.
Arta bangkit dan mengibaskan lumpur yang ada di lututnya.
Dia bergeser ke arah Laila dan melepaskan ikatan yang membelenggu gadis itu.
"Enggak apa-apa, La. Kamu sudah selamat."
Laila menghambur dalam pelukan Arta. Dia menangis penuh kelegaan. "Terima kasih, Kak."
"Maafkan Kakak. Harusnya kamu nggak perlu terlibat dengan masa lalu Kakak. Harusnya..."
"Enggak, Kak!" potong Laila cepat. Gadis itu melepas dekapannya dan menangkup wajah kakaknya erat. "Terima kasih telah menemukanku."
Arta menarik Laila kembali dalam dekapannya. Membiarkan semua amarah yang sedari tadi melingkupinya luruh seiring hujan yang jatuh memeluk bumi.
4 Oct 21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top