Jurang

Kalau terus begini, aku akan berakhir sama seperti pelayan yang lain. Aku tidak ingin mati sebelum melaporkan apa yang terjadi di rumah itu kepada pihak yang berwajib. Cukup sudah aku menahan selama sepuluh tahun ini.

Aku terus berlari menyusuri hutan belantara yang entah di mana ini. Diriku sungguh tidak tahu-menahu apa nama kota atau terletak di negara bagian mana ini. Yang aku tahu, rumah besar bak istana itu berdiri kokoh di tengah hutan.

BAM!

Suara keras dari belakang itu membuatku menoleh sedikit. Di sana, terdapat sesosok tinggi besar yang tengah membawa palu sedang berjalan ke arahku. Mata merahnya langsung menusuk manik mataku ketika tidak sengaja bertatapan.

Sontak lariku semakin kencang sembari sesekali menoleh untuk memastikan aku berada di jarak aman. Namun, sosok itu tidak putus asa, terus mengikutiku dengan langkah lebar.

Di hari yang semakin gelap ini, aku harus berlari jika masih ingin bertahan hidup. Melalui berbagai rumput ilalang yang tingginya sejajar perut, melewati pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, juga harus berhati-hati pada sesuatu di depanku. Entah itu hewan, tumbuhan, atau benda mati. Mereka bisa menjadi ancaman kapan saja. Namun, hal paling menakutkan saat ini adalah, langkah besar sosok di belakangku itu terasa lebih cepat dari sebelumnya.

Alhasil, aku meningkatkan kecepatan lariku dengan berkali-kali menoleh ke belakang. Namun, karena fokusku terbagi, aku tidak sadar jika di hadapanku jalannya tidak lagi tanah, melainkan bebatuan. Aku harus lebih waspada lagi sebelum—

BRAK!

Sial! Aku salah menginjak batu sehingga tergelincir dan terjatuh. Tubuhku terasa remuk harus terbanting keras di bebatuan. Tidak hanya itu, kakiku kananku memar sampai susah digerakkan.

Kini, napasku lebih ngos-ngosan karena jarak antara orang itu denganku tinggal tiga meter lagi.

"Masih ingin lari? Hahaha ...." Tawa sosok besar itu terdengar serak menakutkan. Palu besar di tangannya ia pindah ke pundak.

"To-tolong ampuni aku ...," ucapku dengan suara lemah.

Aku tidak bisa berdiri, alhasil hanya mengesot agar jauh dari orang yang semakin mendekat itu.

"Sudah berani mencoba kabur, lalu meminta maaf?! Bukankah sudah tahu konsekuensinya dari awal?!" Seorang lainnya muncul dari balik tubuh besar orang tadi dengan seringaian menyebalkan. Orang itu merupakan pemilik rumah sekaligus yang paling berkuasa di rumah itu.

"Ma-maaf. A-aku janji tidak akan mengulanginya." Aku menangis terisak. Meskipun hidup di tempat ini begitu susah dan menakutkan, aku ingin mempertahankan hidupku. Aku sudah berjanji akan membalaskan dendam para pelayan yang telah mati sebelum aku.

"DIAM! ATO!"

Sosok bertubuh tinggi besar bernama Ato itu mendekatiku, lalu melayangkan palunya tepat di hadapan wajahku. Aku tidak bisa menghindar. Tubuhku terasa kaku. Rasanya aku akan mati saat ini juga.

BAM!

Suara palu besar yang beradu dengan batu menggema di tengah hutan itu. Aku merasa seperti sedang terjadi gempa bumi. Palu itu mengenai batu di samping wajahku sampai hancur berkeping. Jika saja mengenai waja—

BAM!

"AAAAAAAAAAAAAAA!" Teriakanku bertahan selama lima belas menit. Apalagi saat ketiga kalinya orang itu mengayunkan palu besar itu tepat di depan wajahku. Kepalaku mungkin akan hancur lebur seperti batu di samping.

Tubuhku benar-benar tidak bisa digerakkan. Padahal aku ingin menghindar dari palu itu. Rasanya, jantungku akan hancur lebih awal daripada wajahku.

BAM!

Benda yang terkena pukulan palu itu benar-benar hancur. Kali ini, bukan wajahku, tetapi kakiku. Aku berusaha menghindar dengan mengesot, sehingga palu besar itu tidak mengenai wajahku, melainkan kaki kananku yang sebelumnya sudah memar berdarah.

Pemandangan yang biasa kulihat setiap hari sangat berbeda dengan kali ini. Kali ini, kakiku sendiri yang hancur, tepat di depan mata. Darah bercecer membuat air mataku meluruh deras.

"To-tolong ...."

Hari gelap itu semakin buram di mataku. Rintik hujan turun membasahi bumi dan isinya. Aku yang masih menatap ngeri kaki kananku harus menahan rasa perih saat air hujan mengguyur darahku. Air mata perlahan menyatu dengan air hujan.

Sakit sekali. Pedih sekali sampai rasanya aku sudah pasrah. Mungkin ini takdir, aku harus mati sekarang juga.

Samar-samar aku masih bisa melihat ekspresi Ato yang kembali mengangkat palu besar itu untuk mengenai tepat pada wajahku.

Aku benar-benar sudah pasrah, menelentangkan tubuhku di atas bebatuan. Tidak peduli lagi tentang hidup. Hanya berharap semoga suatu saat kebusukan mereka terbongkar. Dalam hati aku meminta maaf kepada para pelayan yang telah mati mendahuluiku. Rencanaku untuk meminta keadila mereka tidak terlaksana.

Ketika palu itu diangkat lagi dengan bidikan tepat di wajahku, keadaan sekitar seakan slow motion. Aku menutup mata dengan damai.

BAM!

Suara keras itu menggema, mengambil alih sebentar suara rintikan hujan. Namun, aku tidak kunjung mati. Aku masih sadar. Dengan perlahan kubuka kembali mataku, lalu mendapati seseorang berdiri di bawah kakiku yang selonjor.

Orang itu yang ternyata adalah Ruran, juga pelayan di rumah itu, tengah menahan palu besar itu agar tidak dibanting ke wajahku. Satu tangan perempuan itu melempar kayu ke arahku. Lalu, tatapan wajahnya menyiratkan agar aku segera pergi dari sana.

Perlahan aku bangkit dengan satu kaki. Aku menunduk, sejujurnya tidak ingin pergi, orang yang membantuku itu sudah terdesak. Ia pasti hampir mencapai batas menahan tenaga sebesar itu.

"Masih mau coba lari?" tanya seorang lagi yang bernama Mogi, si pemilik rumah. Ia perlahan mendekatiku dengan sepotong besi linggis mengkilap. Wajahnya di bawah hujan terlihat menyeramkan. Apalagi saat wanita muda itu mendongak dengan tatapan tajam mengarah pada manik mataku.

Aku jadi tidak kuasa untuk berdiri. Tubuh kurusku terlalu ringkih karena kurang gizi.

"Anneth—"

Suara orang itu yang menyebut namaku terhenti saat aku melemparinya batu. Aku segera berjalan tertatih saat Mogi sedang terfokus pada batu yang kulempar tadi.

Aku segera menggunakan kayu pemberian Ruran untuk membantu berjalan. Dengan segenap tenaga dan ketakutan luar biasa, aku segera melarikan diri dari sana. Meskipun aku tahu langkah Mogi lebih cepat dari langkahku.

"Heh, Bocah! Berani-beraninya kau!" Mogi mempercepat langkahnya menyusulku.

BAM!

Mendengar suara palu itu lagi, ingin rasanya aku menoleh. Di belakang, Ruran pasti tidak sedang baik-baik saja.

"Tidaaaaaakkkk!"

Teriakan Ruran membuatku menoleh. Namun, tepat di belakangku terdapat Mogi. Wanita itu langsung menjambak rambutku sehingga aku terjatuh lagi di tanah.

Ia menggenggam erat rambutku, lalu menyeretnya. Kini, aku tidak bisa lagi melawan. Kaki kananku tidak bisa digunakan. Kaki kiriku sudah melemah. Aku hanya pasrah.

Wanita itu melempar tubuhku ke tanah sampai mengeluarkan suara keras.

"AAAAAAAAAAAAAAA!" Memang, tubuhku seakan mati rasa, tetapi aku masih bisa merasakan saat ia membantingku.

Ia menyeret linggis di tangannya sehingga menimbulkan suara berderit panjang. Lalu, ia mengangkat benda besi itu tepat di depan wajahku. Ia pasti akan langsung menghabisiku tanpa berpikir banyak.

Namun, belum sempat benda itu mendekati tubuhku, seseorang menarik tubuhku lebih dahulu.

Perempuan yang menolongku tadi datang langsung menarikku agar berlari mengikutinya. Aku tidak sempat menanyainya bagaimana bisa ia mengalahkan Ato yang besar.

Sontak Mogi mengejar kami yang berlarian terus ke depan. Ke tempat yang tidak terlalu banyak rumput ilalang. Meskipun hari semakin gelap, di sana tidak segelap di antara rimbunnya pepohonan.

Kami terus berlari, tidak peduli sulur-sulur berduri yang mengenai kaki. Aku juga tidak peduli kaki kananku semakin membusuk.

Lalu, lari kami yang semakin kencang itu dikejutkan oleh udara kosong. Kami mencapai akhir dari jalan setapak itu, akhir dari segalanya.

Tubuh kami terguling di tanah berumput hingga bawah yang terlihat gelap. Lalu, disusul teriakan suara Mogi.

"AAAAAAAAAAAAAAA!"

Wanita itu terjun bebas mendahului kami ke jurang lebih dalam lagi. Aku bisa melihatnya dari atas. Entah dalam keadaan sadar masih hidup, atau malah arwahku sudah melayang menuju tempat selanjutnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top