A Circuit
Ruangan putih yang terlalu terang. Hanya ditemani benda mati seperti komputer, kabel, tabung berbagai fungsi, dan alat-alat lain yang sulit dijelaskan, pria muda itu duduk di tengah-tengahnya. Pria itu sibuk dengan peralatan mekanik yang asyik diutak-atiknya. Terlalu fokus, sampai mungkin tak sadar sudah berapa lama waktu berlalu.
Dari balik pintu ruang kerjanya, seorang gadis kecil mengintip sebentar. Lalu, dengan langkah kecil ia menghampiri pria tersebut. Pria itu masih tidak menyadari kehadiran gadis kecil dengan tinggi sedikit melebihi meja yang sedang ia pakai, hingga ia harus menoleh untuk mencari benda kecil lain yang menjadi bagian alat yang sedang dibongkarnya barulah matanya melebar.
"Lascrea!" teriaknya, hampir menjatuhkan barang di tangan. Anak perempuan yang dipanggil itu pun sedikit terkejut melihat reaksinya.
"Pa ...." Ia mengucap setelah keterkejutannya mereda.
"Ka-kamu sedang apa di sini?!"ujar dirinya panik. "Jangan masuk ke sini, Lala!"
"Tapi, Papa tidak pernah melarang ...." Suaranya lemah dan lembut. Ia menempelkan telunjuknya pada bibir.
"I ... Iya." Papanya memasang wajah tak enak. "Soalnya Papa mengira kalau kamu tidak akan masuk ke sini." Ia mencoba fokus kembali pada pekerjaannya. "Karena Lala anak penurut, jangan lakukan apa-apa selama di sini, ya ...."
Tiba-tiba lampu penerangan ruangan itu padam. Pandangan sekitar menjadi gelap total. Cemas, pria itu langsung berujar, "Lala! Diam dan jangan ke mana-mana!"
Mengandalkan indera perabanya, ia mencoba mencari laci tempat ia menyimpan alat bantu penerangan. Ia menemukannya, lantas segera ditariknya laci tersebut dan kembali meraba untuk mendapatkan alat yang tepat. Ia memberikan salah satunya pada anaknya kemudian.
"Lala, pegang ini, ya," suruhnya setelah ia menyalakan alat itu. Ia melihat anak perempuannya mengangguk di keremangan. Pria itu kemudian berdiri dan memegangi bahu anaknya.
"Kok bisa padam listrik begini. Mama sudah bayar tagihan listrik 'kan, ya?" Ia berujar kebingungan. Tak lama setelah itu, ia berucap, "Lala, ikut Papa."
Lascrea yang dipanggil 'Lala' menurut. Meski sudah membawa senter, ia tetap memperhatikan anaknya kalau-kalau ada benda yang menghalang di hadapan. Mereka berdua masuk ke bagian ruangan yang terdapat sirkuit berukuran sedang di ujung ruangan satunya, selain keberadaan komputer-komputer lain yang ada di sekitar.
"Lala, tolong terangi ke bagian sini, ya." Papa Lala menunjuk ke arah lemari berlaci di dekat mereka. Lala langsung menerangi bagian yang ditunjuk papanya. Pria muda itu segera mencari peralatan yang dibutuhkannya dan mengambilnya beberapa. Setelah itu mereka beralih pada sirkuit yang ditutupi besi kotak berwarna perak di sisi ruangan. Ia mulai memasang senter kepala dan menyalakannya, masih dibantu penerangan dari senter yang dipegang Lala juga.
Kabel-kabel pada sirkuit itu tidak begitu rapi. Ia tahu pasti ada yang tidak beres. Ia berkutat sembari mengganti sambungan, serta memasang dan menyambungkan kabel yang ternyata belum terpasang. Lala hanya diam, tetap menerangi bagian sirkuit yang dikerjakan oleh sang papa. Di balik binar matanya, ia menikmati nyala sinar yang indah dari benda yang dipegangnya. Tidak putih bersih, tetapi sedikit tercampur dengan warna biru kehijauan.
Lala sudah berkali-kali mengganti posisi tangannya supaya tidak kelelahan, tetapi ternyata Papa semakin lama justru tampak semakin kebingungan hingga akhirnya ia berhenti.
"Aneh." Ia bergumam sendiri. "Ini tak seperti biasanya. Apa karena aku bukan lulusan bidang Elektro? Tapi, biasanya aku tetap bisa mengatasinya, kok ...."
Lala memandangi papanya bimbang, dan tak lama sang ayah melihatnya.
"Papa tidak bisa membuat listriknya menyala lagi, Lala." Kemudian, pria itu memasang pose dengan lagak berpikir. "Kira-kira kenapa, ya?"
Anak gadisnya menyoroti bagian setengah wajah sang ayah, menampakkan kesan tampilan yang aneh. "Lala penasaran juga?"
Wajah Lala agak sedikit antusias. Ia mengangguk.
"Lala, kan, anak pintar. Coba pikirkan bersama Papa kenapa hal seperti ini bisa terjadi?"
Kedua anak-ayah itu sama-sama memasang pose berpikir lagi. Pemadaman bergilir? Tidak mungkin, karena pengganti tenaga listrik di rumahnya akan langsung hidup jika lampu padam, bahkan bisa tak perlu ada jeda untuk beralih ke genset. Apa tiba-tiba tegangan listrik di tempatnya naik? Tidak. Belakangan ini tidak ada hujan apalagi badai petir, dan menurutnya tidak ada kemungkinan besar lain yang mendukung kalau tegangannya akan naik ... atau jangan-jangan turun? Tetapi, karena apa? Atau ada hal lain?
"Hm." Pria itu berdiri. "Lala, ikut papa ke luar, yuk."
Lala segera berdiri dan mereka berdua berjalan ke luar ruangan, menaiki tangga menuju lantai utama rumah, melewati ruang keluarga hingga sampai di halaman belakang. Pria itu meraih kursi terdekat, lalu berdiri di atasnya. Mukanya kini menghadap sebuah meteran listrik berbentuk minimalis yang disediakan berbagai tombol selain dari angka satu hingga sembilan—dan juga pagar. Ia mengingat-ingat dengan pasti cara mengoperasikan benda itu dengan baik—kalau salah bisa-bisa hal yang gawat akan semakin terjadi.
Lala kembali memandangi kegiatan ayahnya itu dalam waktu yang cukup lama sampai suara sapaan seseorang pun terdengar. "Mama pulang!"
Beberapa saat kemudian, sosok wanita muda pun muncul di hadapan mereka berdua lantaran mungkin tidak ada yang menyambut. Ia menatap suaminya yang masih sibuk dengan tombol di meteran. "Listrik mati?"
"Iya, aku tadi lagi di bawah. Aku sudah coba pasang ulang sirkuit di bawah karena ruangan bawah juga jadi pembatas alirannya selain memakai daya terbesar juga, tetapi ...."
Wanita itu masih menatap lelaki di hadapannya sesaat.
"Boleh kulihat?" tanyanya ketika sang suami berhenti menekan tombol. Lelaki itu pun turun, dan istrinya menggantikan posisi sembari mengatur tinggi kursi pinjakan. Pria itu tetap membiarkannya meski tahu kalau istrinya tidak mengerti apa-apa soal 'mengutak-atik barang'. Sang istri lebih tampak mencari fitur lain untuk ia gunakan.
Suara 'klik' kemudian terdengar dan seketika lampu ruangan menyala.
"Pembatas arusnya," katanya menoleh pada dua orang di bawahnya. Mama Lala lantas turun dan berlalu ke ruang lain begitu saja.
Papa Lala memijit pelipisnya sambil menutup muka. Tak begitu lama menunggu sebuah ucapan keluar dari mulutnya.
"Ayah tidak teliti, La." Kata yang paling anti ia dengar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top