Tempat Ketiga
Sudah tiga hari aku berkendara mencari adikku yang hilang. Hal tersebut membuatku benar-benar sangat lelah. Sekarang, aku memutuskan untuk menginap terlebih dahulu.
Kurebahkan dulu diri di kasur setelah meletakkan barang di sembarang tempat. Suasana kamar ini yang terasa sempit membuatku tidak bisa tidur barang sekejap. Akhirnya aku memutuskan untuk mengecek kembali peta yang telah kutandai.
Kota ini tidak terlalu besar. Ada hutan yang mengelilinginya dan beberapa desa mati. Ada tiga tempat yang baru kudatangi: jurang, pinggiran hutan, dan satu desa mati. Aku bukannya berharap kalau adikku sudah tiada, hanya saja hilang tiga hari membuat pikiranku menjadi liar. Polisi bahkan belum memberi kabar.
Kulingkari tempat-tempat yang sekiranya menjadi tempat adikku terakhir berada. Kuperkirakan kembali lokasi yang memungkinkan bagi si pembunuh untuk membuang sebuah jasad. Dalam situasi seperti ini, mau tidak mau aku harus berpikir seperti pembunuh.
Di tengah kalutnya pikiran, ponselku berdering.
"Kapan kau akan pulang, Nak?"
"Aku akan pulang setelah menemukannya."
"Pulanglah. Polisi juga telah berusaha dengan keras."
"Ibu tenang saja, aku pasti akan membawa adik kembali."
"Ibu hanya ingin bersama anak ibu setelah kejadian-kejadian ini."
"Nanti aku pulang."
Sambungan terpaksa kututup sepihak karena tidak ingin memperpanjang masalah. Kulanjutkan kembali apa yang sempat terputus tadi.
Pagi harinya aku keluar dari penginapan dan mencoba memulai kembali pencarian. Tempat pertama yang kudatangi adalah tepian pantai, tetapi bukan pantai biasa. Deburan ombaknya mampu memecah karang yang menghalangi. Karang-karang tajam di bawah sana mampu mencabik-cabik apa pun yang jatuh ke atasnya. Pantai yang ganas. Aku pasti sudah gila bila berharap menemukan adikku di sini.
Kulajukan mobilku perlahan ke tempat lain. Ke daerah hutan lainnya yang belum pernah terjamah. Melewati lorong yang sangat panjang membuatku merinding. Aku akhirnya keluar dari terowongan itu dan disambut dengan deretan pohon-pohon rindang. Kususuri terus jalan itu, tetapi tidak kurasakan perasaan janggal. Tanah tempat pohon-pohon itu ditanam melandai ke bawah, menyulitkan orang-orang untuk berjalan di antaranya. Aku berkendara lagi sampai menemukan terowongan lainnya lantas berbalik.
Ini mungkin akan menjadi tempat terakhir yang kudatangi. Kulajukan kendaraanku dengan kecepatan tinggi melewati hutan-hutan dan kota menuju salah satu desa mati. Desa ini seharusnya yang menjadi pertama, karena firasatku bilang dia ada di sini, tapi aku malah mengabaikannya.
Rumah-rumah reot, rumput-rumput tinggi. Aku memutuskan untuk tidak memeriksa mereka satu per satu. Kuputuskan untuk memeriksa bangunan yang paling membuat firasatku bergejolak: gereja tua di tengah desa.
Kudobrak pintu yang sudah reot itu. Kudekati mimbar yang ada dan mendapati peti mati dengan jasad di dalamnya.
Kuhubungi seseorang. "Halo, Bu. Aku akan segera pulang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top