Sneak In

Senyuman mengembang di wajahku, ketika aku berhasil masuk ke dalam lubang ventilasi kecil yang letaknya agak tersembunyi di antara semak. Akhirnya! Perjuanganku berbulan-bulan mengintai rumah megah ini telah membuahkan hasil.

Dari yang kuperhatikan selama ini, rumah megah ini hanya dimiliki oleh seorang pria tua yang selalu berpakaian jas mahal. Penjagaan di sini cukup ketat, walau kenyataannya tidak ada satu pun dari penjaga atau pembantu di rumah itu benar-benar menginap di sana.

Setiap pukul tujuh malam, penjaga dan pembantu akan berbaris untuk keluar dari rumah itu. Dan karena aku cukup teliti untuk hal kecil seperti itu, aku bahkan menghitung satu persatu dari mereka. Ada tiga puluh tujuh penjaga dan dua puluh empat pembantu.

Ini sudah pukul tujuh lewat lima menit, yang mana halnya ... BINGO! Mereka semua sudah pulang dan hanya ada pria tua tak berdaya itu di rumah megahnya.

Ada lima penjaga dari sisi pagar, tapi mengawasi rumah sebesar itu, tentu saja mudah untuk kuterobos. Terkadang aku bingung juga dengan orang-orang kaya yang tidak mau repot-repot mempekerjakan penjaganya 24 jam. Mereka sangat lalai, aku bahkan bisa menembusi ventilasi itu hanya berbekal beberapa alat.

Sekarang, aku bebas berkeliaran di ventilasi rumahnya. Oh, mungkin tidak sebebas yang kukatakan barusan. Lorong ventilasi cukup sempit untuk melakukan perputaran arah dan satu-satunya kesempatan adalah ketika menemukan pertigaan. Atau mungkin setelah aku berhasil turun dan mengamankan harta benda, lalu menyusup kembali ke ventilasi dan kembali ke jalan pulang.

Pelan dan hati-hati, aku memanjat naik. Berbekal sebuah senter, aku merangkak pelan di dalam ventilasi. Mulai terlihat celah cahaya yang menandakan lubang ventilasi dari kejauhan. Kubelokkan tubuhku untuk menjangkau tempat itu tanpa mengeluarkan suara.

Tanganku bisa merasakan tekstur yang tidak familier dari lorong besi panjang yang tengah kujelajahi. Kuabaikan sensasi itu dan mencoba menghibur diri; debu digenggaman tidak akan menghentikanku.

Beberapa saat kemudian, celah cahaya itu berhasil kucapai.

Ruangan yang ada di bawah sana terlihat amat normal. Hanya ada sofa berwarna gelap, beberapa lukisan besar yang sepertinya tidak akan muat di lubang ventilasi. Dan tentu saja, seperti yang sudah kuduga, tempat itu sepi sekali. Sepertinya aku tetap harus melanjutkan perjalananku sampai aku menemukan ruangan lain yang mungkin menyimpan lebih banyak harta lain.

Akhirnya, kulewati lubang masuknya udara dan kembali kunyalakan senter untuk melanjutkan perjalanan. Mungkin terlalu berlebihan, tapi firasatku mengatakan bahwa pria tua ini pasti menyimpan harta kekayaaannya di rumah. Maksudku, orang tua biasanya tidak berani meninggalkan harta mereka jauh-jauh dari sisinya. Kalau pria tua ini sekolot itu, malam ini aku pasti akan bermimpi indah.

Beberapa menit merangkak di lorong sempit itu, tiba-tiba saja tercium bau busuk yang menyengat hidung. Refleks, tanganku menjepit pangkal hidung, lalu berdecak pelan ketika tak sengaja membawa debu ke hidungku.

"Sialan! Apa aku sudah dekat dengan ventilasi udara di toilet pria tua ini?" gumamku mengumpat, kucoba melakukannya dengan pelan.

Aromanya sungguh busuk! Aku tidak bercanda! Habis makan apa pria tua ini?!

Terlalu sibuk merutuk sial, aku sampai tidak sadar bahwa aku sudah merangkak dekat salah satu lubang ventilasi. Yang kupikirkan sejak mencium aroma busuk itu hanyalah satu; ingin segera menjauhi aroma itu dan pergi ke lorong lain. Tentu saja aku hanya bisa melakukannya apabila menemukan perbelokan. Sayangnya, semuanya hanyalah sebatas angan, karena aku yakin telah sampai di celah ventilasi dimana aroma busuk itu bersumber.

Awalnya, niatku hanyalah mencoba melewatinya tanpa suara ... hingga akhirnya, aku tersadar bahwa ruangan di bawah sangat teramat hening. Sunyi, seolah tidak ada apapun di bawah sana.

Heran dengan hal itu, rasa penasaran kini memenangkan pikiranku. Bahkan, perlahan aku mulai lupa dengan aroma busuk tadi. Celah cahaya yang berasal dari templengan besi untuk lubang ventilasi tadi pun kujangkau perlahan.

.

.

.

.

Sial.

SIAL!

Alangkah terkejutnya diriku saat menemukan genangan merah pekat di bawah sana. Seluruh lantai dibanjiri air darah, sampai-sampai aku tidak bisa menebak warna asli dari keramik lantai itu.

Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba terdengar suara.

DUK! DUK!

Titik-titik keringat terkumpul di pelipisku. Jantungku berdebar sangat kencang, sampai-sampai hanya suara itu yang kudengar bersamaan dengan keributan di bawah sana.

Sebuah kepala bersimbah darah yang menggelinding, lalu berhenti tepat di bawahku.

Sialan!

SIALAAAAN!

Aku langsung tersadar bahwa aku berada dalam bahaya besar. Ingin sekali aku berputar balik, tetapi lorong yang kujelajahi saat ini teramat sempit. Pilihannya hanya dua; merangkak lurus ke depan dan mencari perempatan lain untuk berputar balik atau merangkak mundur. Aku memilih opsi kedua tanpa berpikir panjang.

Pikiranku saat itu hanya satu: ingin segera keluar dari rumah itu.

Kepanikan membuatku lupa bahwa aku seharusnya tetap tenang dan melakukannya tanpa suara. Aku tahu, ceritaku akan segera berakhir, ketika kulihat celah cahaya tadi kini tertutup rapat dan sumber penerangan satu-satunya hanyalah senter di tanganku.

A-ada apa ini?!

Tiba-tiba saja asap tebal muncul dari ujung lorong yang kulihat. Mereka sangat cepat dan langsung menyusulku tanpa perlu waktu yang lama.

Kujepit hidungku, tapi tetap bisa menghirup sedikit asap itu. Baru tercium sedikit, tubuhku seperti kehilangan tenaga. Menyadari itu amat berbahaya, aku semakin panik. Kukeluarkan semua alat-alatku dari saku dan mencoba menusukkannya di bawahku, tapi rupanya besi itu sangat tebal, sehingga sulit untuk dilubangi.

Putus asa, kugunakan sisa kekuatanku untuk merangkak mundur dengan cepat dan aku harus melakukannya sambil menahan napas.

Terus mundur ke belakang, aku tetap belum menemukan jalan keluar. Sementara itu, asap tebal berwarna putih itu mulai memenuhi seluruh lorong. Cahaya senterku tidak dapat menjangkau apapun kecuali asap putih itu.

Dadaku terasa amat sesak, hingga akhirnya aku tidak kuat lagi.

Aku jatuh dalam posisi terlungkup, telingaku menempel pada besi di bawahku. Lalu, sayup-sayup, terdengar suara seorang pria tua dari kejauhan,

"Oh, akhirnya tikus lain tertangkap lagi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top