Mencari Obat Rahasia
Aku terpana memandang kertas kusam kecokelatan yang kini ada di genggaman. Aku tak bisa membaca kertas berisi sekumpulan titik-titik tidak jelas seperti lukisan yang terselip di akhir halaman salah satu buku laporan yang tengah kukerjakan. Apa ini?
Tiba-tiba, seseorang mengambil kertas itu. Dia mengamati sejenak dengan membolak-baliknya beberapa kali. Alis tebalnya mengerut selintas sebelum akhirnya meletakkan kertas tipis di atasnya.
"Aku mengerti. Ini seperti rasi bintang. Hubungkan saja titiknya secara horizontal dan vertikal." Tangannya dengan cekatan mencoret-coret di atas kertas.
"Dua puluh kilometer keluar dari markas ke arah timur menuju obat untuk membuat dirimu mampu mengalahkan semua penjahat!"
Kak Darma, ah bukan AKP Darma membacakan petunjuk di atas kertas lusuh dengan lancar. Aku mengamati jam tanganku. "Apa kita akan ke sana?"
Dia mengangguk. "Ini kode dari Pimpinan. Kita harus melakukannya!"
Aku langsung menyambar topi dinasku. Misteri ini harus kami pecahkan! Obat itu akan kami dapatkan! Kami akan menjadi polisi hebat yang mampu memberantas semua kejahatan di muka bumi! Sama seperti yang dilakukan almarhum Ayah!
Lagipula, aku punya AKP Darma. Aku sangat kagum padanya. Setiap keputusan yang dibuat selalu membuatku terpana. Termasuk dalam pencarian obat istimewa ini, dia tak ragu memimpin dan aku jadi yakin kami akan mampu menyukseskannya.
Kakak yang kubanggakan.
Kami pun bersiap. Kumasukkan senter, pisau, tali, dan masih banyak lagi alat hingga tasku menggelembung. Aku agak kesulitan ketika meletakkan tas ini di bagasi.
"Aiptu Reina, kita bawa tasku saja. Kamu bawa walkie-talkie saja. Jangan bawa barang terlalu banyak. Hanya akan capek di jalan. Mengerti?"
Mataku langsung berbinar-binar! Luar biasa! Aku tak berpikir sejauh itu. Kupikir, peralatan banyak akan sangat berguna nanti. Ternyata aku salah.
Kepalanya meneleng memastikanku naik ke mobil dengan cepat. Diiringi suara menderu, kami bergerak dua puluh kilometer ke arah timur.
Tak terasa, kami tiba di tepi lembah. Aku menatap tajam ke bawah. Mobil jelas tidak bisa turun ke bawah. Pimpinan akan marah jika mobil kami sampai rusak. Apa benar kami harus turun?
Tiba-tiba mataku melihat kertas lusuh terselip di antara bebatuan.
"Jika ke surga butuh perjuangan, ke mana jalan menuju neraka?"
Kali ini aku merinding. Kenapa Pimpinan bawa-bawa neraka segala? Apa sebagai pengingat agar kami selalu jujur dalam bertugas? Ya, sudahlah.
"Stairway to heaven. Berarti kalau ke neraka, kita harus turun." Kalimat Kak Darma membuatku menghela napas.
"Tidak perlu takut! Ada aku!" Kak Darma tersenyum sembari mengulurkan tangan. Usiaku memang empat tahun lebih muda, tapi dia selalu memperlakukanku dengan penuh kesabaran. Meski kadang, aku tak tahan ketika dia mengambil pistolku seenaknya. Ah, sudahlah, itu masalah nanti. Sekarang, kami harus menuruni tebing ini.
Satu per satu kami merayap turun. Berpegangan pada undakan. Menggunakan bokong sebagai landasan ketika dia berteriak batunya bergoyang. Kak Darma selalu menjagaku.
Ternyata, Kak Darma benar, dengan tidak membawa tas, perjalananku jauh lebih mudah. Petunjuk ketiga terselip di tengah pohon mangga.
"Bersatu dengan bumi dalam lingkaran, hingga balon hijau meletus, maka lokasi terakhir ada di stalagtit ketiga."
Kami berpandangan bingung. Apa maksudnya bersatu dengan bumi. Memendam tubuh sebatas leher? Itu sih cari masalah namanya. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Tiba-tiba terlintas ide yang luar biasa.
"Kalau itu gimana, Kak?" Kak Darma memelototiku karena menyebutnya "Kak". Namun, wajahnya kembali cerah ketika melihat tempat yang kutunjuk.
"Kamu cerdas sekali, Aiptu Reina! Merayap di tanah sekitar tiga menit melalui gua itu! Sesuai panjang lagu."
Kami pun bersiap untuk merayap. Kak Darma di depan dan aku menyusul di belakang.
Suara benda keras beradu membuatku memekik kesakitan. Kakiku tersangkut bebatuan. Namun, aku tak boleh menyerah. Kak Darma tak mungkin menolongku. Aku harus kuat!
"Bisa lanjut?" dia menoleh sedikit padaku.
Aku hanya mengangguk. Masih dengan napas terengah, aku akhirnya tiba di ujung gua. Ruangan kembali menjadi luas. Kami pun bisa kembali berdiri dan menatap ke langit-langit. Target kami stalagtit yang ada di tepian gua.
"Biar aku yang mengambil." Lagi-lagi Kak Darma terlihat keren dengan sikap gagahnya.
"Tapi, bagaimana kalau...."
"Aku tidak akan jatuh. Aku lebih tak ingin kamu terluka. Nanti Pimpinan marah." Kali ini matanya menyipit tajam. Aku pun tak bisa lagi membantah.
Perlahan tapi pasti, dia mulai memanjat bebatuan di tepi gua menuju stalagtit yang terlihat menonjol. Aku menggigit bibir di bawah sedikit cemas.
Dia sudah berada di samping stalagmit pertama. Badannya butuh digeser sedikit ke stalagtit ketiga yang ternyata lebih tinggi lagi. Dia mengulurkan tangan, ada sesuatu tersembunyi di balik bebatuan.
"Ada!" jeritnya tertahan.
Mataku berbinar ketika dia menggenggam tabung berwarna emas. Tiba-tiba, ketika ia hendak turun, kaki kanannya yang memijak batu terpeleset. Tabungnya terpelanting ke udara.
Refleks tubuhku melompat menangkap tabung itu sebelum menghantam bebatuan. Napasku terengah-engah. Kudekap tabung itu erat-erat jangan sampai jatuh dan pecah.
Takut-takut aku menoleh ke arah Kak Darma. Dia sudah berhasil berpegangan dengan salah satu stalagtit dan kembali menjejakkan kaki ke bebatuan dengan kuat. Posisinya kembali stabil.
Aku mengucap syukur berulang. Kakakku selamat dan bergerak turun menapaki bebatuan!
Kini saatnya kami membuka tabung harta karun itu. Kami berdua duduk bersila saling berhadapan. Dadaku berdebar tak karuan. Benda macam apa yang ada di dalam tabung yang terasa hangat di tanganku ini.
Kak Darma memintaku yang membuka. Ketika tutupnya lepas sempurna, aroma khas menguar membuat perut lapar. Tumpukan kue mentega berwarna keemasan yang masih hangat terlihat.
"Sudah berhasil nemu hartanya?" Suara Pimpinan terdengar ramah.
"Mamaaaa!! Makasih kuenya!" Aku menghambur ke pelukannya.
"Aiptu Reina! Kita belum kembali ke markas. Itu masih di telepon!"
Aku tersentak. Oh, aku lupa! Aku segera mengambil walkie-talkie dari saku baju dan berpura-pura sedang menelpon. "Maaf, Pimpinan, saya lupa. Misi telah selesai. Terima kasih petanya." Cengiran lebar tak bisa disembunyikan membayangkan betapa lezat kue buatan Mama.
"Reina mau makan kueeeee!!!"
"Wih! Udah mau SD masih juga ngerebut kue orang!" Kak Darma berseru di belakangku.
Aku memeluk toples kue dan berlari dalam ruang makan. Melintasi kursi yang dipanjat Kak Darma untuk meraih kue di atas lemari dapur, juga kursi-kursi tempat kami tadi merayap. Terus memelesat menuju ruang tamu. Aku hendak memanjat tangga menuju kamar kami, tapi kuurungkan niat. Mama tak suka kami makan di kamar tidur. Di sini saja, deh!
Petualanganku telah berakhir. Mama memang sering memberikan kejutan pencarian "harta" setiap kami selesai belajar. Kali ini, hadiahnya sangat menyenangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top