I Have No Idea
Suatu hari, aku terbangun di tengah pepohonan rimbun tanpa satu pun ingatan.
Siapa aku? Namaku? Lagipula, memangnya aku punya nama? Apa yang kulakukan di tengah belantara seperti ini? Namun, di antara semua kebingungan itu, hanya ada satu hal yang kuingat. Aku harus pergi ke workshop kecil bernama Blue Caps Hanya itu, tidak ada yang lain.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak memiliki ingatan apa pun selain harus pergi ke sana. Artinya, aku tidak tau sama sekali di mana aku saat ini. Berapa jarak dari sini ke Blue Caps? Apakah letaknya di utara, selatan, timur, atau barat? Entahlah.
Langkah kakiku membawa pergi entah ke mana. Tidak ada petunjuk ataupun arahan, aku hanya terus berjalan sampai akhirnya kutemukan jalan beraspal. Ke mana pun jalan ini menuju, di sana ada peradaban.
Aku tidak ingat sudah berapa lama aku melangkahi jalanan beraspal itu. Hampir saja aku kehilangan kesadaranku, tiba-tiba telingaku menangkap suatu suara mesin. Aku menolah ke kedua sisi mencari asal suara itu, dan kutemukan setitik cahaya dari kejauhan.
"HEY!" Aku memanggil siapa pun itu sambil melambai-lambaikan tangan.
Panggilanku berhasil, sebuah sepeda motor gede dengan pengendara kakek tua berhenti tepat di depanku.
"Apa kau bisa memberiku tumpangan, aku sepertinya tersesat."
Awalnya dia terdiam mendengar permintaanku. Kupikir dia mencurigaiku, tapi kemudian dia berkata, "Dude, wajahmu."
Aku tidak mengerti apa yang ada di wajahku sampai dia menatap seperti itu. Dari cermin motornya, aku melihat refleksi wajahku sendiri. Separohnya terkoyak dan menampakkan kerangka dari besi di baliknya.
Aku terhenti sejenak untuk memproses informasi baru yang masuk ke otakku ini.
"Aku robot?"
"Gahahaha!" Tiba-tiba saja Pak Tua itu tertawa keras. "Kau tidak sadar kalau kau robot?"
"Haha, sebenarnya aku lupa ingatan dan tau-tau sudah ada di tengah belantara seperti ini." Aku menggaruk belakang kepalaku sambil menjelaskan.
"Gahahaha! Robot hilang ingatan, ini benar-benar lucu! Gahahahaha." Entah kenapa aku malu sendiri mendengarnya.
"Dude, naiklah! Kuberi kau tumpangan ke mana pun kau mau."
Mendengar tawarannya itu, aku tidak bisa lebih bahagia lagi. "Serius? Ke mana pun?" tanyaku memastikan.
"Yea, sebut saja tempatnya."
"Apa kau tau workshop bernama Blue Caps? Aku harus ke sana."
"Blue Caps?" Pak Tua itu menarik-narik janggutnya. "Tak pernah dengar, mungkin kau bisa mencarinya di kota di depan."
Brrmm
Mesin motor menggeram nyaring, dan Pak Tua pun melesatkan sepeda motornya. Sepanjang perjalanan aku dan Pak Tua berbincang banyak hal. Dari yang penting hingga tidak penting. Tidak terasa, saat tiba di kota matahari sudah terlihat penuh dari ujung cakrawala. Aku dan Pak Tua berpisah setelahnya. Dia berpesan padaku untuk mengunjungi pos polisi untuk minta arah jalan.
Tepat di perempatan jalan, seorang nona polisi berjaga di depan posnya.
Tanpa basa-basi aku memanggilnya, "Selamat pagi Nona Polisi, bisa kau bantu aku?"
Reaksi pertama Nona Polisi itu ketika melihatku, dia terlompat kaget. Mungkin karena wajahku.
"Kau robot?" tanyanya.
"Seperti yang kau lihat."
Dia masih menatapiku kebingungan.
"Aneh sekali, caramu berbicara, gerakanmu, dan bahkan kau tidak punya barcode." Nona Polisi terus bergumam sambil mengamatiku sambil berkeliling. "Kau ini benar-benar robot kan?"
Jika seorang polisi menanyakanku dengan penuh keraguan seperti itu, aku sendiri pun pada akhirnya ikut ragu. Lagipula aku hanya berasumsi kalau aku robot karena tengkorakku terbuat dari besi. Aku hanya bisa membalas pertanyaannya itu dengan berkata, "Aku sendiri tidak yakin, aku kehilangan ingatan."
"Robot hilang ingatan?" Suaranya makin meninggi karena keterkejutan.
"Ah, tapi aku ingat satu hal. Aku harus ke workshop bernama Blue Caps, apa kau tau di mana?"
"Blue Caps? Tidak pernah dengar." Dari jam di pergelangan tangannya, keluar holografik tiga dimensi yang membentuk peta. "Kita berada di sini di kota Alpha-12." Dia menunjuk sebuah titik merah di peta. "Lalu Blue Caps yang kau cari ada di kota Gamma-7, tiga jam menggunakan bis dari sini."
Jarak yang cukup jauh. Aku heran bagaimana bisa aku berada sangat jauh dari tempat itu dan terbangun di hutan belantara. Lagipula bagaimana caraku ke sana? Aku tidak punya uang.
"Maaf sebelumnya, tapi apa aku bisa meminta uangmu untuk naik bis? Aku tidak punya uang sepeser pun." Menyedihkan memang, tapi bagaimana pun aku harus ke Blue Caps.
Dia menghela nafasnya berat. "Mau bagaimana lagi." Dia menempelkan jam tangannya ke punggung tanganku, dan sepertinya aku mendapat sejumlah uang beserta peta. "Kembaliannya kau simpan saja. Kalau kau sudah mengetahui siapa dirimu, kembali lagi ke sini dan ceritakan semuanya padaku, oke!"
Aku tidak tau harus berterima kasih seperti apa padanya. Mungkin seperti yang dia minta, kembali lagi dan bercerita semuanya setelah semua ini selesai.
Tiba di terminal, aku langsung mendapatkan bis. Kursiku tepat di belakang supir dan di sampingku penumpang lain yang tampaknya seorang robot.
"Hai, ke mana kau mau pergi?" tanyaku berbasa-basi.
Dia diam tidak menjawab. Sekali lagi kucoba berbicara dengannya. "Apa kau sering naik bis?"
Kali ini aku mendapat reaksi darinya. Kepalanya menoleh ke arahku dengan gerakan patah-patah. "Kau rusak," ucapnya singkat menghiraukan dua pertanyaanku.
"Ah, maksudmu ini?" Aku melingkari separuh wajah koyakku dengan telunjuk. "Ini bukan apa-apa."
Pembicaraan kami berhenti di situ. Dia tidak mengucapkan apa-apa lagi meskipun aku berusaha berbicara padanya. Kalau kuperhatikan lagi, robot lain di bis ini pun bersikap sama. Duduk tenang dengan mata mereka yang tidak berkedip. Apa hanya aku robot aneh di sini?
Tiga jam duduk berdiam di dalam bis akhirnya aku bisa menggerakkan kakiku. Ya, salahkah kalau robot juga bisa merasakan penat?
Dengan peta dari Nona Polisi kutelusuri kota Gamma-7 ini untuk mencari workshop Blue Caps. Akhirnya, dengan ini semua pertanyaanku akan terjawab. Hanya sebentar lagi. Tepat di depan sana ada bangunan kecil dengan pintu roll di bagian sampingnya. Bunyi deritan gergaji besi dan las terdengar bahkan dari kejauhan. Sebuah plat besi tergantung di depannya. Blue Caps, inilah tempat tujuanku.
"Ayah! Rongsokan itu kembali lagi!" teriak anak kecil sambil berlarian ke dalam memanggil ayahnya.
"Bagaimana bisa?! Core memory-nya harusnya sudah kurusak."
Kini aku melihat sosok pria tinggi dan berotot dengan senapan kopak yang moncongnya di arahkan ke wajahku.
"Aku tidak tau bagaimana Kakek memprogrammu, tapi kau cacat Ben!"
Bang!
Ah, dia Joseph. Cucu Kakek yang dulu menciptakanku. Kuharap dia bisa menyambutku dengan cara lain selain tembakan tepat di wajah.
ooOOoo
Suatu hari, aku terbangun di dalam tanah tanpa satu pun ingatan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top