FIND ME

Jangan cari aku.

Hanya tiga kata pada selembar kertas. Itulah bekal Safa saat datang tempo hari, mengajukan dirinya sebagai klien kami. Sorot matanya penuh keteguhan—sedikit memaksa juga—saat memohon, "Tolong, carikan ayahku."

***

Safa, 12 tahun, pindah ke rumah bibinya di seberang kantor Detektif Tristan sejak ibunya meninggal tiga bulan lalu. Anak itu sering datang ke kantor, menyapaku dan Tristan, menunjukkan ketertarikannya pada pekerjaan kami. Lalu dia datang suatu hari dengan surat di tangannya, memohon pada kami untuk mencari ayahnya.

Kupikir, Tristan pasti bercanda saat dia bilang ingin mengambil kasus ini. Namun, tidak—dia sungguhan menyeretku dalam pencarian. Satu-satunya alasan paling masuk akal: Tristan bosan, dan merasa kasihan.

Bahkan aku sendiri hampir memeluk bocah itu saat dia bercerita tentang ayahnya yang sudah lama hilang. Terlebih lagi, semua orang di lingkungan ini tahu, Safa mengidap kanker.

"Dan bagaimana bisa kau yakin ayahmu ada di hutan kota?" tanyaku pada si gadis kecil.

"Ibu peri memberitahuku."

Tak ada anak 12 tahun yang masih memercayai peri, tetapi Safa tidak bersekolah dan hanya hidup dengan buku cerita serta film-film kartun karena penyakitnya. Jadi, aku cuma bisa tersenyum, dan membenarkan letak topi rajutnya, yang di baliknya sudah tak ada rambut tersisa. Bagian bawah matanya gelap dan wajahnya pucat, tetapi Safa tampak terlalu bersemangat untuk dihentikan.

"Apakah ibu peri memberi petunjuk lain?" tanya Tristan dengan wajah serius.

"Ada," jawab Safa sambil meniti jalur berbatu seolah kami tengah berjalan di atas jembatan, dan rumput-rumput di sisi adalah sungai pernuh buaya. "Pertama, ikuti jalan berbatu. Dua, ikuti telunjuk Nyonya Kribo Besar. Tiga, berubahlah menjadi kadal. Empat, tunggu emasnya berbunyi. Lima, sibak tirainya dan pulang ke ayah."

"Petunjuk yang sangat jelas," komentarku sambil melirik Tristan. Si detektif terkekeh saja.

"Itu petunjuk yang susah," tukas Safa cemberut, lalu dia menyengir padaku. "Tapi, Pak Detektif pasti bisa memecahkannya."

"Oh, kurasa selama ini kau salah paham. Bukan aku detektifnya." Kutunjuk Tristan yang mengekor. "Pak Tristan yang detektif. Aku hanya asistennya."

"Kuberi kau kehormatan khusus kasus ini untuk menjadi detektifnya, Alan." Tristan menaik-turunkan alisnya padaku. "Aku asistenmu hari ini, dan Nona Safa adalah klien kaya raya yang membayar mahal kita dengan ...." Pemuda itu merogoh saku mantelnya dan mengintip ke dalam. "Tiga bungkus permen cokelat."

"Salah satunya isi kacang," bisik Safa penuh kerahasiaan.

"Sangat mewah," komentarku lagi.

"Jadi, Detektif Alan," kata Tristan sambil membuka bungkus permen pertama. "Di mana Nyonya Kribo Besar?"

Aku bahkan tak tahu apa maksudnya Nyona Kribo Besar. Mungkin ada wanita aneh yang masuk ke hutan kota dan menunjuk suatu arah saat Safa mengarang ini semua. Atau bibinya yang mengarang ini—maka aku harus menyesuaikan mind set-ku dengan seorang tante-tante.

Tristan berdeham keras. "Oh, pohon yang besar!"

Aku menoleh, melihat pohon yang dia maksud. Sebuah dedalu tua yang berbonggol dan meliuk.

Mataku menatap hampa pada Tristan.

"Bayangkan dari sudut ini," gumam Tristan seperti tengah bicara dengan diri sendiri. Namun, matanya melirikku. "Bagian bawah yang melebar itu mirip gaun. Dedaunan atasnya mirip rambut yang keriting menggumpal. Bukan begitu, Detektif Alan?"

"Oh!" Otakku akhirnya menyambut. "Nyonya Kribo Besar!"

Dengan sudut pandang yang tepat, kami menemukan salah satu dahannya yang mencuat paling panjang, lalu mengikuti arah yang ditunjuknya.

"Oke," bisikku pada Tristan sementara Safa menatap kami kagum. "Bagaimana caranya jadi kadal sekarang?"

"Hmm, apa yang kadal lakukan?"

"Merayap?" tanyaku. Tumbuh keinginan di lubuk hatiku untuk mendobrak pintu rumah bibinya Safa. "Kau pasti bercanda!"

Ternyata dia tidak bercanda. Mau tak mau, aku merendahkan badan dan harga diri ke tanah, berusaha mengayuh di antara rumput dan bebatuan.

Di sisiku, Safa menatap Tristan penuh harap.

"Detektif Alan akan menemukan petunjuk selanjutnya," kilah Tristan.

Aku menyengir. "Oh, ayolah, Watson-ku. Aku tak bisa melakukan ini tanpa asistenku. Jangan kecewakan klien kita yang kaya raya."

Aku menggigit bibir untuk meredam tawa saat sang detektif ikut tengkurap di sisiku.

"Cuaca cerah di luar, dan kita merayap di hutan," keluh Tristan. "Tak heran kita berdua masih membujang sampai sekarang."

Aku berdecak. Gara-gara ucapannya, aku jadi merenungi nasib kami berdua, yang sama-sama pernah ditinggalkan kekasih masing-masing.

Tristan sudah hampir menikah saat tunangannya meninggalkannya. Sedangkan aku ditinggalkan Maria, mantan pacarku yang tidak pernah suka pada pekerjaanku. Dia bilang, aku terlalu berkomitmen pada pekerjaan ketimbang dirinya.

Sementara mantan pacar Tristan pergi digondol pria lain, Maria pergi tanpa mengatakan apa-apa padaku.

"Ayo!" sorak si gadis kecil gembira. "Kita cari emas yang berbunyi!"

Kami merayap sampai senja tanpa menemukan apa-apa, dan Tristan mengkorupsi semua permen cokelatnya.

Selama tiga puluh hari, saat kami luang, kami pergi ke hutan kota dan kembali merayap dengan Safa. Tidak ada 'emas yang berbunyi'. Sampai akhirnya, gadis itu tak muncul berminggu-minggu. Tahu-tahu kami mendapat kabar Safa telah tutup usia di rumah sakit.

Tristan murung di meja kerjanya petang itu. Tangannya memegangi dua lembar foto.

"Aku bertemu bibinya Safa pagi ini—suaminya adalah adik dari ibunya Safa, sudah meninggal juga, dan dia meninggalkan ini." Mata Tristan memerah saat mengoperkan foto-foto itu padaku. "Ini Safa dan ibunya. Ini ... ayahnya."

Aku mengerjap mengamati foto, sementara Tristan terus bergumam, "Maafkan aku," berulang-ulang pada meja kerjanya.

***

Sejak awal, Safa sudah tahu di mana ayahnya. Dia merancang pencarian ini. Dia ingin berpetualang dengan ayahnya untuk terakhir kali.

Emas berbunyi adalah sebuah kunci dari kuningan. Sudah berkarat dan menggeletak dalam celah akar pohon, maka ia tak berbunyi saat kami melaluinya puluhan kali. Aku menemukannya saat merayap lagi di lokasi yang sama petang itu.

Berjalan terus sampai keluar dari hutan kota, berdiri sebuah pondokan kosong—dulunya adalah pos penjaga hutan. Aku memutar kunci kuningann pada pintunya dan masuk.

Langkah lima, sibak tirainya dan pulang ke ayah.

Aku menyibak sehelai kain biru usang, dan di sanalah sosok ayahnya—sebuah cermin besar tersandar ke dinding, merefleksikan diriku.

Jangan cari aku—itu bukan surat dari sang ayah. Itu surat dari ibunya, untukku. Itu surat dari Maria saat dia pergi dariku, tetapi wanita itu tak pernah menyampaikannya padaku. Maka surat itu disimpan oleh saudara laki-lakinya, dan diberikan pada Safa kemudian.

Hari itu, Maria pergi dariku sambil membawa janin di perutnya yang tak kuketahui ada, karena aku—pria berengsek yang amat berkomitmen pada pekerjaan ini—pernah berkata:

"Aku tak menginginkan anak."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top