Kesha dan Kean
"Kean! Diam bisa nggak sih! Lo berisik banget dah!" Kesha berteriak pada abangnya, menghantam pintu kamar Kean keras-keras.
"Lo diem juga! Lo boleh berisik masa gue kagak!" balas Kean tak kalah kencang dari kamarnya.
"Gue nggak berisik! Gue mau belajar, beg--" Kesha menghentikan dirinya sendiri dari mengatakan kata itu. Bisa-bisa dia dibunuh Mama kalau kata itu terdengar di rumah. Kalau saja Mama tahu di sekolah mereka mengatakan hal-hal yang lebih parah dari itu. "Pokoknya lo diem!"
"Ogah! Emangnya lo doang yang boleh belajar? Ini gue juga lagi belajar main drum!"
Kesha menggerutu sedikit. "Gue bilangin ke Mama lo!"
"Bodo amat! Bilang aja lo sana!" ujar Kean cuek. "Pake sok belajar lo. Mending nilainya makin naik. Makin turun iya."
"Sialan lo!"
"Kesha!" Mama berseru dari lantai bawah. "Kata-katanya!"
"Iya, Ma! Ini nih anak sulung Mama nggak bener! Yakin nggak ketuker di rumah sakit, Ma?"
"Lo kali yang ketuker di rumah sakit! Gue mah anak baik nan teladan, nggak barbar kayak lo! Mimpi apa gue dapet adek nggak tau diuntung kayak lo!"
"Udah kalian diem!" Nada suara Mama tidak sabar. "Mama lagi nonton drama nggak kedengeran suaranya gara-gara kalian!"
Kesha memukul pintu kayu kamar kakaknya untuk terakhir kali, mendengkus kesal. Gadis itu kembali ke kamarnya dan mengambil buku-bukunya. Mengambil ponselnya, Kesha langsung menelepon sahabat baiknya. "Ni, gue ke rumah lo, ya! Lo juga belum belajar buat ulangan besok, 'kan?"
"Ulang! Nggak kedengeran! Abang lo lagi main drum lagi ya?"
Agak tidak sabar, Kesha mengulang ucapannya tadi keras-keras. "
Erni kali ini mendengar jelas, "Ho'oh. Dateng aja lo. Sekarang?"
"Iya. Ntar gue bentar berangkat."
Berderap menuruni tangga, Kesha berseru pada ibunya, "Ma, aku ke rumah Erni dulu."
"Hmm."
Kesha mengambil sepedanya dan langsung mengayuh. Rumah Erni tidak jauh letaknya, hanya duapuluh menit berjalan kaki dari rumahnya. Dengan menaiki sepeda, dalam lima belas menit saja dia sudah dapat bersantai di kamar sejuk nan damai milik sahabatnya tersayang.
"Yang ngatur jadwal pelajaran kita siapa sih?" tanya Kesha, membaringkan diri di tempat tidur empuk Erni. "Nggak berkeprimanusiaan banget matematika, biologi, fisika, sama olahraga dijejalin dalam satu hari. Besok semuanya ambil nilai lagi," dia mengeluh.
"Olahraga nggak usah diurusin lagi," kata Erni. "Kita berdua udah pasti remedial. Biologi juga. Eh, Sha, abang lo kan pinter matematika. Bisa nggak sih lo bujuk dia ngajarin gitu. Paling nggak biar nilai kita berdua nggak jelek-jelek amat."
"Apaan. Kalo kita diajarin itu manusia nggak waras nilai kita malah makin jelek," ujar Kesha kesal.
"Napa sih lo dendam banget sama abang lo? Gue sih mau-mau aja punya sodara. Kan enak punya temen gitu."
"Enak palelu. Sakit kepala iya. Nggak tau aja lo kalo di rumah dia kayak gimana. Di luar sih sok banget dia jadi malaikat," celoteh Kesha. "Udah, ah. Yok belajar buruan. Gue mau balik sebelum gelap."
Rencana Kesha tidak terlaksana. Pertama, dia dan Erni tidak belajar sama sekali dan malah saling mengabarkan gosip. Kedua, Kesha baru menaiki sepeda pulang jam tujuh malam.
Kompleks perumahan mereka sebenarnya tidak seram-seram amat. Kebanyakan rumah dihuni dan lampu depannya dinyalakan sehingga jalan-jalan yang dilalui Kesha lumayan terang,
Masalahnya, Kesha yakin sekali dia sedang diikuti.
Bolak-balik menoleh ke belakang, Kesha berusaha mengayuh sepedanya secepat mungkin. Dia selalu mengaku tidak takut apa pun, tapi mendadak semua hal di sekitarnya menjadi terlihat menyeramkan.
Saat menoleh lagi ke belakang setelah berbelok, belokan terakhir dekat rumahnya, Kesha melihat sekelebatan warna putih. Ngeri, Kesha mengayuh semakin cepat.
Namun, sosok yang mengikutinya juga sepertinya semakin dekat. Dia tak lagi melihat ke belakang, tapi dia seperti dapat merasakan kehadiran siapa pun itu yang mengikutinya. Bulu kuduknya meremang.
Saat sesuatu menyentuh lengannya, Kesha menjerit dan meloncat dari sepedanya. Benda hitam-hitam kesayangannya itu terjatuh dengan suara keras.
"Lo takut, ya?" tanya sebuah suara, geli.
Kesha membuka matanya, dia tidak sadar pernah menutupnya. "Sialan lo, Kean! Ngapain sih lo nakut-nakutin gue kayak gitu?!"
"Gue nggak nakut-nakutin lo, lo sendiri yang ketakutan," ucap Kean geli. Lampu depan rumah di belakang Kean sangat terang sehingga Kesha hanya dapat melihat dengan jelas sepasang mata iseng yang bersinar-sinar dan barisan gigi putih nan cemerlang milik abangnya.
"Gue kaget, bukan takut," Kesha membela diri.
Kean nyengir lagi. Kesha menuntun sepedanya sampai ke rumah sementara Kean mengikuti.
Kesha memarkir sepedanya di dekat pintu. "Kamu udah makan di rumah Erni, 'kan, Kesha?" Mama berteriak begitu mendengar suara pintu rumah dibuka. "Makanannya dibagi dua buat Mama sama Kean aja, ya!"
"Iya!"
"Kean, turun kamu! Anak laki kok demennya diem terus di kamar!" Mama memanggil, mendongak ke atas, ke arah kamar Kean.
Kesha yang sedang melintas di ruang tengah mengangkat alisnya. "Tapi Kean lagi sama Kesh--" Dia menghentikan ucapannya ketika melihat abangnya melompat menuruni tangga dua-dua. Menoleh ke belakang, Kesha menyadari Kean sudah tidak ada di sana sejak tadi.
"Kesha, buruan mandi," Mama berkata dari ruang makan. Suara piring-piring keramik terdengar saling berbenturan.
"Kean, lo bukannya tadi di luar ngejemput gue?"
"Kagak. Ngapain gue ngejemput lo? Sepeda gue aja lagi di bengkel."
Wajah Kesha memucat.
"Abis ketemu setan ya, lo?" Kean menggoda, nyengir, dan bergerak menuju ruang makan.
Udara malam mendadak terasa dingin sementara bayangan cengiran abangnya bertahan di benak Kesha, bayangan deretan gigi Kean kuning karena tidak pernah dirawat baik-baik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top