Historia De Amor

Alunan suara piano terdengar di sepanjang lorong rumah. Quincy mendorong pintu ruangan yang renggang itu dan menatap sedih pada sosok di hadapan piano. Wanita berambut pirang yang sedang terpejam menghayati permainan piano itu tidak menyadari kehadiran Quincy.

Historia De Amor.

Quincy tidak asing dengan lagu itu. Salah satu lagu paling terkenal dari komposer Ludwig Van Beethoven. Setelah alunan musik berhenti barulah Quincy mengetuk pintu dan melepaskan pegangannya dari gaun, berjalan masuk.

"Mom."

"Quincy," balas wanita pirang itu. "Aku sudah bilang bahwa itu lagu cinta. Aku tidak mengerti kenapa kau selalu menangis tiap kali mendengarnya."

Quincy menggeleng. "Maafkan aku. Permainanmu sangat memukau."

Countess Patricia—wanita berambut pirang—tersenyum getir. "Sepertinya kau sudah siap untuk berangkat ke Ibukota. Sosial season kali ini dihadiri banyak orang penting."

Quincy tidak mau datang ke sana. Di Inggris, ada banyak sekali putri-putri bangsawan yang mengelak debutante, bahkan ada yang sampai usia pertengahan 20. Namun, Countess Patricia memaksa. Katanya tamu yang datang pada season kali ini adalah para kenalan keluarga mereka. Orang-orang yang tahu asal-usul keluarga Count Dominique. Si penyelenggara pesta kali ini juga teman baik ayah Quincy, Baron Vertigroo.

Countess Patricia berdiri sambil menutup piano. Dengan dagu sedikit terangkat menghampiri Quincy. "Semua akan baik-baik saja. Ibu akan menjagamu."

Quincy menghapus air matanya yang sempat turun. Ia harus pergi meski tidak ingin. Demi keluarganya. Demi mendiang ayahnya. Keluarga mereka sedang dalam masalah. County tidak bisa bertahan jika Quincy tidak menemukan seseorang yang ingin menikahinya di debut ini.

"Ayo, kita harus berangkat sekarang. Butuh waktu seharian untuk sampai ke kediaman induk Vertigroo."

Quincy menyambut uluran tangan ibunya. Lalu beriringan meninggalkan ruangan. Sesaat sebelum ruangan itu tertutup Quincy melihat seseorang duduk di kursi piano, tersenyum dengan pandangan sendu padanya.

***

Quincy bergerak sedikit dan mendapat lirikan dari ibunya. Nyaris sepanjang hidup, ia sudah mempelajari tata krama kebangsawanan dengan sangat ketat. Tidak boleh menguap, duduk tegak dengan dagu sedikit terangkat, bicara di balik kipas, tertawa dan makan dengan anggun. Quincy menyaksikan ibunya melakukan semua itu dengan elegan, tetapi ia tidak yakin bisa melakukan sesempurna Countess Patricia.

Quincy ingin meluruskan kaki atau setidaknya meninggalkan kerumunan para nyonya yang bergosip dan sedang memilih mana yang akan mereka jadikan menantu.

Kalau Quincy, siapa saja boleh. Lagi pula tidak ada pria yang menarik di matanya.

"Quincy?" tegur Countess Patricia dengan pandangan penuh ancaman.

"Aku akan segera kembali," kata Quincy. "Aku tidak akan jauh-jauh."

Quincy berjalan melewati pinggiran lantai dansa. Melirik para Lady seumurnya yang sedang berdansa dengan pria yang berhasil menarik perhatian mereka. Dansa pertama adalah dansa yang biasanya selalu dilakukan untuk pembukaan acara. Tetapi dansa kedua adalah dansa yang biasanya dilakukan untuk meminta seseorang menjadi pendamping hidup.

Jadi, Quincy memilih untuk menyingkir dari itu semua. 17 tahun bukan keinginannya untuk menikah di usia ini.

Quincy melihat kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihatnya. Setelah merasa aman ia menyingkap tirai tebal yang di baliknya terdapat pintu beranda. Quincy dengan cepat menutup kembali tirai tepat saat lagu Historia De Amor mengalun.

Quincy berpegangan pada beton pembatas beranda. Dadanya panas karena sengatan lagu. Ia tidak mengerti. Kenapa bisa sedih pada lagu yang seharusnya menceritakan kisah cinta?

Quincy menempelkan punggungnya ke dinding dan jatuh merosot ke lantai bersama air matanya. Segala tata krama kebangsawanannya selama ini sudah dihempas pergi.

"Ah, memang aneh jika anggota keluarga Dominique tidak menangis saat mendengar lagu itu."

Quincy mengangkat kepala. Ternyata di balkon itu ada orang lain. Seorang pria yang tersenyum kecil padanya sambil mengangkat segelas anggur. Ia langsung berdiri dan menghapus air mata. "Maaf, aku akan pindah."

"Kenapa kau menangis?"

Quincy yang ingin berbalik malah menatap pria itu. "Aku ... tidak tahu. Hanya merasa harus menangis saat mendengar lagu itu."

"Hmm." Pria itu memutar gelas anggur di tangannya hingga menciptakan riak. "Jadi, belum ada yang bercerita padamu kalau lagu itu semacam jenis lagu misteri untuk keluarga Dominique?"

Quincy menatap heran.

"Lagu itu disukai oleh Dominique ketiga dan dimainkan oleh istri yang baru dinikahinya kala itu. Tetapi Dominique mati muda tanpa diketahui sebabnya. Istrinya yang masih hidup harus selalu mainkan lagu itu setiap pagi sebanyak tiga putaran. Hal itu masih berlaku sampai sekarang."

Quincy terdiam. Apakah pria itu sedang mendongeng?

"Countess Patricia juga diberikan cerita itu saat menikahi mendiang Count Kush Dominique. Beliau mati muda dalam perjalanan ekspedisi beberapa tahun lalu. Sampai sekarang Countess masih memainkan lagunya setiap pagi, bukan?"

"Ya, ibuku memainkannya setiap pagi. Berulang-ulang," jawab Quincy.

"Itulah kenapa seharusnya kau menangis. Kisah percintaan keluarga Dominique adalah kisah cinta yang tragis."

"Setiap Count dari keluarga Dominique akan mati muda dan istrinya memainkan lagu itu sebagai penghormatan?"

Pria itu mengangguk tegas. "Untungnya keturunan Dominique kali ini hanya seorang Lady."

"Kenapa jika hanya seorang Lady?"

Pria itu tertawa pelan. "Karena tidak ada Count yang akan melanjutkan kisah misterius itu."

Quincy melihat pria itu berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan. "Ingin kutarik keluar dari tragedi itu, Lady Quincy?"

Quincy tidak tahu. Tangannya hanya bergerak sendiri menyambut uluran tangan itu dan membiarkan si Pria Asing membimbingnya kembali ke lantai dansa.

Hanya satu yang menjadi pertanyaan Quincy sepanjang pembicaraan singkatnya dengan pria itu.

Kenapa Dominique yang menyukai Historia De Amor mati muda tanpa alasan? Lalu kenapa keturunan setelahnya selalu ikut mati muda?

~ END ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top