Berjumpa Lagi
Risa berdiri di depan toko buku. Matanya tampak memandang ke arah jalan raya. Beberapa kali ia mengecek ponselnya. Jantungnya berdebar cepat menanti setiap menitnya.
"Kali ini pasti berhasil!" gumamnya penuh keyakinan.
"Hai. Maaf aku terlambat." Risa menatap tidak percaya lelaki di hadapannya. Rambut berantakan, napas terengah-engah. Berbeda 180 derajat dengan Liam yang ia tahu dulu.
"Santai saja." Mereka berdua pun memasuki toko buku.
"Ris, ada yang mau kukatakan–"
"Wah! Akhirnya dijual di sini juga."
Risa berjalan cepat menuju rak bagian komik. Matanya tak bisa lepas dari tumpukan komik yang terpajang rapi. Sementara Liam berdiri di belakangnya. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana, memastikan barang di dalamnya aman.
Tenang. Masih ada waktu. Pokoknya hari ini aku harus mengatakannya.
Tenang Risa. Tempat ini terlalu ramai untuk mengatakannya.
Siangnya mereka memutuskan untuk makan di restoran di samping toko buku.
"Loh, kok tutup?" Risa terkejut melihat restoran begitu sepi. Padahal tempat ini selalu ramai.
"Kita bisa makan di tempat lain, kok" hibur Liam.
Mereka pun memutuskan berjalan kaki menuju kompleks perumahan sembari mencari pedagang kaki lima. Kedua remaja itu melangkah berdampingan di trotoar. Tidak ada satupun bangunan di pinggir jalan. Berapa kali Risa melirik Liam dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Aku tidak menyangka Liam bisa setinggi ini. Rambutnya, pakaiannya, wajahnya. Hampir semuanya tampak berbeda. Padahal baru tidak bertemu tiga tahun.
Tatapannya berfokus pada tangan Liam. Beberapa kali ia mencoba menyentuh telapak tangan itu. Namun, selalu urung dilakukan.
Aneh tidak ya kalau berpegangan tangan? Dulu kita sering melakukanya, kok. Tapi mungkin Liam tidak akan menyukainya.
Risa memasukkan satu tangannya ke dalam tas selempang, menggenggam selembar amplop yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Jantungnya berdebar cepat hingga rasanya ingin meledak. Pipinya mungkin sudah merah padam saat ini. Tidak ada siapapun di sini. Harusnya ini waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya. Tapi entah kenapa bibirnya peluh. Bahkan ia tak mampu membuka pembicaraan. Padahal biasanya ini sangat mudah.
"Anu, Risa—"
"Liam—"
DUARR!
"Ehh... hujan?" Risa menengadah tangannya. Tampak tetes air berjatuhan dari langit mengenai tangannya. Langit mendadak menggelap. Gerimis kecil dengan cepat berubah menjadi deras. Risa menengo kiri-kanannya. Tidak ada tempat berteduh. Toko buku sudah jauh. Air hujan dengan cepat membasahi mereka.
"Pakai ini." Liam melepas jaketnya dan menaruhnya di atas kepala Risa
"Lu gimana?"
"Tenang saja." Liam menggenggam tangan Risa. "Ayo kita cari tempat berteduh!"
Liam menarik tangan Risa dan berlari, membuat gadis itu mau tidak mau mengikuti dari belakang. Sebelah tangannya yang bebas memegang jaket di kepalanya, menahan benda itu agar tidak jatuh.
Risa menatap tangan Liam yang menggenggamnya. Ia merasa tangan lelaki itu lebih besar sejak terakhir mereka bertemu. Tangannya lebih kasar dan gelap. Genggamannya begitu erat.
Tapi terasa hangat, persis seperti dulu
"Lu tidak pernah berubah."
"Kau mengatakan sesuatu?"
"Jaket lu bau," jawab gadis itu asal.
"Maaf, lupa kucuci." Risa terkekeh pelan.
Liam masih sama polosnya.
Sementara Liam yang berlari di depan Risa sudah bersemu merah. Ia bahkan bisa merasakan jantungnya yang berdegup cepat. Rasanya jantungnya bisa keluar kapan saja.
"Astaga! Aku menggenggam tangan Risa," gumamnya berulang-ulang.
Tidak jauh dari mereka tampak pedagang bakso kaki lima terparkir di trotoar dengan terpal menjadi atap yang disanggah bambu dan tali. Mereka berdua pun berteduh di sana.
"Mang, numpang teduh, ya."
"Siap, neng!" ujar tukang bakso.
"O ya, sekalian bakso dua, ya," ujar Risa
"Minumnya?"
"Es jeruk dan teh tawar anget," jawab Liam. Mereka berdua pun duduk di atas trotoar. Tak lama kemudian pesanan mereka tiba.
"Ini makanannya. Biar pacarannya makin afdal."
Penjual bakso itu tidak bisa menahan tawanya saat melihat pipi dua remaja itu memerah. Merekapun makan dengan diam. Pikiran mereka sama-sama penuh akibat ucapan penjual tadi.
"Hmm... Risa." Liam merogoh sesuatu dari saku celananya.
"Hmm," jawab gadis itu dengan mulut penuh bakso.
"Ini untukmu." Liam menyerahkan sebuah gelang bertatahkan manik-manik biru yang berkilauan.
"Ehh?" Risa terkejut melihat aksesoris cantik itu di telapak tangan Liam. Ini pertama kalinya seseorang memberikannya perhiasan. Apalagi dari lelaki.
"Bulan lalu kamu ulang tahun, kan." Liam memalingkan wajahnya, tidak berani menatap Risa yang berbinar-binar melihat perhiasan itu.
"Terima kasih." Risa tersenyum bahagia dan langsung mengenakan hadiah pemberian lelaki itu. Tangan kecilnya tampak serasi dengan gelang itu. Pipinya bersemu malu menyadari lelaki itu masih mengingat ulang tahunnya.
"Risa, kamu demam?" Liam menempelkan punggung tangannya di dahi gadis itu, mengecek suhu tubuhnya. Hal itu membuat Risa salah tingkah.
"Ti ... tidak apa-apa. Jangan-jangan lu yang sakit. Muka lu udah kaya tomat, tuh." Kali ini Liam lah yang salah tigkah. Situasi mendadak menjadi awkward.
"Risa." Risa mengangkat kepalanya dan menatapnya. Heran dengan tatapan Liam yang berubah serius.
"Begini...." Liam menggaruk belakang kepalanya yamg tidak gatal. Suaranya yang tertutup hujan membuat Risa harus menajamkan pendengarannya.
"Sebenarnya aku selama ini meny—"
Piitttt...
Suara mobil memotong ucapan Liam. Kaca di bangku supir perlahan turun, menampilkan sosok pria berkumis tipis. "Risa, kamu ngapain di sini?"
"Ayah! Tumben sudah pulang?"
"Kerjaan sudah beres." Pria itu menatap Liam sejenak. "Kamu Liam, kan?"
"Iya, Om."
"Sudah tiga tahun, ya. Bagaimana sekolah di pusat kota?"
"Menyenangkan, Om."
Ayah Risa mengangguk dan menatap tajam putrinya. "Kamu, ya. Sudah mau ujian malah hujan-hujanan. Sampai bawa-bawa Liam juga. Ayo pulang!" ucapnya tegas.
"Liam mau diantar, tidak?"
"Tidak apa-apa, Om. Rumah saya dekat, kok."
"Ok. Hati-hati, ya"
Risa yang sudah membuka pintu mobil putihnya menoleh ke arah Liam. "O ya, lu tadi mau ngomong apa?"
Liam yang sadar akan hal itu terdiam sejenak. Ia pun berkata, "Aku selama ini... selalu mendukungmu. Kalau butuh bantuan katakan saja."
Risa tersenyum. "Siap!"
Selepas Risa dan ayahnya pergi meninggalkan Liam sendirian di trotoar tempat penjual bakso.
"Sabar ya, Mas. Belum rezeki," hibur penjual bakso itu. Liam hanya bisa menghela napas meratapi nasibnya.
Di sisi lain, Risa sibuk memandangi tangannya yang berhiaskan gelang. Senyumannya tak pernah luntur setiap menatap benda itu.
"Liam semakin dewasa, ya," ujar ayahnya.
Tiba-tiba Risa teringat sesuatu yang paling penting. Gadis itu membuka tas selempangnya, mencari sesuatu di dalam. Ia mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dengan corak pink. Tulisan bertinta hitam di pojok kanan bawah tampak luntur. Risa menghela napas dan menatap kecewa benda yang susah payah dibuatnya.
Yahh ... gagal lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top