Atra Motrem

Hidup kami dikelilingi teror. Aku tidak tahu alasan kenapa papa dan mama tiba-tiba memberi ultimatum untuk tidak keluar rumah beberapa hari yang lalu. Berbahaya, katanya. Satu kata yang terlalu universal untuk dinalarkan oleh tiap-tiap orang. Pun aku memiliki opini yang mana mengedepankan penculikan, mengingat raja kami yang sangat-amat otoriter.

"Kenapa kami tidak boleh keluar, Papa?" tanya adikku yang masih balita. "Aku rindu bersosialisasi dengan kawan-kawanku."

Papa tidak menjawab. Begitu juga mama.

"Ah, mengesalkan!"

Aku hanya termangu mendengar keluhannya dari dalam kamar sembari memperhatikan laut dari balik jendela. Sudah empat hari berlangsung, tapi tidak satu pun ada kapal yang datang ataupun pergi. Pelabuhan menjadi hampa. Bahkan bukan hanya itu. Aku juga sudah tidak menemukan keberadaan orang yang biasanya berlalu-lalang di sekitaran. Benar-benar sepi.

Tampaknya, perintah ayah dan ibu juga berlaku pada manusia yang lain.

Entahlah.

Yang jelas, Prancis tidak pernah semati ini.

Beberapa hari kemudian, rumah kami didatangi oleh dua orang berpakaian aneh. Maksudku, jubah hitam dengan penutup wajah berbentuk paruh burung, apa tidak layak disebut aneh? Yah, mungkin lebih ke arah mengerikan, tapi aku tetap memandangnya sebagai hal yang aneh.

"Begini, Cyrilo, kami membutuhkan bantuanmu."

Aku mendengarnya tidak sengaja ketika hendak pergi mengambil minum. Bersembunyi di balik tembok, aku melongok sedikit melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kudapati papa sedang berdiri berhadapan dengan orang-orang aneh itu. Percakapan mereka kemudian terdengar berbisik samar. Aku tidak dapat mendengarnya secara utuh, selain kata segera, mematikan, dan misterius. Selain itu, aku tidak yakin dengan apa yang ditangkap oleh telingaku. Tidak dapat mengerti atau ditebak bagaimana bentuk kalimat utuh yang memiliki tiga kata tersebut di dalamnya.

"Davide, sedang apa di situ?" Mama datang mengejutkan. Aku spontan menaruh jari telunjuk di bibir dan berdesis pelan. Tatapanku menatapnya lekat. Penasaran, mama memiringkan kepalanya untuk melihat apa yang ada di ruangan sebelah. Seakan tidak lagi memedulikan alasanku bersembunyi, mama berjalan menuju ruang tengah menghampiri papa. "Cyrilo, ada apa ini? Siapa mereka?"

Secara tidak langsung, tindakan mama itu membuatku ketahuan. Ya, dari bagaimana papa dan dua kawan burung-nya tidak berbicara. Sial. Aku tahu mereka tidak akan berbicara sampai mendengar derap langkah menaiki anak tangga. Atau mungkin mereka akan berpindah ke ruang pribadi papa untuk melanjutkan perbincangan.

Bagaimana pun, mereka hanya tidak ingin pembicaraannya diketahui.

Kuputuskan untuk kembali ke kamar. Anak tangga kupijak sedikit keras untuk memberitahu bahwa aku sudah pergi dan mereka bisa bicara dengan bebas. Adikku, Ava, dengan boneka kesayangannya, terkejut melihatku yang menggebu.

"Kak, siapa yang menemui papa? Pakaian mereka seram, aku takut."

"Tidak tahu," jawabku, kemudian pergi memasuki kamar.

Pelabuhan Marseille masih tidak menunjukkan adanya kehidupan. Biasanya, di jam-jam seperti ini, setidaknya ada beberapa orang yang sedang memanggul sebuah barel ke luar kapal. Namun, kini tidak ada.

Belum juga setengah jam menetap di kamar, Ava membuka kamar dan berkata, "Kak, papa meminta kita untuk turun. Ada yang ingin dibicarakan." Setelahnya, kami bersama-sama menuruni anak tangga, dengan Ava yang bersembunyi di belakangku karena takut oleh mereka berpakaian aneh. Namun, ada yang janggal. Papa tidak terlihat di mana pun. Juga sialnya, orang aneh itu jumlahnya bertambah satu.

Seorang dari mereka melepas masker paruhnya, lalu menunjukkan wajah papa.

"Papa harus kembali bekerja. Kerajaan sedang membutuhkan para dokter untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada di kota. Kalian baik-baik, jaga Mama selagi Papa bekerja, ya?"

Aku mengangguk, sedang Ava langsung lari memeluk papa. "Papa pasti pulang, 'kan?" Pertanyaan itu tidak dijawab, membuat Ava semakin merekatkan dekapannya.

"Tenang, Ava. Papa pasti pulang pada keluarganya. Namun, sekarang kota ini lebih membutuhkan Papa," jawab mama, yang kemudian menarik Ava dengan lembut. "Cyrilo, anak-anak akan aman bersamaku. Kau tidak perlu khawatir akan hal itu."

Papa tersenyum dan kembali memasang maskernya. Setelah melambai, ketiganya pergi meninggalkan rumah. Mama langsung menutup pintu dan menguncinya. "Kita jangan membebani pikiran Papa. Lebih baik turuti saja apa yang dimintanya."

Detik-detik mengubah hari. Kegiatanku hanya membaca buku dan menulis apa yang ada di kepala, seperti apa yang terjadi? atau di mana orang-orang? atau semacam pertanyaan serupa lainnya. Bosan. Sangat-amat-membosankan-sekali. Aku rindu menghirup udara kebebasan. Aku rindu berlarian di pinggir pelabuhan. Hanya mengulangi semua itu sampai tertidur lelap dan terbangun keesokan paginya.

Namun, tidak untuk malam ini. Pasalnya, beberapa saat yang lalu, aku terbangun akibat suara bantingan yang sangat keras. Kira-kira jam dua malam. Ketika kutelusuri dari mana sumbernya, aku melihat beberapa orang di luar rumah sedang berusaha membersihkan barel yang hancur terjatuh. Anggurnya berserakan ke mana-mana.

Ada yang aneh.

Aku melihat sesuatu seperti tulang di antara cairan itu.

Dua orang yang memakai kostum seperti papa itu langsung kebingungan. Mereka bergegas membersihkan benda-benda padat yang berserakan dan melemparnya ke laut. Apa yang sebenarnya disembunyikan, sih? Aku sudah tidak tahan menampung pertanyaan di dalam kepalaku.

Aku mengendap ke kamar mama dan mengambil kunci rumah. Beruntung mama sangat lelap jadi kekhawatiranku tidak berubah menjadi nyata: mama terbangun dan memarahiku habis-habisan. Kunci sudah kupegang, aku lantas pergi ke luar rumah dan menghampiri pelabuhan.

Tidak ada orang berlalu-lalang, jadi aku bisa bergerak leluasa.

Bau amis tiba-tiba tercium. Langkahku menjadi ragu untuk mendekati cairan merah itu. Akan tetapi, aku tidak bisa kembali. Sudah berjalan sejauh ini, akan sia-sia kalau tidak mendapat informasi.

Aku berjongkok tepat di depan sumber bebauan amis yang menyerbak. Ini darah, bukan anggur, tapi kenapa berasal dari dalam barel? Sial. Sial. Sial. Setelahnya aku langsung berlari berupaya kembali.

Namun, ada dua petugas yang sedang berpatroli. Aku spontan bersembunyi dan menormalisasi pernapasan. Keduanya berbincang di tengah langkah. Suasana hening ini menguntungkanku untuk mengetahui apa yang dibicarakan.

"Penyakit ini benar-benar merepotkan, bukan?"

"Ya, sangat."

"Apa harus kita membunuh seseorang sebagai tugas mulia itu? Maksudku, izin malpraktik yang raja berikan untuk mengenali penyakit yang mematikan Marseille."

Aku mengendap-endap menjauhi. Langkahku terhenti ketika bertemu seekor tikus yang menatapku. Hewan kecil itu berlari ke arahku dan langsung menggigit salah satu jari kaki. "Aduh!" Suara itu tentu menggema di tengah-tengah keadaan yang hampa. Merasa sudah diketahui, aku berlari kembali ke rumah.

Namun, dua orang tadi juga mengejarku.

Kakiku terasa perih. Aku terjungkal menabrak tanah.

Mereka menangkapku dan terkejut. "Hei, kau anaknya Cyrilo, bukan? Davide?"

Aku mengangguk. Satu dari mereka melirik luka kecil di kakiku.

"Maaf, tapi kami harus membawamu," jelasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top