Tacenda: Spirit's Remain
"Sebentar lagi matahari terbenam, persiapkan diri kalian."
"Victor, teh?"
Aku menoleh ke belakang, menatap seorang gadis yang kini menatapku datar seraya mengenggam sebuah teko panas di tangannya. "Kak Victor, sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk istirahat."
Pemuda bersurai hitam di sisiku mengembuskan napas berat. "Panggil Winston."
"Aku bisa menggantikan Kakak, aku sudah berlatih!"
"Tidak percaya," cibirnya, mata masih menatap jalan berupa tanah kering di tengah hutan pohon mati ini.
Aku menggerutu. Sambil berpegangan pada kursi, aku merangkak masuk ke dalam ruangan kereta yang sedari tadi ditarik para kuda. Seberkas cahaya lembayung senja masih menembus robekan kain yang merupakan atap sementara gerobak ini. "Kak Nat, aku mau satu."
"Ambil gelasmu," ujarnya lirih. Tangan kanannya memegang pegangan teko, sedangkan tangan kirinya yang diselimuti kulit kehitaman mengelus bagian bawahnya. Dengan segera aku mengambil salah satu gelas di sisi Kak Nat.
"Kak," panggilku. Ia kemudian menuangkan teh perlahan–jalanan memang sedang mulus, tetapi siapa tahu roda gerobak besar ini tiba-tiba melindas batu–uap masih mengepul keluar dari teko itu. "Apa Kakak tidak lelah? Kakak memanaskan teko itu seharian dengan phantom kakak."
"Ah...." Kak Nat tersenyum tipis. Seketika kulit kehitaman dari ujung jemari hingga pergelangan tangannya memudar. "Ini tidak seberapa. Aku jarang menggunakannya, hanya untuk menghangatkan sesuatu atau menyalakan lentera."
Kutiup perlahan tehku, lalu meneguknya hingga habis. Aku langsung menyesalinya, lidahku yang malang! "Ah... Kak Nat, Kak Winston masih tertidur?"
Nat mengangguk. "Di ruang belakang dengan Alina."
Aku beranjak. Di kedua sisiku dan Kak Nat penuh dengan barang-barang dari desa yang akan kami bawa ke kampung kami. Barter kami tadi siang berjalan dengan mulus. Mereka menerima daging segar kami, dan kami dapat berkotak-kotak sayuran mereka.
Semenjak perang, para tacenda muncul, memecah belah umat manusia dan menghabisinya–sekitar empat perlima dari kami. Setidaknya itu yang Kak Victor bilang. Kini kami hanya dapat tinggal di desa-desa maupun kampung yang dilindungi kami, para phantom–orang-orang yang sudah berdamai dengan tacenda mereka sendiri. Sayangnya, para prajurit yang pergi berperang tidak pernah mengenal tacendanya, membuat para tacenda itu terbangun dari tidurnya ketika mereka mati dan berpikir bahwa mereka masih di tengah perang...
...dan menghancurkan segalanya dengan kemampuan mereka.
Aku membuka pintu kayu ruang belakang, mendapati pemuda seumuran dengan Kak Victor tengah tertidur di atas karung-karung padi. Di sampingnya Kak Alina tengah duduk bersila di atas angin, kedua mata terbuka lebar–putih. Seketika bulu kudukku berdiri. Aku belum terbiasa melihatnya menggunakan kekuatan itu.
"Kak Winston!" teriakku. "Ayo gantian, giliranmu yang memacu kuda!"
"Ugh...." Pemuda itu membalikkan tubuhnya, memunggungiku. Kesal, kujambak saja rambut pirangnya. "Kak!"
"Sialan!" teriaknya. "Awas kau ya–"
"Winston, cepat, Victor membutuhkanmu."
Kami langsung menoleh pada Kak Al. Matanya memelototi Kak Winston, masih dengan bola mata putihnya. Kak Winston berdiri perlahan duduk, kemudian berdiri. "Baik, baik, sabarlah sedikit." Ia menepuk-nepuk bokongnya beberapa kali, lalu keluar ruangan.
Lagi, kuperhatikan Kak Al yang kini telah menapakkan sebelah kakinya ke lantai. "Tidak ada tacenda sejauh ini, aku tidak mendengar pikiran siapapun selain kalian," ujarnya, tersenyum. "Semoga kita tidak bertemu satupun dari mereka malam ini! Sekarang, aku ingin teh~!" Kak Al melenggang pergi, menghampiri Kak Nat.
"Drogo," panggil Kak Nat, "boleh tolong ambilkan dua lentera di sampingmu?"
"Oke!" Aku mengambil kedua lentera bulat di sisiku. "Kak Nat akan menyalakannya?"
Kak Nat meraih salah satunya dari tanganku. Dengan jentikan jarinya, bunga-bunga api berjatuhan darinya, menyalakan lilin di dalam lentera.
"Wah, k ereen!" Aku mengambil lentera yang sudah menyala, lalu memberikannya satu lagi. "Kubawakan ini ke depan?"
Kak Nat mengangguk. Aku segera menghampiri jendela depan, melongokkan kepalaku ke luar. "Kak Winston, Kak Victor...?"
"Victor tertidur," balas Kak Winston. Kulihat Kak Victor sudah memejamkan kedua matanya di bawah cahaya rembulan. "Kau bisa membangunkannya?"
"Kak?" Aku beberapa kali menggoyangkan tubuhnya. Ia tidak bergerak sedikitpun. Aku justru takut doronganku akan membuatnya terjatuh ke tanah. "Kak–"
"Apa-apaan?!"
Kedua kuda di depan kami meringkik keras ketika Kak Winston mengehentikannya lajunya. Aku berpegangan pada kursi pengemudi. Kedengarannya beberapa barang di ruang belakang juga terjatuh.
"Kelinci!" teriak Kak Winston. "Di depan! Menyeberang!"
"Mana? Manaa?" Aku mengeluarkan tubuh mungilku, membiarkan lentera tadi terduduk di antara Kak Victor dan Kak Winston. "Aku tidak dapat melihatnya...."
"Kau terlalu pendek, bocah. Berapa umurmu, tujuh?" Kak Winston menyelipkan tangannya ke kedua ketiakku, membuatku berteriak, tetapi ia ternyata menggondongku dan akhirnya aku dapat melihat kelinci putih kecil di sisi jalan–jika ia tidak pergi, ia bisa terlindas!
"Kak Winston, pindahkan kelincinya!" pekikku.
Tiba-tiba kedua telinga kelinci itu menjadi tegak, lalu melayang seakan-akan sesuatu mengangkatnya.
"Alina...?" Kak Winston berbisik.
Kepulan kabut kelabu keluar dari semak-semak, mendekati kelinci itu. Ketika kabut itu menyentuhnya, bulu-bulu kelinci itu rontok, kulitnya mulai berjatuhan, begitu pula dagingnya–jatuh dan hangus di atas tanah.
Tangan Kak Al muncul dari dalam, meremas celana Kak Victor. "Victor, bangun."
Kak Victor tiba-tiba saja sudah meraih senapan dari balik punggungnya, mengarahkannya ke kabut itu, lalu menembaknya dua kali.
"Gila," ucap Kak Winston lirih sementara kabut tadi menipis dan kelinci yang kini sebagian tubuhnya busuk terjatuh, "andai kekuatanku sekeren kau, tidak perlu mendekatinya dan tacenda itu sudah habis dengan pelurumu."
"Kelincinya...." Aku merengut. Aku turun dari pangkuan Kak Winston, perlahan turun dari kereta, menghampiri kelinci itu. "Geser sedikit...."
"Drogo, kembali!" teriak Kak Winston. Namun terlambat, tubuhku sudah melambung ke atas, kabut tadi sudah menutupi pandanganku. Saat aku menunduk, kulihat kabut tadi memadat, membentuk tangan yang mengangkatku tinggi di atas tanah.
Kak Victor mengarahkan senapannya ke tangan hitam itu, menembak–mengeluarkan bola kecil hitam dengan asap mengepul keluar dari belakangnya, bersarang di tangan itu dan meledak. Tangan tadi terpisah-pisah menjadi bagian-bagian kecil, dan–ugh, dapat kurasakan serpihan-serpihan itu masuk ke saluran pernapasanku.
"Winston, tangkap dia!" Kulihat tangan Kak Winston membengkak, menghitam, lalu berusaha meraihku.
Namun, pandanganku berubah gelap.
Aku terbangun di pangkuan Kak Nat. Kulihat Kak Victor duduk di hadapan kami bersama Kak Al.
"Tidak ada yang bisa bertahan di dalam tacenda lebih dari 3 detik, Vic," terang Kak Al. Kak Victor memasang tampang kesalnya.
"Mungkin itu phantomnya," ujarnya.
"Tidak, kau tidak mengerti!" balas Kak Al. "Selama perjalanan aku tidak hanya mendengar lima pikiran, aku mendengar enam!
"Ia meraung-raung ingin keluar. Ia bilang Drogo bukan manusianya, tetapi dia tacenda-nya!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top