Mystical Vacation

Bagi sebagian orang, berdiam diri di rumah ketika masa libur panjang tiba bisa dijadikan sebuah pilihan yang paling berharga. Bagaimana tidak? Belasan jam per hari digunakan untuk berada di luar rumah dan bekerja agar dapat bertahan hidup di dunia lebih lama. Ketika bertemu akhir pekan, tidur dan bermalas-malasan adalah sebuah pilihan yang tak bisa dilewatkan.

Namun, itu hanya pendapat Indra, karena Monika selaku kekasihnya menyangkal semua itu dan meminta Indra untuk keluar bersamanya, saat ini juga. Indra bukan tak bisa menolak, tapi ia terlalu banyak tidak menuruti semua keinginan Monika setiap saat hari libur tiba. Sehingga kali ini, pria itu terpaksa harus mengalah.

"Sudah aku bilangin, aku tidak ingin pergi berlibur!" rengek Indra ketika menahan dirinya agar tak masuk mobil pacarnya. Ia berjongkok di samping mobil yang pintunya sudah terbuka.

"Bangun, nggak?" Monika mengancam. "Kalau nggak bangun, kita putus!"

Indra manut. Ia bangkit dari jongkoknya dan balik badan. Kakinya melangkah untuk kembali ke rumah.

Monika menarik jaket Indra sehingga pria itu tertarik ke arahnya. "Nggak usah mimpi! Cepet masuk!"

Benar-benar tak punya pilihan. Indra pun masuk ke mobil dan duduk di kursi samping kemudi dengan raut wajah yang tak bahagia sama sekali.

"Ayolah, jangan lemes gitu! Kamu tahu? Jalan-jalan juga bisa mengisi energi, tahu! Dijamin deh, sepulang kita liburan nanti, pasti kamu bakal merasa lebih segar!"

Penuturan Monika yang begitu antusias tak Indra hiraukan sama sekali. Ia memutuskan untuk memutar sebuah lagu melankolis dari mp3 mobil dan menutup mata hingga tak lama kemudian ia langsung terlelap tak bisa ditanya.

Perjalanan berlangsung selama sekitar satu jam. Usai berada di tempat tujuan, segera Monika membangunkan Indra dan mereka pun turun dari mobil sama-sama.

"Tempat apaan, nih?" tanya Indra sembari mengucek-ucek kedua matanya. Kini sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang nan tinggi. Pun di sana tak banyak bangunan, hanya terlihat sebuah posko kecil dan beberapa orang mengantre di sana. Seperti sebuah tempat pembelian karcis, mungkin?

"Kamu tunggu sini, biar aku urus dulu registrasinya," ujar Monika dan langsung berdiri di barisan paling belakang.

Kepala Indra mendongak. Melihat langit biru nan indah membuat kedua matanya berat. Pria itu pun menyandarkan punggungnya ke bagian samping mobil dan memejamkan mata dengan kedua tangan terlipat depan dada. Tak peduli seberapa ingin pacarnya pergi liburan, ia hanya perlu tidur di perjalanan atau tempat tujuan.

Monika menendang tulang kering Indra hingga pria itu terbangun dengan ringisan.

"Bawa ini!" Monika melempar ransel hitam pada Indra yang hampir tidak dapat diterima dengan benar. "Kita udah bisa masuk sekarang!"

"Sebenarnya kita mau apa, sih? Emang orang liburan perlu ransel sampai sebesar ini, ya?" oceh Indra sembari menyesuaikan langkahnya dengan Monika yang sudah jalan lebih awal.

"Udah deh nggak usah bawel!"

Indra pun tak punya pilihan. Jika sudah tiba di tempat seperti ini, kabur atau berontak sudah tidak akan ada lagi hasilnya. Ia ikuti langkah Monika dari belakang karena selalu tertinggal. Mereka mulai memasuki area hutan dengan banyak pohon yang semakin rindang. Semakin jalan ke dalam, cahaya matahari siang hari tidak lagi menerangi. Suasananya mulai gelap layaknya malam.

Indra berusaha mepet-mepet pada Monika saat tempat yang ia pijak semakin menggelap. "Ini kita pergi cuma berdua? Nggak pake tour guide?"

"Buat apa? Aku udah sering ke sini, tahu!" jawab Monika dengan enteng.

"Tapi tetep aja. Kalau nanti ada apa-apa sama aku, gimana?" tanya Indra sembari menghentikan langkahnya. Ia tarik tas ransel yang berada di gendongan Monika sehingga gadis itu pun ikut berhenti. "Aku takut, tahu!"

Monika menatap Indra dengan malas. "Kamu bukannya khawatirin aku, malah khawatirin diri sendiri aja!"

"Kalau aku kenapa-napa, kan kamu sendiri yang repot," ujar Indra, cengengesan.

"Kamu tahu nggak, sih?" Monika menangkis tangan Indra dari ranselnya. "Mimpi aku itu punya pasangan yang ideal."

Indra berpindah ke samping Monika dan menggandeng tangannya. "Emang aku nggak cukup ideal buat kamu?"

Dengan cepat Monika menggeleng dan menoleh pada Indra. "Enggak. Aku bertahan sama kamu cuma karena cinta aja."

"Cih!" Indra berdecak tanpa melepas gelayutan manja di tangan Monika. "Jadi nggak bisa cari cowok lain, begitu?"

Monika menertawakan dirinya sendiri. Penilaian ia terhadap seorang pria memang tinggi, tapi semuanya sirna hanya karena rasa cinta yang mampu membuatnya bodoh dalam sekejap.

"Buat aku, nggak masalah deh cowoknya tetep kamu, asal kamu ubah sedikit aja pribadi kamu," pinta Monika.

"Maksud kamu?"

"Aku bahkan rela bertukar jiwa sama kamu. Akan jauh lebih ideal kalau kamu jadi aku dan aku punya jiwa kamu," tutur Monika dengan bangga.

Tiba-tiba Indra melepas gandengannya. Kedua kakinya bergerak menjauh dan penuh tatap peringatan untuk Monika. "Kalau ngomong dijaga, ya! Nggak mau aku kalau harus tukar jiwa sama kamu."

"Kalau aku sih nggak masalah," kata Monika dengan memamerkan deretan gigi-gigi putihnya.

Indra bergidik ngeri. Membayangkan bagaimana ia akan hidup sebagai seorang Monika yang gila jalan-jalan saja tidak pernah, apalagi harus sampai mengalaminya.

"Tunggu Dra, kamu nggak tahu jalannya!" teriak Monika yang mengikuti langkah asal Indra.

Ini kali pertama bagi seorang Indra berkunjung ke alam terbuka untuk kemping di akhir pekan tanpa bergerombol. Mereka hanya datang berdua.

Langkah Indra tiba-tiba terhenti. Tatapannya memudar seiring sebuah kebingungan menggerayam. Tempat terbuka seperti ini rasanya tidak mungkin menyimpan sebuah cermin besar yang begitu bersih. Pria itu jelas melihat pantulan dirinya sendiri sedang menatap ke arahnya. Indra melangkah mendekat dan bayangan di depan sana melakukan hal yang sama. Cerminnya terlalu terlihat realistis. Tangan pria itu pun terulur untuk menyentuh rupanya dari pantulan cermin.

"Aah!"

Jeritan kedua insan yang pergi berlibur bersama terdengar menggema. Mereka sama-sama tersungkur ke tanah usai memegang pantulan diri mereka yang terasa begitu nyata.

Di hitungan ketiga usai kesunyian menerpa, keduanya saling menoleh. Mereka celingak-celinguk. Sadar bahwa pemandangan di sekitar dan yang ada di depannya tak berwujud sama, keduanya ternganga tak percaya.

"Keren! Kita beneran bertukar jiwa?" sorak Monika dengan menganga tak percaya mendapati dirinya berada dalam bentuk fisik pacarnya.

"Keren?" Indra--dalam bentuk fisik Monika--memasang wajah tidak terima. "Aku nggak mau, ya! Pokoknya kamu harus cari tahu gimana caranya biar kita bisa kembali!"

Monika menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. "Bener-bener keren. Sekarang kita pasangan ideal. Kamu cocok banget jadi aku, Dra!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top