Red Ritual

"LEPASKAN!!!"

Sia-sia berontaknya. Kepalan tangan dan tendangan mengayun tanpa sasaran. Sementara leher dan pinggangnya terus terbelit semakin erat, oleh sesuatu yang tadinya hanya terlihat sebagai lengan-lengan panjang.

Ketika jalan napasnya nyaris tersumbat total, terdengar 2-3 desingan pendek. Suara logam tipis dan tajam yang menebas sesuatu yang organik. Seketika napasnya kembali. Begitu juga dengan pijakannya.

Lelaki berambut pirang itu harus bertumpu pada kedua lutut dan telapak tangannya selama beberapa saat untuk mengembalikan orientasi arah seperti semula.

"Bisa berdiri?"

Suara yang merdu tetapi dingin. Tidak ada nada simpati didalamnya. Dia hanya menanyakan kesanggupan lelaki itu melanjutkan perjalanan mereka.

"Ya!" jawab lelaki itu sembari berusaha untuk kembali menegakkan diri. "Ayo kita teruskan!" mata birunya menatap lekat pada sosok perempuan yang segera membuang muka dan melesat pergi terlebih dahulu.

Stuart Kiefer tertatih-tatih berusaha melewati rute yang dapat dilalui dengan mudah oleh perempuan yang sudah beberapa menit lebih dulu. Susah-payah Stuart menapak di antara batu-batu basah dan berlumut. Beberapa kali pijakannya terpeleset, mungkin kepalanya akan hancur bila tangannya tidak sempat menggapai pegangan terdekat. Setelahnya dia harus bergegas mencari pijakan yang lebih kuat. Kesalahan kecil saja sudah membuat jarak antara dirinya dan perempuan itu bertambah beberapa meter.

"Sudah kubilang, tunggu di penginapan. Kenapa kau begitu keras kepala?"

Stuart mendongak, di antara napasnya yang pendek-pendek, dia bisa melihat sepasang mata ungu perempuan itu memandangnya. Dia kenal pandangan iba itu. Pandangan yang biasa ditujukan orang-orang di sekelilingnya sejak dia mulai mengenal dunia. Tungkai-tungkainya masih gemetar karena baru saja memanjat lereng yang cukup curam, tetapi dia memaksakan diri untuk bangkit.

"Ayo, Master ... Sedikit lagi! Kita harus sampai sebelum tengah malam, bukan?"

Suaranya masih bergetar. Peluh juga masih membasahi pelipis pucatnya. Jauh lebih mudah meninggalkan lelaki itu dan menyelesaikan segalanya sendiri, tetapi Lilliana akhirnya memutuskan untuk sedikit bersabar.

===***ooo000ooo***===

Bangunan tua, mungkin peninggalan abad yang lalu. Didirikan tepat di sisi tebing yang membelakangi kota kecil tempat penginapan mereka berada. Setiap pintu dan jendela disegel oleh papan yang dipaku, tetapi salah satu di antaranya menggunakan paku yang terlalu baru. Sepertinya papan yang dipasang hanyalah kamuflase untuk membuat orang mengira pintu itu tidak bisa dimasuki.

Ketika mereka baru tiba dua hari yang lalu, berita koran lokal sudah digemparkan oleh ditemukannya mayat. Berdasarkan apa yang tertulis di artikel, puluhan tahun terakhir selalu ada kejadian serupa, tetapi baru kali ini terjadi berturut-turut dalam kurun waktu yang berdekatan. Setiap malam jendela dan pintu rumah-rumah di kota itu ditutup rapat.

"Pengap!" desis Lillana kesal, ketika baru saja pulang setelah diceramahi oleh petugas yang berpatroli.

Biasanya perempuan itu akan segera melanjutkan perjalanan begitu saja, tetapi dia yakin Stuart tidak akan setuju. Lebih parah, lelaki itu akan pergi menyelidiki sendiri walau dia belum cukup mampu. Sudah susah payah menemukan murid yang manis, Lilliana tidak mau dia kehilangan nyawa untuk hal sepele.

Karena itulah menjelang malam berikutnya, perempuan itu diam-diam menyelinap keluar. Baginya mudah saja menghindari para patroli keamanan, yang membuat perhitungannya meleset adalah kegigihan Stuart untuk ikut serta.

Mengira lelaki itu akan menyerah di tengah jalan, dia biarkan Stuart terus membuntuti. Tetapi, walau memilih jalan gunung yang sulit dilalui, bahkan sengaja memilih rute yang dihalangi oleh tanaman perangkap, lelaki itu tak juga mundur.

"Aku akan periksa situasi, kau jaga sini!"

Tanpa membiarkan Stuart mengutarakan protesnya, dengan ringan Lilliana melompat dan bergelantungan ke salah satu tepian balkon terdekat. Setelah berayun--mencari momentum, satu entakan cukup untuk melontarkan tubuh mungilnya hingga perempuan itu mendarat tanpa suara di lantai balkon.

Melalui celah yang tersisa dari papan-papan yang menyegel jendela, Lilliana bisa melihat bahwa bangunan itu tadinya merupakan balai pertemuan. Di tengah bentangan lantai yang agak luas, dia melihat orang-orang berjubah. Tidak sampai selusin, semua melingkari apa yang terlihat sebagai bak mandi dengan cairan merah gelap. Dua dari mereka maju, membawa seseorang yang tidak sadarkan diri.

"APA YANG MEREKA LAKUKAN?!"

Lilliana terhenyak, terlalu fokus pada objek pengamatan membuatnya tak menyadari Stuart sudah memanjat balkon lain untuk ikut mengintip. Kini akibat seruan lelaki itu, orang-orang berjubah di dalam ricuh. Beberapa dari mereka langsung berdatangan setelah menunjuk ke arah balkon.

"Stu, cepat lar-...!"

Bukannya cepat-cepat pergi, lelaki pirang itu malah mencabut papan terbesar yang menyegel jendela tempat dia mengintip, lalu ....

PRRRAAANNNG!!!

Kaca jendela pecah berkeping-keping.

"APA MAKSUDMUUU?!" seru Lilliana panik.

Pecahan kacanya beterbangan ke dalam, mengenai beberapa orang berjubah yang sudah cukup dekat. Yang lain menghentikan langkah karena Stuart sekali lagi mengempaskan papan ke kaca sebelahnya. Lelaki itu menyeruak masuk melalui lubang kaca yang dia buat dengan papan yang masih tertancap pecahan kaca di tangan.

"Kalian ... melakukan ritual menjijikkan!" geram Stuart. Darah yang mengalir dari keningnya—mungkin karena percikan kaca ketika papan dihantamkan, membuat ekspresinya terlihat mengancam.

Murid Lilliana merangsek maju, membuat orang-orang berjubah di sekelilingnya pingsan hanya dengan bersenjatakan papan kayu usang. Bisa jadi mereka tidak sempat memberikan perlawanan yang berarti akibat syok yang ditimbulkan oleh kemunculan Stuart tadi.

PRAKKK!

Akhirnya papan kayu di tangan Stuart rompal juga, beradu dengan tiang lilin dari besi yang digunakan oleh lawannya.

"Stu," desah Lilliana sembari menepuk kening. "Kau punya pisau, 'kan?"

Pipi Stuart memanas. Akibat terlalu bersemangat, dia lupa sama sekali akan sepasang pedang pendek di pinggangnya. Sayang dia agak terlambat, para lawan sudah terlanjur mengelilinginya. Walau bersenjata tajam, melawan beberapa orang sekaligus cukup merepotkan.

"Lilliana!" panggil lelaki itu. "Mereka manusia biasa. Apa yang harus kulakukan?"

"Apakah mereka punya kesadaran?"

Stuart memicingkan mata, mencoba menangkap ekspresi para pengepungnya. Mata-mata mereka yang memandang ke arahnya terlihat kosong.

"Kalau begitu mudah saja. Kita bereskan induknya."

"Err ... bagaimana cara membedakan ...?"

"Di antara sekumpulan manusia bodoh yang mengira bisa hidup abadi, hanya dengan berendam darah sesamanya ini, yang menjadi induk tentu saja yang baunya paling busuk."

Stuart menghidu, hidungnya terangkat. Hanya sepintas, tercium anyir darah yang sudah mulai membusuk dari sisi belakangnya. Sebelum sumber aroma itu sempat melakukan sesuatu, Stuart segera menusuk ke arahnya sejauh mungkin. Pedih di pipi dan pundak menandakan lawannya tidak tinggal diam.

"Teruskan! Tebas lehernya!"

Dengan tangan yang masih bebas Stuart segera mengikuti perintah sang guru. Lolongan panjang yang memilukan disertai semburan darah hitam. Bersamaan dengan itu, yang lain tergeletak kehilangan kesadaran.

"Maksudku tadi bukan bau harfiah, tapi ... bolehlah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top