ONE NIGHT IN ETERNITY

Aku manusia terakhir di muka bumi. Atau, begitulah pikirku.

Saat gas mematikan itu meracuni udara, aku berada dalam kamarku yang terletak di basement. Tidak ada ventilasi, hanya pendingin udara. Maka aku tak menyadarinya saat seisi dunia tewas.

Yang kuinginkan hanyalah ketenangan, waktu sendirian, dan menonton anime seharian.

Biasanya, orang tuaku akan turun ke bawah, membentakku untuk keluar. Makan, katanya. Sekolah, perintah mereka. Mandi, salak ibuku. Hiduplah seperti orang normal, geram ayahku. Namun, petang itu mereka tidak muncul-muncul. Lalu, saat aku menjeda anime-ku untuk mengecek sosial media, berita tentang kabut yang menyelimuti dunia dan menghantarkan gas misterius pun muncul di beranda. Kejadiannya pagi ini—aku masih di basement pukul itu, sarapan sisa pizza bekas semalam.

Aku melangkah keluar untuk memastikan apakah orang tuaku juga melihat berita ini, tetapi yang kudapati adalah jasad mereka yang menggelimpang di ruang tengah, dengan tubuh biru dan mulut berbusa.

Aku bergegas menelepon seseorang, tetapi tidak ada sinyal. Aliran listrik pun telah diputus. Aku berlari keluar, tetapi segalanya sunyi. Gelap. Tempat ini seperti kota mati.

"Halo?!" teriakku di jalan. "Seseorang! Tolong—keluargaku ... orang tuaku ... terjadi sesuatu pada mereka!"

Tampaknya, ini terjadi pada semua orang. Kudapati jasad-jasad lainnya—tubuh biru, mulut berbusa—di jalanan, di teras rumah orang, di dalam mobil-mobil yang tampaknya habis bertabrakan.

Dengan panik, aku berlari ke tempat umum untuk memastikan—mall, supermarket, pasar, alun-alun, sekolahan ....

Di tengah jalan, segerombolan anjing liar menggonggong ke arahku. Apa pun yang terjadi di tempat ini—apa pun kabut itu yang membunuh orang-orang dan kini telah hilang—tidak membunuh hewan-hewan.

Lalu, bukan hanya anjing-anjing yang menyalak. Sepasang demi sepasang mata mengintai dari pekatnya malam. Seekor kijang melompat keluar dari balik semak, beberapa ekor monyet menggelantung di lampu-lampu jalan ....

Suara geraman menggetarkan kakiku. Aku berbalik, dan segerombolan macan menyerbu keluar dari kegelapan, mengejarku.

Aku berteriak dengan sia-sia, melompati bangkai-bangkai mobil dan manusia, berbelok dari satu jalan ke jalan lain, memanjati pagar yang dengan mudah dilompati macan-macan itu, dan akhirnya berhasil lolos dengan memanjati pohon di halaman belakang rumah seseorang.

Cabang pohon itu cukup panjang dan kuat, menjulur ke atap rumah. Aku menitinya sambil berpegangan seperti koala, mendarat di genting, lalu melompat dari atap ke atap yang berdempetan. Kudengarkan auman hewan-hewan liar itu yang makin lama makin samar, hingga akhirnya berbaur dengan lolongan serigala di kejauhan

Tersedu-sedu, aku berusaha kembali ke rumah melewati jalan memutar karena takut bertemu hewan-hewan tadi.

Namun, rumahku tampak benderang. Beberapa mobil yang masih utuh dan mesinnya masih menyala, terparkir di depan pagar. Rupanya aku bukan manusia terakhir di muka bumi. Dengan penuh harapan, aku berlari masuk ....

Langkahku terhenti saat sesosok berjubah keluar dari pintu depan. Buru-buru aku berbelok ke garasi yang terbuka, merendahkan diri di samping mobil ayah. Kusaksikan satu demi satu dari mereka keluar dari rumahku. Mereka mengenakan jubah kelabu panjang yang menyapu tanah, tudung kepala besar menciptakan bayang-bayang seram di wajah mereka.

"Seharusnya, kita memasang pelacak ke tubuh manusia sejak awal," geram salah satu sosok itu. "Bukannya ke ponsel mereka. Tampaknya, manusia terakhir yang selamat ini pergi tanpa membawa ponselnya."

Sosok lain menukas, "Atau, sensor Armageddon salah. Mungkin tak ada yang selamat—"

"Mustahil!" bentak sosok pertama. "Justru, ini sesuai dengan ramalan! Akan ada satu manusia yang selamat dari gas pemusnah massal kita—dan dialah yang akan menjadi pimpinan kita menuju zaman baru setelah semua pendosa dibersihkan! Dia yang akan membimbing kita, bersama para hewan dan tumbuhan yang selamat, menciptakan surga di muka bumi! Kita akan abadi bersamanya."

Aku terlalu gemetaran sampai-sampai, saat aku melangkah mundur, sikuku membentur badan mobil ayah. Sosok-sosok berjubah itu menyadari kehadiranku dan berbondong-bondong masuk ke garasi.

Aku mencoba kabur lewat pintu menuju dapur, tetapi terkunci. Aku pun melompat ke atas bumber dan berdiri membungkuk di atap mobil, tetapi dua sosok berjubah ikut memanjat ke atas. Adrenalin menggerakkanku meluncur turun dan memerosot masuk ke bawah kolong mobil. Tangan-tangan pucat mencoba menggapaiku, suara mereka memanggil-manggil, "Raja baru—selamatkan kami! Raja baru—selamatkan kami!"

Beberapa di antara mereka ikut menyusup ke bawah kolong mobil. Dengan jeritan heroik, aku merangkak keluar. Aku menyaksikan dengan jeri saat sosok-sosok itu menggeliat, mencoba keluar dengan sia-sia karena jubah mereka tersangkut.

Lebih banyak anggota sekte aneh yang keluar dari rumahku. Mereka membawa lilin yang menguarkan wangi-wangian aneh dan bibir mereka komat-kamit. Aku pun berlari keluar, masuk ke dalam salah satu mobil mereka yang masih menyala, bergerak kalap sampai lututku menyenggol gigi, dan menginjak gas begitu saja. Aku memekik saat mobil bergerak mundur.

Kepanikan benar-benar meracuniku. Alih-alih mengganti gigi atau menginjak rem, aku malah membanting roda setir—karena di film-film, masalah menyetir mobil tampak selalu selesai dengan memutar kemudi.

Mobil berpusing, berguncang saat aku menabrak ini-itu. Sosok-sosok berjubah melompat ke kaca depan dan memohon untuk kuselamatkan, jadi aku menyeka mereka dengan windshield wiper.

Semalaman, mobil ini berputar-putar dengan liar. Semalaman, aku menggilas dan menyeka para anggota sekte yang meminta penyelamatanku. Jika bukan karena kutabrak, mereka lenyap saat dihampiri beberapa macan liar.

Puncaknya adalah saat aku membuat bocor salah satu mobil tangki di jalan. Sambil terus mengemudi, kusaksikan dari kaca spion: tumpukan bangkai mobil meledak bersama para anggota sekte berjubah yang mengejarku.

Tubuhku gemetaran saat aku menabrak pintu kaca sebuah minimarket. Kujarah seluruh panganan, air kemasan, dan bahan kebutuhan sehari-hari yang mampu kuraup, lalu mengemudi kembali ke rumah tanpa mengacuhkan mayat-mayat di jalan yang terlindas.

Pada satu titik, aku baru menyadari darah mengaliri pelipisku. Tampaknya, kepalaku terbentur selama mobil berputar-putar. Perutku lapar, tubuhku lelah, duka dan sepi merayapiku—sampai aku merasa kebas.

Fajar menyingsing saat aku kembali ke rumah. Kegelapan karena ketiadaan listrik pun disapu bersih oleh cahaya mentari.

Kututupi mayat orang tuaku dengan sehelai kain. Sekumpulan gagak dan hewan-hewan liar berkumpul di depan jendela seakan ikut berduka.

Lihat sisi baiknya—sudah tidak ada yang melarangku menonton anime seharian. Kekehan lolos dari bibirku saat aku kembali ke basement dan merangkak ke depan laptop. Dengan perasaan gembira yang ganjil, dan wangi-wangian dari lilin yang ditinggalkan oleh para anggota sekte itu, aku bergelung berselimut kegelapan dan kedamaian kamar bawah tanah.

Aku membuka laptop, dan mataku berkedut. Kiamat akhirnya menghampiriku.

Baterai laptopku habis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top