Gefyra
Langit-langit ruangan dipenuhi gemilang cahaya warna-warni dari bola kaca raksasa di tengah ruangan, beralaskan bantal berlapis beludru ungu dengan seorang wanita tua duduk di hadapannya. Matanya terpejam, beberapa helai ubannya yang bergelombang menutupi mata. Terlepas dengkuran lemah dari bibirnya yang kecokelatan. Namun kini sisi matanya yang berkerut terpahat lebih jelas, berkas cahaya yang berotasi damai telah ternodai bercak-bercak merah membara yang memaksanya membuka mata.
"Gefyra," bisiknya, "singkirkan... manusia itu...."
Geraman keras menggema di seluruh ruangan itu, bersamaan dengan memberatnya udara di bahu sang wanita. Debu beterbangan, memutari ruangan itu kemudian perlahan menyatu membentuk bongkahan-bongkahan batu hitam yang membentuk sosok baru–sosok wajah. "Nyonya," makhluk itu mendesiskan suara femininnya, "berikan aku nama, dan aku akan menjalankan tugasku."
"Hapus dia." Wanita beruban di hadapannya mengangkat tangan, menyentuh dahi makhluk itu. "Dunia tidak lagi seimbang, kejahatan dan kebaikan harus berdampingan, selaras, sebagaimana alam ini bernapas."
"... Semoga Tuhan merestui."
Wujud makhluk itu menguap, meremukkan dirinya sendiri menyisakan bongkahan-bongkahan yang melayang di udara. Ia berputar sekali, lalu menerjang pintu kayu ruangan di balik sang wanita, menembus lorong batu yang memenjarakan ia dan tuannya di bawah tanah. Dari kejauhan ia dapat mendengar mantra-mantra dilafalkan, memberikannya sedikit ketenangan di lubuknya.
Tuhan akan berpihak padanya.
Melewati lika-liku gua gelap nan dingin, menembus hamparan rumput menguning di bawah naungan cahaya rembulan, kala ia merasa tujuannya mendekat dipelankannya laju.
Tuk!
Sebongkah kerikil terlempar ke leher seorang wanita. Spontan wanita itu mengusap lehernya, menggerutu, lalu memasukkan sampah yang sedari tadi harusnya sudah dibuang oleh suaminya. Ia menggelengkan kepala seraya melangkah masuk ke rumah, berusaha untuk menghilangkan kegusaran terhadap sang suami. Namun ketika maniknya menangkap sosok itu tengah menatap televisi sambil sesekali memijit pelipisnya.
"Apa yang kau pikirkan, sayang?" tanyanya. Namun tidak ada respons, dan ia sudah menebaknya. Tersenyum kecil, ia berjalan pelan menuju sofa yang diduduki suaminya dari belakang, klalu memeluk lehernya.
"Ah, apa?" Pria itu menggerutu. "Astaga, tanganmu bau sampah."
"Iya, iya...." Wanita itu menghampiri dapur, mencuci tangannya di wastafel. Ketika ia selesai, ia dapati sebilah pisau di sisinya. Kedua tangan pucatnya mengambil benda itu. Dengan Langkah pelan, ia hampiri lagi suaminya. "Chester...?"
"Hmm?"
Pisau di tangan kanan sudah tergenggam erat. Tepat di belakang sofa, wanita itu mengacungkan pisaunya ke udara, kemudian menghujam–
"Tolol, apa yang kau pikirkan?!"
Pria itu menggenggam tangan istrinya di udara. Nyaris saja bend aitu menancap pada dirinya. Baru ia sadari mata istrinya memerah. "... Julie...?"
"Kau membunuh orang-orang itu."
"Apa yang kau bicarakan?"
"Mereka tidak bersalah, tetapi kau menahan mereka. Mereka tidak bersalah, tetapi kau memenjarakan mereka. Polisi macam apa kau, Chester?!"
Wanita itu, dengan kekuatan yang entah dari mana asalnya, menendang sofa hingga kedua lutut sang pria tidak dapat menahan tubuhnya. Terpaksa ia menyingkir dari sofa itu. Namun tangan wanita itu Kembali mengayun, memojokkan dirinya ke sudut ruangan. Dengan terpaksa, pria itu mendorong tubuh istrinya, menabrak sofa hingga wanita itu tersungkur. Pisau itu kini entah di mana.
"Kita sudah membicarakan ini sebelumnya," balas pria itu, berlutut hingga kedua matanya dapat menatap lekat-lekat manik istrinya, "bukan kah kau sudah menerimanya?"
"Aku masih menerimamu sebagai narapidana," jawabnya lirih, "tetapi tidak sebagai pembunuh!" Dibenturkannya kepala ked ahi suaminya. Chester berteriak. Sementara pria itu sibuk menutup dahinya yang kini memerah, Julie meraba-raba lantai, menggapai pisau tadi, lalu menancapkannya ke pangkal atas paha suaminya.
Teriakan pria itu makin keras. Wanita itu menarik pisaunya ke bawah, merobek celana pria itu sementara darah bercucuran. "Ini hukuman yang pantas untukmu," bisiknya, "selamat tinggal."
Ia tarik lagi pisau itu, lalu menancapkannya pada lehernya, menumpahkan gumpalan merah.
Wanita itu terduduk lemas di hadapan suaminya, mengembuskan napas Panjang yang perlahan membentuk bongkahan-bongkahan kecil. Wujud itu, Gefyra, melesat keluar seiring teriakan wanita itu memancar ke segala arah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top