20. 100 Dreams

Genre : Slice of Life

Sub-genre : Friendship, Romance, Sad (?)

Buatan : Diasember

Mimpi : Hmm... dokter atau arsitek (?) yang jelas menjadi orang sukses, menjadi orang yang dapat membanggakan orangtua, dan orang yang dapat membuat orang lain bahagia, eaa :v *sebenernya sampai sekarang aku gatau*


The biggest adventure

you can take is to

the life is your

DREAM

.

.

.

"Jadi.. apa mimpi kalian?"

Bu Sri, guru mata pelajaran bahasa Indonesia, bertanya kepada semua murid kelas XI IPA-6.

Beberapa anak yang sangat aktif dengan cepat mengacungkan tangannya. "Aku ingin menjadi polisi Buu!!"

"Kalau aku, jadi chef yang handal juga sudah cukup Bu," timpal teman sebangkunya.

"Sudah besar nanti, aku ingin jadi arsitek, Bu!" jelas salah seorang murid lagi.

"Bu, Bu!! Aku ingin menjadi presiden. Aku ingin memberantas korupsi yang ada di Indonesia. Aku ingin membuat Indonesia tidak kalah dengan negara negara lain yang udah maju," jelas murid yang lain.

Sedangkan murid yang lain hanya tertawa mendengarnya dan sebagian besar dari mereka tak lupa mengucapkan 'Aamiin' di setiap cita-cita atau impian yang murid lain sampaikan.

"Wahh bagus itu. Ternyata kalian memiliki mimpi dan cita-cita yang sangat bagus. Kalian juga pasti sudah tahu kalau mimpi itu sangat penting untuk kita.

Bu Sri yang awalnya sedang menjelaskan sambil berjalan mengintari meja-meja para murid, seketika menghentikan aktivitasnya. Ia tertarik sekaligus penasaran dengan gadis yang duduk tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Jadi.. Apa cita-citamu, Athaya?"

Gadis yang dipanggil Athaya itu tidak menjawab, atau bahkan ia sama sekali tidak mendengar apa yang guru itu katakan.

"Athaya?" seru Bu Sri dengan intonasi yang lebih tinggi.

Variska yang ada di sebelah Athaya, buru-buru menyenggol Athaya agar ia bangun dari lamunannya. "Psstt.. Sadar woi!" ucap Variska pelan kepada Athaya.

Athaya pun sadar dari lamunannya. "Ah iya! Ada apa!?"

Sontak semua pandangan murid tertuju pada Athaya.

Bu Sri berdehem agak keras. "Biar ibu ulangi lagi. Apa mimpimu, Athaya?"

"Mimpi? Eng.. Apa ya?" tanyanya pelan kepada dirinya sendiri. Ia kemudian melirik Variska, berharap teman sebangkunya itu menolongnya. Tetapi, Variska hanya menggibdikan bahunya sambil menggelengkan kepalanya dan tertawa pelan.

Athaya hanya membalasnya dengan sebuah pelototan seolah berkata, 'Dasar temen rese! Awas aja ntar!'

Athaya kemudian beralih lagi kepada gurunya. "Ng.. Itu bu.. Aduh gimana ya. Kalau ditanya soal mimpi, aku selalu gatau mau jawab apa. Jadi ya gitu.. Gatau hehe," jawab Athaya sambil tertawa garing.

Bu Sri hanya menghela napas. "Pantas daritadi kamu melamun. Pertama, ibu mau mengingatkan ulang kalau saat ini adalah jam pelajaran bahasa Indonesia, jadi yang sudah pernah ibu bilang, selama jam pelajaran ibu, kalian harus berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mengerti, Athaya?" tanya Bu Sri sambil mengangkat alisnya.

Athaya yang sadar akan kesalahannya, hanya dapat menahan malu. "Hehe, iya bu. Maaf saya lupa.."

Bu Sri kemudian mengangguk. "Iya tidak apa apa. Baiklah sekarang ibu lanjutkan lagi, seperti yang ibu bilang tadi, mimpi itu sangat penting untuk kita. Kalian tahu, kita hidup itu harus memiliki mimpin atau tujuan. Bisa kita bayangkan kalau kita tidak memiliki mimpi. Bagaimana? Ada yang tahu?"

"Tidak ada arah tujuan hidup, Bu. ga jelas," jawab salah satu murid. jawaban itu, membuat Athaya semakin tersudut sekarang. 'Apalagi? Dipermalukan lagi?' batinnya bertanya.

"Ya, betul itu. Salah satunya kalau kita tidak memiliki tujuan, untuk apa kita hidup? Untuk apa kita bersusah payah bersekolah? Ibu ambil contoh kecil saja tentang cita-cita kalian. Kalian juga saat ini sudah dibagi antara jurusan IPA dan IPS. Nah, mulai sekarang, kalian itu harus sudah menetapkan cita-cita kalian. Kalian mau apa? Bila kalian sudah tahu cita-cita kalian, berusahalah mulai dari sekarang, belajar dengan tekun dan tekuni apa yang kalian minati atau yang kalian inginkan. Jangan hanya ingin saja tetapi tidak ada usaha. Itu sama saja bohong, benar?"

"Benar, Buu.."

"Bagus.. jadi sekarang ibu mau memberikan tugas yang dikumpulkannya dua minggu ke depan. Buatlah cerita tentang mimpi kalian, yang menarik! Di kertas A4 dan dijilid. Mengerti?"

"Mengertii.."

*tengtengteng*

"Ah kebetulan sekali sudah bel istirahat. Mungkin Ibu cukupkan sampai di sini. Jangan lupa ya tugasnya. Assalamu'alaikum.." ucap Bu Sri sambil meninggalkan kelas.

"Wa'alaikum salam. Terimakasih, Buu.."

###

"Hahh.." Athaya menghela nafas kasar sambil menenggelamkan wajahnya.

"Hahaha, makanya jangan suka bengong kalo lagi belajar," ucap Variska sambil mengeluarkan bekalnya. "Makan, kuy.." tambah Variska.

"Engga makasih. Ga nafsu.." jawab Athaya masih memepertahankan posisinya.

"Yaelah, masih badmood aja. Udahlah lupain aja. Yang lalu biarlah berlalu~" jelas Variska sambil membuka tempat bekalnya dan mulai memakan bekalnya.

"Gampang sih ngomong gitu, tapi bantu aku dong. Ntar tugasnya gimana kalo cita-cita aja aku masih bingung!" jawab Athaya.

"Masih lama kok dikumpulinnya juga, tenang aja."

"Hahh.." Untuk kedua kalinya Athaya menghela nafas dengan kasar.

"Eh, Thay, btw peralatan kelas udah dibeli? Yang kek sapu, pel, spidol, ember, pembersih kaca, sem--"

Athaya dengan cepat menegakkan tubuhnya dan memotong pertanyaan Variska. "Oh iyaa!! Aku lupa! Gimana atuh?" tanya Athaya panik.

"Heuu.. gimana sih seksi peralatannya ga bener," ledek Variska sambil tertawa.

"Aelah! Baleg ih, gimana atuh, lusa ada Jum'at bersih lagi!"

"Sans aja kali."

"Anterin belanja atuh."

"Ga."

"Jahat pisan aih."

"Terserah aku lah."

"..."

"Canda atuh. Eh tapi seriusan, Thay, aku gabisa nemenin, besok ibuku ultah, aku rencananya mau buat surprise," jelas Variska senang. "Oh atau engga minta anter siapa sih itu? Seksi peralatan juga yang jarang masuk tea."

"Ohh.. Naufal?"

"Iyaa tuh, minta bantu dia aja. Ato engga suruh dia aja yang beli semuannya," saran Variska sambil tertawa jahat.

"EKHEM!" Dari belakang terdengar seseorang berdehem keras. Ternyata orang yang sedaritadi Athaya dan Variska bicarakan masuk dan daritadi ia berada di kelas.

Yang Variska dan Athaya tahu, yang di kelas hanya ada mereka berdua, sedangkan murid yang lainnya ke kantin. Ah, sudahlah lupakan tentang itu.

"Heee!!? Naufal??! Sejak kapan kamu ada di sana!?" Tanya Variska terkejut sambil menoleh ke belakang.

"Jauh lama sebelum kalian ngomongin aku," jawab Naufal datar.

"Habisnya sih, kamu tumben masuk. Terus kenapa gak ke kantin, coba? Aku kira cuma aku sama si Thaya doang yang di kelas," jelas Variska. Sedangkan Athaya hanya menoleh ke belakang dan memperhatikan pemuda yang dipanggil Naufal itu.

Naufal, pemuda yang tak banyak orang lain tahu tentang kehidupannya. Ia yang selalu memakai kupluk kemana pun ia pergi dan memang dari awal masuk kelas XI, kehadirannya mungkin kurang dari 50 persen. Bahkan terkadang kehadirannya tidak dipedulikan oleh teman sekelasnya karena jarang sekali ia masuk. Orangtuanya pernah dipanggil ke sekolah dan selanjutnya tidak ada yang tahu apa yang terjadi sampai seorang yang jarang sekali masuk masih bisa tetap bersekolah di SMAN XXX Bandung ini.

"Jadi maksud kalian apa nyuruh-nyuruh beli peralatan?" tanya Naufal sambil memakan bekalnya.

"Tanya Thaya aja tuh," jawab Variska acuh.

Naufal menatap Athaya dengan tatapan seperti menunggu jawaban. "A-ah, i-itu, tidak jadi. Biar aku saja yang beli." Athaya kemudian membalikkan badannya, dengan cepat mengambil bekalnya dan kemudian memakannya. Menghindar? Entahlah.

###

20.15

Sehabis mengerjakan pr, Athaya merebahkan dirinya di kasur. "Huft, besok berarti ya belanjanya.." gumamnya sambil menatap langit-langit kamarnya.

Tiba-tiba terdengar suara line masuk dari handphonenya.

Naufal

Thaya

Thay

P

P

P

Athaya sedikit tercekat melihat pesan yang ia terima. Ia takut kalau Naufal masih marah soal yang tadi.

'Duh udah keburu aku read nih!' batinnya.

Maaf soal yang tadi. Kita ga maksud ngomongin kamu kok! Aslian!


'Langsung di read'

Apaan sih? Maaf kenapa? Aku ga merasa harus dapet minta maaf dari kamu :v

Thay, aku mau bilang kalo besok aja kita beli peralatannya. Pulang sekolah aja

Ohh gitu ya, yaudah deh. Maaf salah :'3

Okee!


Athaya menghela napas kasar. "Haduh, sebenernya sih kayaknya lebih leluasa kalo beli peralatannya sendiri yak? Gimana kalo malah canggung? Aku ga deket banget lagi sama dia," gerutunya pada diri sendiri.

###

Besoknya saat pulang sekolah.

13.00

"Untung aja dipulangin cepet ya! Jadi aku bisa nyiapinnya dari sekarang," ucap Variska senang.

"Rapat apaan sih gurunya?" tanya Athaya penasaran.

Variska menggindikan bahunya. "Entah. Yang jelas aku seneng sekarang. Aku pulang duluan ya, Thay. Byee.. sukses belanjanya!!" ucap Variska kemudian meninggalkan Athaya.

Athaya melanjutkan membereskan buku-bukunya. Tiba-tiba seseorang menghampirinya.

"Hayu, udah belum?" tanya pemuda itu.

Athaya mendongakkan kepalanya dan ia mendapati Naufal. "Y-ya, sudah kok. Hayu.." Ia kemudian menggendong tas ranselnya.

"Naik apa?" tanya Athaya ragu.

"Angkotlah. Kamu mau jalan kaki?" Naufal malah balik bertanya tetapi sambil tertawa.

"Engga sih.."

Selama di perjalanan ke gerbang sekolah tak ada satu dari mereka yang berbicara.

'Duh, tuh kan! bener aja canggung. Aku gabisa buat topik pembicaraan, lagi!'

Naufal berdehem kecil. "Hehe maaf, aku gabisa mercairkan suasana, haha. Jadi canggung gini," ucap Naufal yang akhirnya berbicara.

Athaya menggelengkan kepalanya cepat. "Engga kok, gapapa, aku juga gatau mau ngomongin apa," jawab Athaya sambil menggaruk tengkuknya.

"Terbuka aja sama aku, gapapa kok. Jangan ngerasa sungkan. Akunya juga yang jadi gaenak kalau gitu."

Athaya mengangguk. "Okeey.." ucapnya sambil tersenyum.

Naufal tiba-tiba menghentikan jalannya. "Oh iya, Thaya, aku lupa mau ngomong ini ke kamu, sebenernya aku mau ngomong ini kemaren di line, tapi ya.. gimana ya, duh gimana ngomongnya?" ucap Naufal yang semakin merendahkan intonasinya di kalimat terakhir.

Seketika itu juga jantung Athaya serasa ingin melompat. Detak jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tercekat.

"Mau gak.... kamu anterin aku ke alun-alun Bandung? Hehe,"

Layaknya terbang tinggi dan kemudian tiba-tiba saja jatuh seketika.

"Sakit," gumam Athaya pelan.

"Hah? Apa? Kamu sakit?"

Athaya menggeleng cepat. "Engga, engga. Hayu aja kita kesana, gapapa kok," jelasnya sambil tersenyum.

Mendengar Athaya menyetujui permintaan Naufal, senyum Naufal pun mengembang. "Makasih!" ucapnya senang.

Athaya hanya mengangguk. 'Dasar, mikir apaan sih kamu, Thay?' batinnya menggerutu.

'Oh iya, aku lupa menanyakan kenapa dia mau ke alun alun? Mungkin aku bisa menanyakannya nanti di angkot,' pikirnya.

###

Alun-alun Bandung

"Akhirnya sudah sampai," ucap Naufal sesudah membayar ongkos angkot tadi.

"Eh, berapa tadi?" Athaya merogoh saku roknya.

"Gausah, aku kan ngajak ke sini, biar aku yang bayar," jelas Naufal sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih, dan juga mengangkat tangan dan jarinya yang berbentuk 'V'.

Karena angkot tadi penuh, Thaya belum sempat menanyakan pertanyaan tadi kepada Naufal.

"Yuk kesana.." ajak Naufal sambil menunjuk tempat yang kosong.

"Naufal, emang sebenernya kenapa kamu mau kesini?" tanya Thaya akhirnya.

Naufal menghindari kontak mata dengan Athaya. Naufal terlihat berfikir. Tetapi kemudian ia tersenyum. "Mending duduk dulu, aku beliin es duren yak! Nanti aku cerita," tawarnya.

"Aku ikut atuh."

"Gausah, duduk aja. Aku yang beli, kamu duduk aja di sana sama jagain tas aku. Bisi capek. Tunggu ya!" jelas Naufal yang kemudian meninggalkan Athaya.

'Aneh. Padahal di sini kan gaada apa-apa. Cuma banyak orang, anak kecil, pedagang(?) Gaada yang dirasa sangat penting di sini(?)' tanyanya dalam hati.

Tak beberapa lama, Naufal datang sambil membawa dua cup es durian.

"Nih." Naufal menyodorkan es itu kepada Athaya.

"Makasihh.."

Naufal kemudian duduk dan memakan es duriannya.

"Jadi.. Kenapa kita kesini? Mau ketemu seseorang?" tanya Athaya penasaran sambil mengambil sesendok es krim dan kemudian memakannya.

"Oh.. Tunggu sebentar." Naufal merogoh saku celananya.

Ia kemudian mengeluarkan secarik kertas yang sangat panjang. "Tadaa!! Keren bukan?" tanyanya bangga sambil sedikit tertawa.

Athaya hanya menatap pemuda itu dengan bingung. Yang ia lihat hanyalah sebuah kertas--mirip seperti kertas bon--yang ia tulis dengan pulpen hitam biasa yang berisi:

....
94. Makan makanan favorit
95. Punya kupluk baru
96. Pergi ke alun-alun
97. Foto bareng costplay di Jl. Asia Afrika
....

Yang Athaya lihat di kertas itu hanya no. 94 sampai 97.

"Apa itu?" itulah pertanyaan yang daritadi ia ingin tanyakan.

"Ini semua mimpi-mimpiku!" jawabnya antusias.

"Ini semua? Wow.. Berapa banyak itu??"

"Otw seratus, hehe. Rencananya sih hari ini aku mau capai semuanya, jadi nanti ceklis semuanya. Akhirnya mah besok buisa pas jadi 100 deh."

"Pengen liat dong!"

"Ga boleh, dokumen negara, sangat rahasia, hahaha." Naufal kembali melipat kertasnya dan memasukkannya ke saku.

Athaya hanya mempoutkan bibirnya. "Dari kapan itu buatnya?" ia akhirnya bertanya karena penasaran dan tertarik.

"Kelas 10."

"Kok bisa banyak?"

"Iya dong. Kamu sendiri, kok satu pun mimpi tidak punya sih?" tanya Naufal sambil tersenyum.

Athaya membuka mulutnya, tetapi ia menutupnya kembali. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Habis, kamu kan tau kalau aku ga jago di bidang apa-apa."

"Emang kalo mimpi harus jago di bidangnya?"

"Iyalah.. kalau misalkan aku mau jadi arsitek tapi kalau gambaranku pas-pasan kan percuma aja. Atau engga, gimana kalau aku mau jadi dokter tapi nilai ulangan aja masih remed?"

"Jadi cita-cita kamu jadi dokter sama arsitek?"

Athaya menggeleng pelan. "Ya.. gatau sih. Bingung aku juga."

"Hmm.. menurut aku mah ahli di bidangnya ga harus juga. Asal kamu punya niat dan tekun belajar untuk mencapai cita-cita kamu, itu udah cukup. Asalkan kamu konsisten dan telaten. Ya, contoh kecilnya sih, ini. Dari kertas sepanjang ini kan semuanya berisi mimpi-mimpi aku. Ya, walaupun ada yang ga bisa dicapai, tapi jangan berhenti bermimpi! Aku juga gak bosen kok punya banyak mimpi," terang Naufal sambil tersenyum.

Kata-kata Naufal sedikit menggertakan hati Athaya. Bagaimana mungkin dia sama sekali tidak punya mimpi sedangkan pemuda di hadapannya memiliki banyak sekali mimpi yang ingin dia wujudkan?

Hening sejenak. Keduanya asyik dengan pikirannya masing-masing.

"Yaudah, ayo kita liat costplay. Terus terserah kamu lagi mau kemana. Kita wujudin semua mimpi kamu, udah itu baru belanja peralatan, bagaimana?" tawar Athaya sambil berdiri.

Senyum Naufal mengembang. Ia tersenyum lebar. "Tentu saja, ayoo!"

Sejak saat itu keduannya tidak lagi sungkan saling bertukar cerita, mereka juga sudah akrab. Terkadang, ada saja lelucon yang dilontarkan Naufal, yang sukses membuat Athaya tertawa. Mereka berjalan-jalan di sekitar Jalan Asia Afrika. Selain melihat dan bertemu costplay, tak lupa mereka mengambil foto bersama costplay-costplay di sana. Kebetulan, museum KAA dibuka, jarang-jarang pengunjung luar bisa masuk melihat-lihat ke dalam.

Mungkin itu hari keberuntungan mereka. Tetapi, jam sudah menunjukkan pukul 16.30, mereka terpaksa harus pulang agar orangtua mereka tidak khawatir. Tak lupa, tujuan awal mereka--belanja peralatan kelas--mereka penuhi.

Setelah semua selesai, mereka pun pulang.

"Naufal, makasih ya udah ngebantu nemenin belanja peralatan," ucap Athaya sambil tersenyum manis.

"Tidak, tidak. Aku yang harusnya berterimakasih. Makasih banget mau bantu aku, mau nemenin, mau cerita, mau motoin aku sama kamen rider, mau diajak naik angkot, mau apa lagi yak?" tanyanya sambil tertawa.

Athaya pun tertawa kecil. "Apaan sih, gaje."

"Maapin juga kalo aja gaje, rada ngeselin, dan lain-lain."

Seakan teringat sesuatu, Athaya langsung bertanya kepada Naufal. "Eh, btw kamu besok masuk sekolah, kan? Kenapa sih kamu jarang masuk?"

Naufal mengangkat kedua alisnya. "Mabal, hahaha.." ucapnya sambil tertawa.

"..." Tak ada tanggapan oleh Athaya.

"A-ah, doain aja besok aku masuk! Sekali lagi, makasih banget buat semuanya, Thaya! Jangan lupa, pikirin mimpi sama cita-cita kamu dari sekarang. A-aku pulang ya. Jangan kangen, haha. Daahh!" Naufal pun pergi meninggalkan Athaya sendirian.

Entah hanya perasaan Athaya, atau hanya ia yang mendengar kalau suara Naufal bergetar.

'Perasaan apa ini?' Buru-buru Athaya menggelengkan kepalanya. Ia kembali tersenyum. Ia sangat senang hari ini.

Ya, pengalaman yang tidak akan ia lupakan.

###

Besoknya di sekolah.

"Var, Naufal ga masuk ya hari ini?" tanya Athaya kepada Variska yang sedang mengerjakan tugas yang guru berikan.

"Engga, mereun. Kan dia biasanya ga masuk. Kenapa emang? Eh, tumben nanyain, ciee.." goda Variska.

"Apa sih, Var. Aku cuma mau ngasih ucapan terimakasih ke Naufal karena kemaren udah bantuin belanja."

"Ngasih apaan emangnya?"

Athaya mengambil sesuatu dari tasnya. "Ini. Bagus gak? Jelek ya.. Emang gaada bakat di bidang kek gini aku mah," jelas Athaya.

"Ih kerenlah! Ngerajut sendiri!?"

Athaya mengangguk.

Sebuah kupluk berwarna biru dongker rajutan sendiri. Hanya itu, tak ada yang spesial.

"Bagus kok, nanti aja kalo masuk lagi kasihin! Aku akan selalu mendukungmu, teman seperjuanganku!" ucap Variska sambil menepuk bahu Athaya.

Athaya hanya tersenyum tipis, "makasih.."

###

Hari demi hari berlalu, tak ada kabar sama sekali tentang Naufal yang tidam masuk sekolah. Teman sekelasnya pun tidak ada yang peduli dengan hal itu, seakan Naufal tidak ada di kelas XI IPA-6.

Tetapi, hari ini berbeda. Suara speaker yang dihubungkan ke semua kelas berbunyi.

"Ass. Murid-murid, Innalilahi wa inna Ilaihi Roji'un, salah satu teman kalian, Naufal Akbar, kemarin malam telah berpulang ke Rahmatullah. Kita doakan semoga amal ibadahnya dapat diterima di sisi-Nya.. "

*Deg*

Jantung Athaya seakan tertusuk oleh beribu-ribu jarum, nafasnya seakan tertahan, telinganya seakan tidak ingin mendengar kenyataan yang ada.

Pemuda.. Yang dicintainya sudah tiada.

Sontak semua murid terkejut mendengar itu. Tetapi tak ada yang lebih terkejut dibandingkan Athaya. Ia rasa baru kemarin ia bertemu dengannya dan berbagi cerita dengannya.

Tetapi kenapa? Kenapa ia pergi begitu cepat?

Air mata tak kuasa Athaya bendung lagi. Deras air mata ia keluarkan dalam pelukan sahabatnya, Variska. Tak ada yang dapat Variska lakukan, ia hanya berusaha agar Athaya tidak berlarut dalam kesedihannya.

Hari itu juga, Athaya menyadari tiga hal. Jangan sia-siakan waktumu bersama orang di dekatmu, penyesalan datang di akhir, dan waktu tidak dapat diulang.

Ya, Athaya sangat menyesal.

###

Tiga hari kemudian, Athaya yang sebelumnya diberitahu alamat oleh wali kelas, dengan cepat menghampiri rumah orangtua Naufal.

Kebetulan ia bertemu langsung dengan ibunya Naufal. "Bu, punten, saya Athaya, salah satu temannya Naufal, turut bela sungkawa atas kepergian Naufal ya, Bu. Maaf karena mungkin aku menjadi teman yang kurang baik buat Naufal. Aku juga mau ngasih ini sebenarnya ke Naufal seharj sesudah terkahir kali ia bersekolah," ucap Athaya yang masih belum bisa merelakan Naufal pergi.

Ibu Naufal pun teringat sesuatu saat mendengar nama Athaya. "Iya terimakasih banyak, Nak. Oh iya, jadi ini Athaya? Tunggu sebentar ya, ada yang Naufal tititpkan ke ibu sebelum ia meninggal," jelas Ibunya Naufal ddngan suara bergetar.

Tak lama ibunya kembali membawakan sebuah amplop putih yang berisikan tulisan:

To: Athaya Noviani

Hai, Thaya! Apa kabar? :) Aku harap kamu sehat wal'afiat.

Ya, mungkin kalau kamu nerima surat ini berarti aku sudah berada di alam yang berbeda. Tapi tenang aja! Gapapa kok, jangan sedih//siapa juga yg nyariin elu! :'v// gak, bercanda. Oke, serius loh, pokoknya jangan sampai sehari kamu gak senyum, tetep senyum ke semua orang ya, walaupun sebenarnya hati kamu sakit, pertahankan senyumanmu itu :) buat energi positif buat orang lain.

Ah iya, aku mau berterima kasih banyak sama kamu kemarin. Aku seneng banget. Maaf kalau aku pernah nyakitin kamu, atau ada perilaku aku yang salah, tolong maafkan.
Maaf juga kemarin aku berbohong tentang aku yang gak masuk sekolah karena mabal. Ya.. Sebenernya gaada yang tau kalau aku menderita sakit parah. Sampai aku harus banyak absen di sekolah. Aku sebenernya ingin sekali seperti kalian yang dapat bersekolah. Tapi tak apa, aku bersyukur kok dengan kehidupanku! ^^

Dan soal mimpimu itu, tentukanlah dari sekarang, buatlah mimpimu itu jadi kenyataan! Jangan takut untuk bermimpi! Berusahalah membuat mimpimu itu menjadi nyata dari sekarang.

Maaf, aku gak ahli dalam membuat kata-kata. Mungkin itu surat dariku, jangan pernah lupain aku ya, hehe.

Salam,
Naufal

Ternyata, isi amplop itu tidak hanya surat itu saja. Tetapi ada juga kertas yang berisi mimpi-mimpi Naufal yang waktu itu pernah ia perlihatkan kepada Athaya.

Dari mulai mimpi nomor 1 sampai 100.

Dari mulai mimpi yang sepele, sampai suatu mimpi yang besar. Mulai dari mimpi yang sudah ia capai, sampai yang tidak dapat ia capai. Semuanya ada di sana.

Dan beberapa bagian yang Athaya baca, makin lama, mimpi yang Naufal buat semakin sepele. Mungkin saja ia tahu bahwa waktunya tidak lama lagi.

Lagi-lagi air mata menetes melewati pipi Athaya.

Yang paling mengejutkan, di mimpi nomor terakhir terakhir.

98. Menghabiskan sisa waktu hidup bersama orang yang dicintai
99. Buat Athaya menemukan mimpinya
100. Membuat oranglain bahagia

Athaya terkejut dengan apa yang ia baca. Ada namanya di salah satu mimpinya itu. Ia kemudian menceklis ketiga nomer terakhir.

98. Menghabiskan sisa waktu hidup bersama orang yang dicintai
99. Buat Athaya menemukan mimpinya
100. Membuat oranglain bahagia ✔

Ya, kau sudah membuat mimpi-mimpimu itu terkabul, Naufal. Kau sudah membuat oranglain bahagia, dan kau juga sudah membuatku menemukan mimpiku sendiri.

Ya aku tahu sekarang.

Aku akhirnya tahu apa impianku.

Aku juga ingin sepertimu.


Membuat Oranglain Bahagia

.

.

.


Your dreams will always defeat reality if you give it a chance.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: