16. Mainstream


Buatan : Just_Psychopath

Genre : Slice of life
Sub genre : Drama
Mimpi : Jadi penulis + diakui

Songfict: Taylor Swift; Look What You Made Me do

Apa kalian tahu apa itu mimpi? bukan mimpi seperti bunga tidur yang kumaksud, mimpi yang kumaksud adalah perasaan hati yang merupakan suatu keinginan yang ada dalam hati kita. Seperti ingin jadi apa kita esok, atau keinginan terpendam kita yang sangat ingin kita miliki.

Apa kalian mempunyai mimpi? ya, semua orang pasti memiliki mimpi, begitu pun denganku. Namun, tidak ada yang mendukungku untuk menggapainya. Bahkan keluargaku sekalipun.

Aku pernah berusaha untuk mengatakan impianku pada mereka, dan coba tebak apa yang mereka katakan? mereka justru mentertawakanku dan menganggap itu hanyalah bualanku saja. Mereka juga mengatakan jika impianku terdengar mainstream.

Kalian mau tahu apa mimpiku? mimpiku adalah menjadi penulis sukses.

Mengapa? karena aku ingin diakui.

Terutama oleh keluargaku.

«~~~\(^0^)/~~~»

BUAGH!

Aku jatuh tertelungkup saat sebuah pukulan telak menghantam wajahku.

"Cih," makiku kecil seraya meringis geli pada orang yang telah memukulku.

"Dasar bodoh! sudah berapa kali kukatakan padamu untuk berhenti menulis? tulisan yang kau buat tidak jauh berbeda dari sampah! cobalah untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat!" makinya lagi seraya melempar kasar naskah ceritaku yang lagi-lagi mendapat penolakan dari penerbit.

"Bisakah setidaknya kau mencoba untuk mendukungku barang sedikit saja, Ayah?" seruku kesal. Di sini, tidak ada satupun orang yang ingin mendukungku untuk berhasil. Mereka justru mengolok-olokku bahkan mencoba untuk membuatku putus asa akan impianku.

"Mendukungmu? kalau kau becus aku pasti sudah mendukungmu sedari dulu. Tapi lihat, selama empat tahun ini yang kau lakukan hanyalah duduk seharian di depan layar laptop untuk menulis cerita bodohmu itu, mengirimkannya pada penerbit dan menerima penolakan. Untuk apa aku mendukung anak tidak berguna sepertimu?" balas pria paruh baya yang wajahnya nampak hampir meledak karena amarah.

"Kau tidak adil, Ayah. Kau selalu mendukung kakak meski Ayah sendiri tahu jika apa yang dilakukannya salah dan hanya akan berakibat kegagalan. Tapi kau selalu mendukungnya dan membantunya kapan pun itu. Sementara aku? kau tidak pernah menunjukkan rasa sayangmu sedikitpun padaku!" balasku lagi tak kalah sengit sebelum berlari menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Mengabaikan amukan susulan darinya yang semakin membuatku sakit saja. Samar-samar aku mendengar teriakan peringatan darinya.

"Jika sekali lagi kau gagal, kau harus menuruti semua yang kukatakan. Kau harus meneruskan kuliahmu dan menjadi dokter!"

"Aku hanya ingin diperhatikan sekali saja," keluhku lirih. "Aku tidak ingin menjadi dokter atau apa pun itu. Aku hanya ingin menulis, itu saja," dengan gontai aku berjalan menuju komputerku dan mulai mencurahkan seluruh keluh kesahku dalam sebuah cerita. Aku selalu melakukannya, berbagi kisah dalam cerita adalah hal yang baik dan aman bagiku. Aku tidak begitu menyukai bercerita dengan orang lain, karena itu berpotensi besar untuk bocor dan menyebar pada banyak orang.

Tidak, aku berbohong. Sebenarnya, aku hanya tidak memiliki kawan yang dapat kujadikan tempatku mengadu saja.

Lagipula, sudah lama aku sendiri. Dan itu tidak terlalu buruk bagiku.

"Oke, kali ini aku yakin pasti berhasil, ayo Amaya, kau pasti bisa!" seruku untuk menyemangati diri sendiri. Dan, mulailah aku mengetik untaian demi untaian kata.

Cerita yang kutulis kebanyakan bergenre thriller danhorror. Aku tidak terlalu nyaman dan bisa dalam membuat cerita romance, atau yang lainnya yang menyangkut masalah cinta. Menurutku itu terlalu sensitif, dan sedikit aneh. Jika aku membuat cerita dengan sedikit melebih-lebihkannya, pasti rasanya tidak akan baik. Kesannya seperti terlalu dibuat-buat.

Dan lagi, aku tidak tahu secara pasti apa itu cinta.

Menggeleng kecil, aku mulai melanjutkan menulis bagian klimaksnya. Tepatnya, tetangga dari klimaks.

"Baiklah, mulai sekarang jangan banyak melamun. Hm ... sampai di mana kita tadi, ya?" gumamku seraya membaca ulang tulisan yang telah kuketik.

------------------------------------

" ... ssh ... mari kita bermainn sedikit sebelum hari menjelang malam," bisiknya balik tepat di telinga Lunar. Membuat gadis itu bergidik nikmat.

"Ta-tapi ini di lift ...."

"Diamlah sebentar," pria itu menyela pembicaraan sang gadis dan melirik arloji kecil yang bertengger manis pada pergelangan tangan Lunar. Pria itu tersenyum.

"Sudah jam tujuh malam, sayang. Itu artinya, let's go party all night!" serunya kemudian. Tanggannya mulai menjelajah pada pakaian Lunar dan merobek salah satu bagiannya hingga membuat sang empu menjerit malu. Seakan tuli, Axzel justru menjauh dan melilitkan potongan pakaian tadi pada kamera pengawas di sana.

"Maaf karena sudah merusak pakaianmu, sweetheart. But, trust me, pakaian itu sudah tidak akan berguna lagi setelah ini, karena aku akan membawamu pada dunia baru. Dunia di mana tidak ada yang tidak mungkin di sana," Axzel kembali tersenyum maskulin dan mendekati kekasihnya lagi.

"Apa maksudmu, sayang?" tanya Lunar seraya menahan desah.

"Maksudku adalah ... ini!" dengan satu gerakan cepat, pria itu mencongkel mata kanan sang gadis hanya dengan menggunakan tangan kosong. Lunar memekik menderita dan terhempas jatuh ke tanah.

"Ap-apa yang kau lakukan, sialan?!" amuknya dengan suara yang bergetar hebat. Ia menjerit pilu seraya memegangi mata kanannya yang mengeluarkan banyak darah.

"Apa yang kulakukan?" lelaki itu memasang ekspresi seakan tengah berpikir keras. "Apa yang kulakukan, ya? hn, kira-kira ingin memberimu hadiah, mungkin?" lanjutnya sebelum berjongkok dan mengeluarkan sebilah pisau lipat dari dalam sakunya dan menyayatkannya pada bibir Lunar. Menggores kedua sisinya hingga membentuk seperti sebuah senyuman lebar yang abadi.

"Arrgghh!!!" Lunar memekik ngilu. Ia terus berusaha untuk memberontak, namun sayang, kekuatannya tidak ada apa-apanya jika harus melawan tubuh kekar Axzel.

----------------------------

Aku terdiam sejenak. Berusaha memikirkan apa kelanjutan dari ceritaku.

"Huah! kenapa aku kehabisan ide?!" pekikku geram. Aku paling kesal saat tengah seru menulis cerita, dan tiba-tiba semua ide hilang dari dalam otakmu. Rasanya seperti ingin menghantamkan kepalaku pada dinding.

Berdiri, aku berjalan menuju jendela dan menatap luar dengan mata menerawang.

"Hujan," ucapku disela senyuman. Aku sangat menyukai hujan, karena namaku sendiri juga memiliki arti Hujan. Dalam hujan, aku bisa merenung dan memikirkan segala sesuatunya dengan tenang, melarutkan segala kegelisahanku bersama dengan rintik hujan.

*~~~¥~~~*

Sudah empat bulan lamanya aku berjuang untuk menyelesaikan naskah cerita terbaruku meski terus saja mendapat tekanan dari keluarga berupa caci makian yang kian menjadi.

"Kuharap kali ini aku berhasil," kali ini aku mencoba untuk mengirim naskah pada penerbit sendiri, yang sudah pasti jika naskahku berhasil masuk, akan membutuhkan biaya yang sangat banyak karena cara kerja dari penerbit ini jauh berbeda dengan penerbit besar. Keuntunganku akan jauh lebih besar nantinya dibanding dengan penerbit major.

"Berusaha mengirimkan naskah bodoh lagi, huh?" cecar kakak laki-laliku.

"Ya, adik bodohmu ini sedang berjuang untuk mencari keadilannya melalui karya bodoh ini," balasku ringan sebelum mengirimkan paket berisi naskahku pada kantor pos. Memang, sekarang zaman sudah maju dan naskah bisa dikirim melalui email. Tapi entah mengapa aku ingin melakukannya secara manual. Menurutku jerih payah yang besar pasti akan terbayar dengan cara yang memuaskan.

Aku pun berangkat menuju kantor pos dengan bersepeda, di perjalanan menuju kantor pos, aku bertemu dengan teman, ralat, salah satu orang yang pernah satu kelas denganku dulu saat masih SMA.

"Hai," sapaku ramah, masih terus mengayuh sepeda dengan perlahan.

"Hei kau, kudengar kau masih saja menyia-nyiakan hidupmu bersama lembaran kertas, ya? ckckck, sungguh ironis," serunya penuh nada cela di tiap kata yang diucapkannya.

"Tidak terlalu tepat, tapi boleh juga," balasku balik sebelum mengayuh lebih kencang lagi. "Betapa, bahagianya, hatiku, hari, ini. Sungguh, beruntung," ucapku dengan nada malas.

Tak butuh waktu lama aku akhirnya sampai di tempat tujuan. Dengan segera aku masuk.

"Selamat siang!" sapaku lagi dengan senyum simpul.

"Heh, kau lagi rupanya, gadis manis? tiga kali mengirim dalam lima bulan?" tanya petugas pos dengan senyumannya. Yang aku yakin pasti adalah senyuman palsu.

"Yah, selagi masih hidup kita harus terus berusaha sebaik mungkin, bukan?" balasku setelah selesai dengan beberapa prosedur kecil dan segera pergi dari sana. Aku sudah muak mendapat hardikan dari semua orang.

"Lihat saja, siapa yang akan bersujud di kakiku esok," gerutuku penuh dendam seraya mengayuh sepedaku dengan kecepatan tinggi.

®~~~@_@~~~®

Detik demi detik, hari demi hari, minggu demi minggu telah berlalu. Dengan berharap-harap cemas aku selalu menengok kotak pos kosong di depan rumahku, dengan harapan jika kotak itu terisi sebuah kiriman amplop yang membawa kabar gembira untuk mengubah takdirku.

"Ck, kenapa lama sekali, aku sudah tidak sabar menunggunya. Kali ini harus berhasil!" harapku cemas. Aku sangat yakin jika karyaku kali ini akan berhasil karena aku telah mengangkat cerita itu berdasar kisah nyataku yang kugabungkan dengan imajinasi psychopathku yang lebih imajinatif. Jika sampai gagal lagi itu artinya, berakhir sudah.

Impianku.

Masa depanku.

Hidupku.

Akan berakhir dalam sekejap.

"Heh," aku terkekeh renyah mengingat jika hidup matiku hanya bergantung pada sebuah amplop sedang saja. Sungguh menggelikan.

------------------------------------------------------------

Siang berganti malam

Tak tentu akhirnya

Bak lautan yang takkan kering

Begitulah wajah-wajah cinta

Detik dan saat berlalu

Selama ini

Dalam lingkaran waktu

Mengikut jadual

Namun ... nasibku manusia

Tak siapa dapat menduga

Ke mana sudahnya

Bagai jurang lautan

------------------------------------------------------------

Begitulah kiranya perumpamaan hidup. Tak menentu.

Saat sedang asik bergelut dengan dunia imajinasi, aku melihat sekelebat warna jingga di depan rumahku. Bergegas aku menghampirinya dan terkejut bukan kepalang.

"K-kau?" desahku kaget saat seorang pria seumuranku mengulurkan sepucuk surat padaku.

"Hai, Amaya. Lama kita tidak berjumpa," sapanya hangat, lengkap dengan senyuman yang melelehkan hati.

"H-hai, Jeff," dia adalah Jeffrey. Orang yang paling menyebalkan di sekolahku dulu. Dia juga orang pertama yang selalu bersemangat saat tahu jika lagi-lagi aku gagal.

'Bagaimana bisa aku bertemu lagi dengannya? jika isi surat ini adalah penolakan lagi, apa aku siap mendengar ocehannya lagi?' batinku gelisah mengingat dulu saat ia menghinaku, ia selalu menyertainya dengan tindakan-tindakan tak berperikemanusiaan, seperti menendangku, menyiramku dengan air, dan masih banyak lagi hal buruk yang bahkan tidak ingin kuingat lagi kejadiannya.

"Ke-kenapa kau kemari?" tanyaku, terkesan ketus.

"Menyerahkan surat itu. Apa lagi?" jawabnya enteng.

"Baiklah, aku sudah menerimanya. Terimakasih, sekarang kau boleh pergi," pria itu menggeleng nakal.

"Tidak."

"Kenapa? kau ingin mengataiku lagi jika aku selalu gagal?" cecarku hampir mengamuk saking kesalnya saat harus melihat wajah memuakkannya lagi. Pria itu justru tersenyum.

"Tidak, aku datang ke sini hanya untuk memastikan jika surat balasan dari kantorku sudah sampai ke tanganmu dan sudah kau baca," balasnya lagi dengan ringan. Aku menjadi curiga dengan tingkah lakunya yang semakin aneh. Mengernyit, aku mulai membuka dengan cemas surat itu. Hm, tidak ada naskahku yang kembali, apa ini suatu pertanda baik? atau jangan-jangan saking buruknya tulisanku, mereka menjadi sakit mata dan membuang karyaku dalam tong sampah, menguncinya dengan banyak gembok dan rantai, memasukkannya dalam brankas anti ledak, dan meledakkannya di dalam brankas itu.

Aku meringis lagi. Itu terlalu sakit.

Mulai membaca, aku terkejut bukan main saat yang kubaca bukanlah sebuah tagihan biaya rumah sakit mata, melainkan persetujuan dan juga tawaran untuk segera membukukan tulisanku. Kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasa senang yang kurasakan saat ini. Rasanya aku ingin naik ke puncak menara tertinggi dan melompat dari puncaknya seraya berteriak penuh syukur sekencang-kencangnya.

'Dengan ini, takdirku pasti akan berubah!' batinku senang.

"I-ini ...." aku tidak bisa berkata-kata saat menatap wajah Jeff yang masih tersenyum.

"Kau, akhirnya kau berhasil. Selamat, Amaya, maaf karena dulu aku selalu memperolokmu. Aku tahu aku begitu bodoh, sebenarnya aku hanya ingin memberimu motivasi, tapi sepertinya cara yang kugunakan salah, sangat salah bahkan. Aku hanya tidak pandai dalam mengungkapkan apa yang tengah kurasakan dengan tindakan, aku menyesal," jelas Jeff, lirih. Aku semakin terkejut bukan kepalang atas pernyataannya yang kedengaran tidak logis di telingaku.

Belum cukup menurutnya aku sudah kehabisan napas saat naskahku diterima, dan sekarang ia mengatakan hal ini. Bagus. Sekarang aku yakin jika jantungku sudah menciut beberapa senti karena terlalu terkejut. Mungkin saja.

"Aku masih ingat kau mengguyurku menggunakan air kotor yang kau campur dengan sobekan naskahku. Jadi itu ungkapan motivasi menurutmu. Hm ... aku terkesan," sindirku dengan ekspresi yang kubuat sepolos mungkin.

"I-itu, aku hanya ... uh ... intinya, apa kau memaafkan cara memotivasimu?" tanyanya tergagap. Sangat lucu saat melihat orang yang selalu menindasmu bicara gagal dan grogi di hadapanmu.

"Iya, aku sudah memaafkanmu dari dulu. Kau tidak perlu khawatir. Setidaknya sekarang aku tahu apa maksudmu melakukan itu padaku. Dan aku terkejut," jujur, aku memang masih terkejut. Caranya sungguh terdengar menggelitik di telingaku dan tidak masuk akal di pikiran.

"Oh, ayolah. Kau tahu kan dulu aku memang, err ... sedikit jahat?" kilahnya bodoh.

"Oh, kau memang benar-benar sedikit jahat, Jeff," balasku setuju dengan menekankan kata "sedikit".

"Sudahlah, tugasku sudah selesai. Aku harus pergi, masih banyak yang harus kukerjakan. Kuharap kita bisa bertemu lagi," pamitnya sebelum melambaikan tangan dan menaiki kendaraannya lalu pergi secepat kilat.

Tersenyum, aku segera masuk ke dalam rumah dan mencari di mana semua anggota keluargaku. Mereka harus tahu akan hal ini. Kebetulan mereka sedang berkumpul menjadi satu di ruang keluarga.

"Hei," sapaku bahagia. Mereka semua menoleh dan menatapku dengan tatapan suram.

"Apa yang kali ini ingin kau katakan? kegagalan dalam naskah lagi?" hardik kakakku dengan ekspresi wajah yang sangat ingin kuremukkan.

"Kali ini tidak. Mulai sekarang, kalian tidak bisa lagi menyakitiku secara fisik dan psikis lagi, karena ini. Aku sudah menang," aku meletakkan amplop itu tepat di hadapan mereka. Secara bergiliran mereka mulai membaca dan ternganga satu persatu. Betapa lucunya.

"Semuanya sudah berubah," senyumanku kian mengembang.

@~~~°^°~~~@

"Apa yang membuatmu menjadi sukses seperti ini?"

"Kerja kerasku, dan mungkin sedikit 'tekanan' dari semua orang."

"Apa perasaanmu saat tahu jika karyamu diangkat ke layar kaca?"

"Tentunya aku sangat bahagia. Karena dengan ini, aku sudah bisa menunjukkan diriku pada semua orang jika aku mampu. Tidak ada lagi yang bisa meremehkanku," aku tersenyum pada keluargaku yang menungguku di balik panggung acara peresmian film yang diangkat dari cerita buatanku. Mereka balas tersenyum dengan bangga. Padahal masih jelas berbekas dalam ingatanku jika satu tahun yang lalu mereka selalu menampakkan ekspresi kecewa dan meremehkan.

Semua orang pasti menginginkan keberhasilan.

Tapi tidak semua menyadari dibalik keberhasilan pasti membutuhkan sebuah kerja keras dan dukungan.

Dan tidak semua orang pula yang menyadari makna penting dari sebuah dukungan.

Yang mereka ingat hanyalah keberhasilan saja.

Dan melupakan jerih payah serta dukungan yang dibutuhkan.

"Apa kunci suksesmu, Amaya?" aku tersenyum simpul. Senyuman tulis yang langsung kutujukan pada keluargaku.

"Kunci suksesku hanyalah satu. Yaitu dukungan," dan mereka bertiga sukses kubuat menganga dan malu. "Aku mendapat banyak dukungan dari semua orang, terutama keluargaku. Mereka selalu mendukungku dengan mengingatkanku pada semua kegagalan yang selalu kualami. Dari situlah aku belajar untuk lebih baik lagi," dan keluargaku semakin menunduk lebih dalam. Aku tidak tahu apa alasannya. Mungkin mereka menyadari kesalahan mereka.

Percayalah. Meraih apa yang kita inginkan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: